Kami Ingin Menjadi Pemakmur Bumi
---Anwar Holid

Film itu durasinya 13 menit. Ia membuatku tertegun, mengebor mata sampai 
bergetar, akhirnya memaksa butiran beningnya menetes. Ia menohok persis sesuatu 
yang rasanya kerap aku alami atau renungi, terutama saat dilanda depresi oleh 
nasib. Kemiskinan, juga rasa tiada berdaya karena gagal memenuhi kebutuhan 
hidup paling sederhana sekalipun, cuma kadar yang mereka alami lebih ekstrem. 

Tadinya, kawan yang memberi video ini bilang, "Bisa enggak kamu bikin proposal 
dari film ini?" Proposal? tanyaku. Aku hanya bisa bikin proposal penerbitan 
buku, bukan untuk mempersuasi perusahaan atau orang-orang kaya-dermawan untuk 
berbuat sesuatu atau bederma menolong sesama. Tapi aku bilang, "Aku kenal 
satu-dua orang yang terbiasa mengurus bakti sosial atau hibah untuk masyarakat. 
Bisa juga mendekatkan orang yang mau melaksanakan CSR atau aktivitas seperti 
bisnis sosial." CSR dan bisnis sosial adalah jargon kapitalisme yang sangat 
sulit aku pahami, meskipun aku tahu kini banyak perusahaan mempraktikannya. 
Bahkan CSR telah menjadi standar di setiap company profile; sementara bisnis 
sosial sukses dijalankan oleh orang seperti Muhammad Yunus dengan Grameen Bank, 
juga Ashoka Foundation. Sempat kerja sama dengan 1 - 2 BUMN membuat aku tahu 
bahwa mereka menyediakan dana CSR sangat besar. Aku bahkan pernah dengar ada 
BUMN yang bingung mau berbuat apa lagi
 saking begitu besar dana CSR yang mereka miliki. 

Film itu memperingatkan aku agar jangan berhati kerdil. Dulu kala mahasiswa aku 
pernah bekerja bakti bersama kawan-kawan dengan 1 - 2 hari tinggal bersama 
keluarga miskin di masyarakat desa pinggiran Bandung, di balik-balik perbukitan 
yang indah dan permai. Untuk mendapat ilmu, pernah juga aku hidup beberapa hari 
di pesantren yang jorok di kota lain. Sementara sekarang aku justru 
kadang-kadang nelangsa memperjuangkan nasib sendiri, berusaha memahami betapa 
hidup itu ada-ada saja kejadiannya. Seperti kemarin aku menerima sms kawan, 
bunyinya: 'mengapa ya uang selalu mempermainkan hidup kita? di kala banyak uang 
kita senang dan tenang, sebaliknya ketika enggak ada, kita sedih dan panik.' 
Aku jawab: 'aku juga bingung soal uang. kemarin kepikiran mau nulis status 
begini: mana yang lebih mengerikan: kehilangan uang atau kehilangan tuhan? tapi 
urung aku lakukan karena merasa malu.' Bukan berarti kepedulian sosialku jadi 
rendah atau hilang; sebaliknya, aku
 merasa status sosialku masih rapuh, maka lebih baik memperbaiki nasib sendiri. 
Sebagian orang mungkin tak perlu kita kasihani, sebab mereka berjuang keras 
untuk diri sendiri.

Nah, bagaimana kalau kita tidak tinggal 1-2 hari bersama orang miskin dan 
kekurangan, melainkan ikut bergumul dengan lumpur, di medan lokasi yang berat, 
transportasi dan aksesibilitas seadanya, sanitasi buruk, kekurangan gizi, 
tingkat pendidikan rendah, dan sebagian masyarakatnya tertinggal begitu jauh 
dari peradaban yang Anda miliki? Kalau mau, Anda bisa cabut dari sana, atau 
sesekali pelesir ke kota terdekat untuk mendapatkan udara segar.

Tersebutlah kecamatan Peundeuy, di kabupaten Garut, jaraknya kira-kira 150 km 
dari Bandung ke arah selatan. Di peta biasa provinsi Jawa Barat, kecamatan ini 
bahkan tidak tercantum. Namanya kalah oleh Pameungpeuk, yang terkenal karena 
punya pantai. Mungkin Pameungpeuk dan Peundeuy tidak sejalur, tapi dalam peta 
wilayah yang lebih detail, ia berada sebelum Pameungpeuk. Kecamatan ini berada 
di antara perbukitan dan sawah-sawah yang mungkin menawarkan pemandangan asri 
serta menakjubkan, rata-rata wilayahnya berada pada 100 - 1000 m di atas 
permukaan laut, dengan derajat kemiringan mayoritas di atas 40 persen. Tapi 
bagaimana kita percaya bahwa di tempat seperti itu kemiskinan dan 
ketertinggalan begitu nyata terwujud? Di sana masih ada jembatan gantung dari 
bambu, rumah-rumah berbilik bambu yang sudah bolong-bolong, hanya punya satu 
sekolah SMP dan SMU, dengan gedung semi permanen dan tembok sebagian besar 
sudah mengelupas. Tingkat drop out anak-anak SD di
 sini tinggi sekali, dan dilihat dari film itu, bangunan SD-nya amat 
mengenaskan. Kalau Bill Gates atau beberapa kawanku drop out dari universitas, 
mungkin masih bisa jadi cerita menarik; tapi apa yang bisa kita harapkan dari 
anak yang drop out SD? Mereka bakal jadi pengusaha kelereng? Tidak. Setelah 
putus sekolah, kebanyakan dari mereka kawin pada usia dini, merantau ke kota 
besar seperti Bandung dan Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga, buruh 
serabutan, maupun penjual asongan butong (seribu sekantong). Kondisi ini 
mengingatkan aku pada film Not One Less. Terdiri dari enam kelurahan dengan 
luas sekitar 5.679 ha, Peundeuy berada sekitar 65 km dari ibukota kabupaten 
Garut---yang terkenal oleh industri dodol dan kerajinan lainnya.

Sejumlah sarjana dari beberapa perguruan tinggi terkemuka Indonesia dan 
berbagai disiplin ilmu ternyata sudah berada di Peundeuy sekitar delapan tahun 
terakhir ini, hidup bersama masyarakat setempat, bergabung dalam wadah 
pengabdian bernama Pasanggrahan Baranang Siang (PBS). Tentu saja tanpa 
publikasi apa pun. Aksi mereka hanya diketahui sesama kawan dekat, sampai aku 
melihat video itu. Video mereka pun tidak tersebar mirip virus seperti halnya 
video zina orang-orang terkemuka. Bagaimana mereka bisa "menemukan" Peundeuy 
sebagai pilihan tempat berkarya daripada bergabung dengan sesama kawan satu 
strata sosial untuk bekerja normal di perusahaan besar, menjadi wirausahawan, 
atau mencari klien ke sana-kemari seperti aku? Apa mereka punya pengalaman 
serupa dengan Greg Mortenson dalam Three Cups of Tea atau John Wood dalam 
Leaving Microsoft to Change the World? Di Peundeuy, mereka ikut bertani, 
memelihara ternak, memberi penyuluhan soal gizi dan kesehatan,
 cara mengurus keuangan keluarga dan mengelola rumah tangga, membagi ilmu 
pengetahuan, menggali potensi alam lebih besar lagi di wilayah itu, dan tak 
lupa: ikut mengajar anak-anak di SD sampai SMA. Kini mereka berhasil mendirikan 
sebuah SMP Terbuka-Terpadu secara gratis untuk anak-anak setempat. Kurikulumnya 
dirancang alamiah, berbasis karakteristik lokal, memperhatikan tantangan 
wilayah tempat tinggalnya, dan materi sains serta riset terpadu. Kabar terakhir 
yang aku dengar, untuk pertama kalinya pada tahun ini (2010) ada siswa SMA dari 
kecamatan ini yang lulus saringan masuk perguruan tinggi.

"PBS didirikan sebagai bentuk keprihatinan sekaligus tanggung jawab kami untuk 
membantu pemerintah untuk mencari solusi alternatif bagi pembangunan khususnya 
di daerah tertinggal. Kami ingin menjadi pemakmur bumi. Misi kami ialah 
menggali khazanah nusantara, merajut sejarah bangsa, dan bersatu membangun 
negeri," demikian papar Dani Daud Setiana, alumni Teknik Industri ITB yang 
menjadi kepala PBS. Dari riset bertahun-tahun, mereka menyimpulkan perlunya 
peran serta sangat banyak dari para sarjana agar turun ke daerah, terutama 
untuk membantu pemerintah daerah merumuskan dan mengetahui masalah sesungguhnya 
yang terjadi di daerah tertinggal. 

Selain memperhatikan pendidikan, Daud dan rekan-rekan ikut memberi pelayanan 
kesehatan, dan mengembangkan ekonomi berbasis swabahu wilayah---yaitu ekonomi 
yang dibangun dengan mengoptimalkan aspek agro-ekologis, teknologi dan faktor 
produksi, nilai ekonomis, dan sosial budaya setempat. Mereka juga sangat 
berharap agar pemerintah menjadikan Program Darma Bakti Sarjana sebagai program 
nasional. 

Buat orang-orang Islam yang terlalu obsesif ingin berjihad di Jalur Gaza atau 
menyelamatkan Palestina, mungkin karya PBS di Peundeuy bisa membuat kita malu. 
Penduduk Peundeuy seratus persen Muslim! Enggak usah jauh-jauh kalau mau 
beramal bakti. Cukup dengan berbuat sesuatu yang positif untuk masyarakat 
setempat. Kalau kekurangan lahan dakwah, bergabunglah dengan PBS. Yah, mungkin 
jihad itu enggak bakal diliput media massa, tapi nilainya insya allah setara 
dengan mempertaruhkan nyawa di hadapan tentara Israel. Sementara buat mereka 
yang punya program CSR, Anda bisa bangun jembatan dan memperbaiki jalan yang 
hancur di sini, mendirikan bangunan sekolah baru, membuat MCK agar sanitasi 
berfungsi wajar, atau bederma untuk meningkatkan gizi dan ilmu pengetahuan. 
Orang-orang yang butuh bantuan nyata ada di wilayah kita sendiri. Ia tidak 
jauh-jauh ada di Timur Tengah atau Afrika. Ia ada di sekitar rumah kita 
sendiri. Kawan-kawan yang suka travelling, silakan
 jadikan kecamatan ini sebagai tujuan baru. Siapa tahu mendapat pengalaman 
spiritual di sini.

Tiga belas menit menyaksikan film Peundeuy dan aksi para pegiat PBS membuatku 
teringat pada puisi "Orang-Orang Miskin" karya Rendra. Di situ dia menulis 
begini:

Jangan kamu bilang negara ini kaya 
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. 
Jangan kamu bilang dirimu kaya 
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. 
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. 
Dan perlu diusulkan 
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. 
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. 

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol. 
Mereka akan menjadi pertanyaan 
yang mencegat ideologimu. 
Gigi mereka yang kuning 
akan meringis di muka agamamu.[]

Untuk tindakan lebih lanjut, silakan hubungi Dani Daud Setiana di 08122128092.


Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand 
Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 
40141.


      

Kirim email ke