Yth. Peserta Diskusi ZOA-BIOTEK-2001,

Berikut kami sampaikan makalah dari bagian 1 dari dua kali posting 
untuk Makalah dari Dr. Arief Witarto, yang berjudul "Protein Engineering:
Perannya dalam Bioindustri dan Prospeknya di Indonesia". Selamat 
Menikmati!

Moderator

Dedy H.B. Wicaksono

==================================================


Protein Engineering: Perannya dalam Bioindustri dan Prospeknya di 
Indonesia

(The Role of Protein Engineering in Bioindustry and Its Prospect 
in Indonesia)

Dr. Arief Budi Witarto* 
Department of Biotechnology Tokyo University of Agriculture and Technology 

and
Working Group on Life Sciences,Institute for Science and Technology 
Studies (ISTECS) chapter Japan

Abstract

Proteins have many interesting characteristics such as high catalytic 
activity, significant substrate specificity, etc, which attract their 
use in industry. However, in such applications, proteins should work 
not in their natural conditions, which in turn promote the engineering 
of proteins. Protein is the final product of genetic code, thus the 
advancement of DNA manipulation techniques has contributed much to 
the exploding research on protein engineering in the 80's. Assisted 
by protein 3D structure and computational analysis, significant progress 
in the "rational" engineering of protein to improve their stability,
substrate specificity, even novel protein design has been achieved.
Engineering with "irrational" approach, such as random mutation,
when combined with proper selection method would give straightforward 
results. State of the art in protein engineering is discussed and 
to illustrate the path for commercialization, complete protein engineering 
of glucose dehydrogenase for diabetes diagnosis device, is presented.
Finally, the prospect of protein engineering in Indonesia is discussed.


1. Protein dalam alam

Protein adalah molekul penyusun tubuh kita yang terbesar setelah 
air. Hal ini mengindikasikan pentingnya protein dalam menopang seluruh 
proses kehidupan dalam tubuh. Dalam kenyataannya, memang kode genetik 
yang tesimpan dalam rantaian DNA digunakan untuk membuat protein,
kapan, dimana dan seberapa banyak. Protein berfungsi sebagai penyimpan 
dan pengantar seperti hemoglobin yang memberikan warna merah pada 
sel darah merah kita, bertugas mengikat oksigen dan membawanya ke 
bagian tubuh yang memerlukan. Selain itu juga menjadi penyusun tubuh,
"dari ujung rambut sampai ujung kaki", misalnya keratin di rambut 
yang banyak mengandung asam amino Cysteine sehingga menyebabkan bau 
yang khas bila rambut terbakar karena banyaknya kandungan atom sulfur 
di dalamnya, sampai kepada protein-protein penyusun otot kita seperti 
actin, myosin, titin, dsb. Kita dapat membaca teks ini juga antara 
lain berkat protein yang bernama rhodopsin, yaitu protein di dalam 
sel retina mata kita yang merubah photon cahaya menjadi sinyal kimia 
untuk diteruskan ke otak. Masih banyak lagi fungsi protein seperti 
hormon, antibodi dalam sistem kekebalan tubuh, dll.

Di antaranya, yang paling menonjol adalah enzim, yaitu protein yang 
berfungsi sebagai katalis dalam tubuh. Berkat enzim, kita dapat hidup 
dalam kondisi yang "normal" yaitu suhu tubuh rata-rata 37C dan tekanan 
udara 1 atmosfir (atm). Proses pembuatan amonia dari gas Nitrogen 
dan Hidrogen yang ditemukan oleh penerima hadiah Nobel Kimia 1918,
Fritz Haber dari Jerman, bekerja pada suhu 700C dan tekanan 300 
atm, namun berkat enzim Nitrogenase, mikroba yang hidup di akar tumbuhan 
kacang-kacangan dapat melakukannya pada kondisi "normal", sehingga 
menyuburkan tanah. Secara umum, enzim memiliki kelebihan terhadap 
katalisator non-biologis pada kecepatan reaksi serta spesifikasi 
terhadap substrat yang tinggi. Rekor tertinggi yang dipublikasikan 
saat ini dipegang oleh enzim Orotidine 5'-phosphate (OMP) decarboxylase 
yang dapat mempercepat reaksi sampai 1017 kali dari reaksi non-enzimatik 
dengan half-time 78 juta tahun, sementara enzim lainnya rata-rata 
dibawah 1014 kali (1).

2. Lahirnya Protein Engineering

Sifat-sifat unggul di atas telah mendorong aplikasi protein dalam 
berbagai sektor seperti industri, kedokteran, lingkungan, dsb. Namun 
ada beberapa kendala yang menghadang antara lain kuantitas protein 
yang tersedia secara alamiah, sangat rendah serta karakter yang dimiliki 
protein hanya bertahan dalam kondisi "normal". Tantangan inilah yang 
mendorong upaya merekayasa protein (selanjutnya disebut PE, dari 
kependekan Protein Engineering) untuk "meningkatkan" sifatnya sesuai 
dengan kebutuhan.

Pada tahun 1973, Herbert Boyer dari University of California di San 
Fransisco dan Stanley Cohen dari Stanford University berhasil mengembangkan 
teknologi DNA rekombinan yang menandai revolusi bioteknologi. Dengan 
teknik ini, protein yang diinginkan dapat diproduksi dalam kuantitas 
besar. Insulin untuk penderita diabetes adalah protein pertama yang 
secara komersial diproduksi dengan teknik ini oleh Genentech, Inc.
Lima tahun kemudian, 1978, Michael Smith, dari University of Britisch 
Columbia-Canada, berhasil mengembangkan teknik site-directed mutagenesis 
(SDM) yang memungkinkan perubahan asam amino penyusun suatu protein 
pada posisi yang diinginkan. Atas jasanya itu, Smith menerima hadiah 
Nobel Kimia bersama penemu polymerase chain reaction (PCR), teknologi 
memperbanyak satu segmen rantai DNA, Karry B. Mullis dari Cetus Corp.
tahun 1993. Mulai saat itulah, PE sebagai istilah lahir, dicetuskan 
pertama kali oleh Kevin M. Ulmer dari Genex Corp. (2).

@

Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa mulai tahun itu, jumlah paper mengenai 
PE melonjak pesat. Namun bukan berarti sebelumnya, belum ada upaya 
untuk merekayasa protein. Paper mengenai stabilisasi protein yang 
merupakan salah satu tema utama PE, telah ada sebelumnya (Gambar 
1). Namun dengan belum ditemukannya teknik SDM, rekayasa yang dilakukan 
lebih merupakan modifikasi asam amino reaktif seperti Cysteine, Lysine,
dsb secara kimiawi, daripada perubahan/mutasi. Lebih lanjut, menurut 
pengakuan Professor Taiji Imoto dari Kyushu University yang merupakan 
salah satu Editor jurnal Protein Engineering, modifikasi satu asam 
amino secara selektif saja bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Gambar 1. Pertumbuhan jumlah penelitian PE
silakan melihat ke
 http://sinergy-forum.net/zoa/paper/html/AriefBWImage1.gif


Data diambil dari PubMed search menggunakan masing-masing kata kunci 
dalam klasifikasi "all fields".

Satu lagi teknologi penting untuk PE adalah X-ray crystallography 
untuk menentukan struktur atom tiga dimensi (3D) protein dari kristal 
protein. Max Perutz dan John Kendrew dari Medical Research Council 
(MRC), Inggris adalah orang pertama yang berhasil mengembangkan teknik 
ini pada tahun 1958 dan berkat jasanya itu menerima hadiah Nobel 
Kimia tahun 1962, bersamaan dengan penemu struktur DNA, James Watson,
Francis Crick dan Maurice Wilkins untuk hadiah Nobel Kedokteran.
Akan tetapi, seperti disebutkan di atas, karena kuantitas protein 
pada lazimnya sangat rendah, ditambah dengan teknologi yang belum 
modern, pada tahun 1971 ketika Protein Data Bank (PDB) sebagai pusat 
pengumpulan/repositori data koordinat struktur 3D protein dibentuk,
hanya ada data tujuh protein saja. Lebih dari 10 tahun kemudian,
ketika PE digagas pun, tak lebih dari puluhan data yang tersedia 
(Gambar 2). Dengan mengetahui, struktur detil sebuah protein, memilih 
asam amino mana yang akan dirubah, akan lebih mudah direncanakan 
untuk mendapatkan efek perubahan tertentu pada protein tersebut. 
Sehingga seperti dapat dilihat dari Gambar 1 dan 2, pertumbuhan riset 
PE berjalan hampir bersamaan dengan banyaknya struktur protein yang 
ada.

Gambar 2. Pertumbuhan jumlah struktur data yang disimpan di PDB
silakan melihat ke
http://sinergy-forum.net/zoa/paper/html/AriefBWImage2.gif

Data diambil dari homepage PDB di http://www.rcsb.org/pdb.

Jepang bisa dibilang adalah negara pertama yang memberikan perhatian 
penuh pada PE yaitu dengan dibentuknya Protein Engineering Research 
Institute (PERI) di Osaka pada tahun 1986. PERI merupakan konsorsium 
perusahaan-perusahaan swasta yang berhubungan dengan bioteknologi 
di Jepang dengan Pemerintah Jepang, dalam hal ini Ministry of International 
Trade and Industry (MITI). Beberapa tahun kemudian, pusat-pusat PE 
didirikan pula di Amerika (Center for Advanced Research in Biotechnology/CARB,
Rockville) dan Eropa, seperti Cambridge Center for Protein Engineering 
di Inggris, Center for Applied Protein Engineering/CAPE di Jerman,
Danish Protein Engineering Research Center di Denmark, dsb. Kesamaan 
utama dari lembaga-lembaga ini adalah adanya bidang-bidang yang merupakan 
dasar PE seperti bidang produksi protein, bidang desain protein, 
bidang analisa struktur dan bidang database struktur. Dalam perkembangannya,
tahun 1991, dibentuklah International Network of Protein Engineering 
Center (INPEC) oleh antara lain lembaga-lembaga di atas, dan pada 
tahun 1995, nama "protein" dalam PERI dirubah menjadi "biomolecular" 
sehingga kependekannya menjadi BERI, walau secara organisasi tidak 
banyak berubah.

3. Peningkatan sifat protein dengan PE

"Peningkatan" di sini bukan berarti bahwa sifat/karakter protein 
itu tidak baik. Justru sifat-sifat itu sudah sangat tepat untuk kondisi 
alamiah (native) protein yang bersangkutan. Akan tetapi dalam aplikasi 
protein itu, tidak jarang memerlukan kondisi yang sangat berbeda 
sehingga beberapa karakter protein perlu ditingkatkan (baca: disesuaikan).


Dari sekian banyak sifat protein, mungkin yang paling mendapat perhatian 
dalam PE adalah stabilitas, khususnya stabilitas terhadap suhu. Ini 
disebabkan karena sejak proses produksi, penyimpanan (storage), sampai 
kepada penggunaan, semuanya dipengaruhi oleh heat/panas. Telah dipahami 
secara umum bahwa struktur protein mempengaruhi fungsinya, sehingga 
struktur itu sering disebut dengan istilah konformasi/conformation.
Hydrophobic interaction, interaksi antara side chain asam amino 
hydrophobic; electrostatic interaction/salt-bridge/ion pair, interaksi 
antara asam amino yang memiliki charge seperti Lysine/Arginine/Aspartic 
acid/Glutamic acid serta amino/carboxyl group dari peptide bond adalah 
beberapa force penting yang menjaga struktur protein. Secara umum,
menguatkan force tersebut, misalnya dengan merubah asam amino hydrophilic 
dalam lingkungan yang hydrophobic, akan menaikkan stabilitas protein 
bersangkutan. Contoh keberhasilan yang spektakuler akhir-akhir ini 
misalnya, keberhasilan grup dari Eropa (University of Groningen di 
Belanda dan European Molecular Biology Laboratory/EMBL di Jerman 
yang masing-masing terkenal dengan X-ray crystallography dan analisa 
komputernya) melakukan PE terhadap Thermolysin-like Protease dari 
Bacillus stearothermophilus (4). Hasil mutasi menunjukkan bahwa mutan 
enzim memiliki stabilitas lebih dari 340 kali, dimana half-life pada 
suhu 100 oC mencapai hampir 3 jam, sementara enzim native kurang 
dari 1/2 menit. Lebih jauh, enzim mutan menunjukkan aktivitas yang 
sama tingginya pada suhu tinggi dan 37 oC. Contoh lainnya adalah 
keberhasilan grup dari Caltech, Amerika yang melakukan PE terhadap 
protein G?1 domain dari Streptococcus sp. Protein mutan memiliki 
Tm lebih dari 100 oC sementara protein native hanya 83 oC. Kenaikan 
stabilitas secara termodinamik menunjukkan angka 5,3 kcal/mol pada 
suhu 50 oC. Salah satu kunci keberhasilan yang ditunjukkan oleh contoh 
di atas adalah kenaikan stabilitas disebabkan oleh kombinasi dari 
beberapa faktor seperti hydrophobic interaction, fleksibilitas loop 
structure, dan sebagainya. Strategi penting dalam meningkatkan stabilitas 
protein adalah menemukan asam amino/posisi dalam protein yang kiranya 
berperan besar dalam proses irreversible denaturation. Dengan menguatkan 
bagian tersebut, tidak jarang, mutasi satu asam amino sekalipun akan 
membawa perubahan yang dramatis. Menggunakan enzim Sialidase dari 
Salmonella typhimurium, penulis telah berhasil menaikkan stabilitas 
protein tersebut hanya dengan mutasi tunggal untuk meningkatkan hydrophobic 
interaction antara dua terminal polipeptida (6). Studi secara sistematik 
terhadap protein dengan struktur serupa, menunjukkan bahwa strategi 
ini dapat diterapkan secara umum (7). Hal ini sesuai dengan kenyataan 
bahwa protein dengan struktur serupa cenderung memiliki folding pathway 
yang sama pula.

"Peringkat kedua" perubahan sifat yang paling banyak mendapat perhatian 
PE adalah spesifikasi substrat protein. Hubungan protein dengan substratnya 
sering digambarkan dengan kunci (substrat) dan lubang kunci (protein),
dimana hanya kunci yang pas benar saja dengan lubang kunci itu yang 
dapat membukanya. Memang dalam kenyataan, tak jarang enzim bisa membedakan 
substrat sampai kepada perbedaan isomer molekul. Namun tidak sedikit 
pula enzim yang bersifat agak longgar terhadap spesifikasi substrat 
ini. Karena substrat berikatan dengan protein pada active site-nya,
mutasi dilakukan pada asam amino yang berada pada posisi tersebut.
Contoh menarik PE terhadap spesifikasi substrat ini misalnya perubahan 
spesifikasi Thrombin kepada protein C dari Fibrinogen, hanya dengan 
mutasi satu asam amino (8). Dengan demikian, hasil penelitian dari 
perusahaan biotek, Gilead Sciences di California ini, dapat merubah 
Thrombin menjadi kandidat obat anticoagulant. Contoh yang menarik 
lainya adalah keberhasilan grup dari Perancis merubah reaksi yang 
dikatalis oleh enzim Cyclophilin dari isomerisasi menjadi endopeptidase 
(9). Selain itu, PE telah digunakan untuk merubah berbagai sifat 
protein seperti aktivitas (10), pH (11) dan lain-lain.

bersambung ke bagian 2 ...







Reply via email to