Bung Pras,

Saya setuju dengan tulisan Anda dibawah.
Saya cuma mau menambahkan beberapa hal:

a. Saya juga pernah ketemu dengan lingkungan TNI yang sangat resah 
dengan situasi dalam negeri akhir2 ini. Buku Saurip Kadi (Mengutamakan 
Rakyat) saya rasa cukup jelas menggambarkan adanya keraguan bahwa 
langkah2 reformasi yang dijalankan sudah cukup. Yang menarik ada perwira 
yang menuntut supaya Pancasila kalau tidak diterapkan dihapus saja.
Tetapi 5 tahun yang lalu banyak kawan2 yang sangat enthusias dengan SBY. 
Buku kecilnya (buku pedoman untuk PD) sifatnya integratif dan berisi 
hal2 yang diinginkan para leluhur2 pejuang kemerdekaan dan bersemangat 
Pancasila.
Kemudian SBY menegaskan janjinya dengan komitmen terhadap program 
reformasi birokrasi yang disusun oleh Partnership for Governance Reform. 
Tapi ternyata kabinet pelangi yang dibentuk tidak punya program politik, 
jadi susah ditagih janjinya sebab memang tidak ada. Sudah itu posisi 
kabinet dibagi2 kepada partai2 secara blok. Sebetulnya lebih baik kalau 
Menterinya dari partai A, maka deputy2 dan dirjen  dibagi kepada partai 
koalisi yang lain, sehingga  keputusan kabinet selalu merupakan 
keputusan koalisi.
Yang lebih celaka lagi ternyata kawan2 yang pernah jadi team sukses saja 
sulit mendapatkan termin cukup dengan SBY. Setiap pertemuan musti liwat 
team sekretariat negara  yang  birokratis dan biasanya hanya memberi 
jatah waktu terlalu pendek untuk membahas masalah secara mendalam. Jadi 
SBY sesungguhnya terjebak kurungan emas yang dibuatnya sendiri.

Menjebol kurungan emas ini mutlak perlu. Baik SBY maupun Boediono perlu 
lebih banyak turun langsung berkomunikasi dengan masyarakat. Dalam 
komunikasi ini keraguan2 yang selama ini menghambat langkah2 reform 
tentu akan diatasi bersama-sama dengan masyarakat. Untuk itu mungkin 
Birokrasi sekitar kantor kepresidenan dan sekretariat kabinet perlu 
disederhanakan dan lebih mudah diakses masyarakat.

b. Sistem hukum perdata kita memang sejak lama goyang. Bukan hanya 
karena sejarah pembengkokan hukum selama Orde Baru, tetapi tendensi 
dominasi cara pikir anglo saxon dan mungkin pragmatisme.
Saat Kwik Kian Gie tabrakan dengan IMF dan WB, setahu saya dia sendirian 
dan kemudian DPR maupun Kabinet tanda tangan UU yang diusulkan oleh IMF 
tanpa banyak ribut. Bagi Kwik mungkin ini sudah pelanggaran UUD, tetapi 
dalam cara pikir anglo saxon yang tidak punya konstitusi hal ini biasa 
saja. Cara pikir ini jangan2  dianut oleh mayoritas masyarakat. Setahu 
saya  T. Mulya Lubis malah setuju kalau kita  konsekwen pindah ke sistem 
anglo saxon, sebab perdagangan dunia ikut sistem ini.
Bangunan hukum kita mempengaruhi sistem dagang kita dan tidak saja 
menyebabkan daya saing kita sangat rendah, tetapi juga buruknya 
pelayanan negara. Reformasi hukum memerlukan kesungguhan dan dana cukup 
besar. Kalau berhasil reformasi hukum akan menjadi pelancar pembangunan.

Salam damai

Hok An


prastowo prastowo schrieb:
>  
>
> Bung Hok An,
> Maaf saya lama tidak buka email dan telat membalas email Anda yang 
> menarik ini. Saya bersetuju dengan Anda. Yang harus dipikirkan bangsa 
> ini adalah bekerja di dua tataran sekaligus.
> 1. Tataran normatif, bahwa kita perlu merumuskan "apa yang 
> seharusnya/sebaiknya dilakukan" ( saya sebut saja tataran 'etis').
> 2. Tataran praksis, sebagai turunan dari tataran etis, yaitu tataran 
> politis/hukum.
>
> Kita ini seolah hidup dalam "dua dunia', di satu sisi urgensi akan no 
> 1 tak bisa ditawar-tawar lagi melihat kompleksitas tantangan bangsa, 
> namun no 2 kunjung memadai sebagai sebuah langkah operasional. Yang 
> menjadi PR adalah bagaimana mengaitkan no 1 ke no 2 ini, apakah 
> hubungannya niscaya atau arbitrer ( manasuka ) saja?
>
> Ide Anda saya kira mampu mengisi defisit ini, dan sejauh saya tahu 
> sudah diusulkan juga ya di milis tetangga ke Uda Adrinof Chaniago? 
> Kita menghadapi kasus terorisme, Ahmadiyah, fundamentalisme agama, 
> intoleransi, ketimpangan sosial, dll, yang perlu semacam "pandu".
>
> Sebenarnya dg SBY sudah pernah dicoba. Tahun 2006 diadakan Simposium 
> Nasional dg tema Restorasi Pancasila di UI, kebetulan saya ikut di 
> dalamnya. Lalu hasil simposium ini dikemas secara akbar di JCC, dg 
> penyerahan rekomendasi secara simbolik ke SBY. Pidato SBY waktu itu 
> sungguh menggugah dan komitmennya jelas. Hanya saja kok di tataran 
> praksis kita masih mendapati UU Pornografi disahkan, UU Kerahasiaan 
> Negara, hingga kasus Ahmadiyah yang menyedihkan itu. Agaknya SBY 
> sendiri gamang. Entah untuk kali ini, apakah dia akan cukup percaya 
> diri? kita berharap demikian. Minimal visi ini harus tegas dan jelas 
> dlm Kabinet Indonesia Bersatu jilid II nanti. Jangan ada aneka 
> ideologi dlm satu kapal.
>
> Usul Anda konkrit. Dua minggu lalu saya ngobrol hampir 2 jam dg 
> seorang pejabat eselon II di Depkumham dlm  sebuah acara Halal 
> bihalal. Beliau prihatin dg sistem hukum kita yang karut marut. Ada 
> semacam pertarungan mazhab, kontinental vs anglo-saxon yang tak 
> terjembatani, dan celakanya di masyarakat sudah menjadi sebuah 
> kebenaran melalui pemberitaan saja. Ceritanya sungguh mengerikan, juga 
> terkait bagaimana KUH Perdata banyak ditabrak oleh tafsir hukum 
> kontemporer.
>
> Singkatnya kita berada dalam krisis. Perlu 'political will' dan spirit 
> 'nothing to lose' dari pucuk pimpinan kita. Depdagri memang harus 
> dipulihkan perannya, disinergikan dg Depkumham ( atau kementrian HAM 
> dipisah saja biar jelas ), dan seluruh aturan ditinjau lagi, 
> dikodifikasi dan diuji, entah di MA atau MK, untuk membentuk sebuah 
> sistem hukum yg jelas. kasus NAD tak perlu terjadi lagi.
>
> Setahun lalu saya pernah diminta bicara di Rakertas Dewan Ketahanan 
> Nasional, ada sekitar 60 petinggi TNI/Polri berpangkat brigjen ke 
> atas, dan 40 dan 40 an pejabat eselon I/II. waktu itu bicara 'civil 
> society', namun keprihatinan soal Pancasila ini mengemuka, diskusi 
> hangat, dan saya kira aspirasi TNI perlu kanalisasi dan manajemen yg 
> baik juga, mereka perlu didengarkan. Pemikiran mereka cemerlang dan 
> komitmen mereka masih kuat. Konsekuensi TNI yg 'back to barak' adalah 
> gejala umum rasa tak aman. Ini kesempatan untuk membina soliditas dan 
> menjadikan aneka tantangan ini sebagai peluang.
>
> Ada harapan, tapi lebih-lebih kecemasan.
> mari kita elaborasi lagi gagasan Anda ini.
>
> salam,
>
> pras
>
> ________________________________
> Dari: Hok An <ho...@t-online.de <mailto:Hokan%40t-online.de>>
> Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com 
> <mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com>
> Terkirim: Kam, 8 Oktober, 2009 10:02:07
> Judul: Re: Bls: [Keuangan] PANCASILA
>
>  
> Bung Prastowo,
>
> Hampir selalu ada masalah dengan pluralitas budaya dan sistem nilai.
> Budaya umumnya bersifat dinamis dan sistem nilainya ikut perkembangan
> budaya kemanusiaan, sistem produksi dan politik.
> Misalnya sistem keluarga yang dikita seribu satu modelnya, jadi budaya
> adalah suatu keadaan yang kompleks.
>
> Kita bisa harapkan bahwa UUD atau sistem etika yaitu Pancasila menjadi
> rangka dari suatu sistem yang plural dan kompleks ini. Tetapi cara
> penyelesaian kontradiksi antar sistem ini belum ada resep umum yang
> jelas. Walaupun penyelesaian secara dialog untuk mencari konsensus
> bersama sering dikatakan sebagai jalan keluar, tetapi selalu saja ada
> badan2 negara maupun swasta yanng merasa berhak untuk menetapkan
> satu2nya yang benar.
>
> Dalam sejarahnya Pancasila pernah dijadikan pentung untuk menyingkirkan
> kelompok2 yang tidak disukai dan menakuti banyak orang. Banyak orang
> sebab itu trauma. Kalau azas ini yang mau dijadikan bingkai dari seluruh
> kebinekaan budaya kita, perlu ada rekonsiliasi dan reaktualisasi. Selain
> itu rakyat harus jelas kalau ini aparat saya untuk hidup aman, damai dan
> sejahtera bagaimana bisa saya tagih. Pemikiran bagaimana Pancasila
> berubah dari placebo menjadi aparat (jadi bukan tujuan) yang bermanfaat
> bagi masyarakat merupakan usaha besar yang hasilnya tidak bisa ditunggu
> lama2 lagi.
> Sebaiknya kabinet yang baru segera menjelaskan bagaimana Pancasila, UUD
> dan semua UU yang ada bisa menjadi sistem penyelesaian konflik yang
> berfungsi dan dimengerti semua orang.
>
> Salam damai
>
> Hok An
>
> prastowo prastowo schrieb:
> >
> >
> > Bli,
> > Saya kira konklusi ini cukup memadai dan komprehensif, terima kasih
> > untuk ini. Tugas kita bersama adalah memikirkan soal ini. Di tengah
> > aneka kepentingan, motif, usaha, maupun tujuan, saya yakin kita
> > sebagai warganegara Indonesia masih memiliki satu irisan yang
> > menyatukan. Yang membedakan mungkin hanya "kadarnya", yang sangat
> > percaya, biasa-biasa saja, maupun skeptis, semua berhak hidup dan
> > masing2 memiliki alasan yg sah, karena Pancasila hidup dalam sejarah.
> >
> > Kekeliruan Orde Baru - dan ini sangat fatal - adalah menjadikan
> > Pancasila ahistoris. Nah, di sini saya sedikit memperkenalkan apa yang
> > dalam Filsafat Politik disebut prinsip 'Metanormatif' . Etika-etika
> > yang ada, termasuk norma agama, bersifat normatif, mengikat dan
> > menjadi imperatif bagi warga/umatnya. Indonesia adalah Taman Etika,
> > dan juga Kebun Nilai-nilai. Pertanyaannya adalah, bagaimana Taman dan
> > Kebun ini bisa lestari, sedangkan masing2 memiliki klaim "paling"?
> >
> > Di sini Pancasila tepat jika ditempatkan dalam bingkai 'Metanormatof' .
> > Ia bukan sebuah nilai yg bersaing dengan nilai-nilai lain, melainkan
> > prinsip dasar yang memungkinkan nilai2 di Taman dan Kebun ini
> > dipraktikkan dan dihayati. Maka tujuan individual, komunitas, atau
> > kebangsaan terbingkai dan dijamin prinsip ini. Hasil akhir tidak harus
> > seragam, tetapi Pancasila harus memastikan bahwa semua memperoleh
> > kesempatan dan perlakuan yang sama.
> >
> > Liberalisme sebenarnya mengalami krisis seperti Pancasila juga, ketika
> > ia diperlakukan secara normatif. Liberalisme bisa "diselamatkan" jika
> > ia ditempatkan secara 'metanormatif' , sebagai prinsip dasar yang
> > menjamin kebebasan, jadi kebebasan bukan nilai intrinsik yang harus
> > diperjuangkan untuk diwujudkan, melainkan sesuatu yang diandaikan
> > sebagai dasar tindakan yang bebas. Kekeliruan (mungkin kelatahan ) ini
> > akhirnya melahirkan apa yang kita sebut Pancasila vs Islam (teokrasi),
> > dll, hal yg pernah saya kritik atas hasil penelitian sebuah lembaga
> > survei terkenal di Indonesia krn kerancuan yg menyesatkan ini.
> > Pancasila adalah prinsip dasar yg memungkinkan orang Islam, Kristen,
> > Hindu, Buddha, Batak, Jawa, Bugis, Minang, Cina, dll menghayati
> > keyakinan dan nilai-nilainya.
> >
> > ( untuk elaborasi ini saya berhutang pd pemikiran brilian Douglas B.
> > Rasmussen dan Douglas den Yul, dlm bukunya 'The Norm of Liberty', 2005).
> >
> > salam,
> >
> > pras
> >
> > ____________ _________ _________ __
> > Dari: Oka Widana <oka.wid...@indosat. net.id
> > <mailto:oka. widana%40indosat .net.id>>
> > Kepada: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
> > <mailto:AhliKeuanga n-Indonesia% 40yahoogroups. com>
> > Terkirim: Sel, 6 Oktober, 2009 20:20:56
> > Judul: RE: [Keuangan] PANCASILA
> >
> >
> > Saya kok merasa sepakat dengan yg ditulis rekan Hok An (Btw, kapan 
> Anda ke
> > Jakarta, lagi?). Pancasila itu, adalah konsensus para pendiri 
> Negara, yang
> > merupakan visi akan menjadi apa yang namanya negara dan bangsa Indonesia
> > itu. Pendiri Negara, tidak memberikan petunjuk, bagaimana atau akan
> > diapakan
> > pancasila dalam hal implementasi dan aplikasinya dalam berbangsa dan
> > bernegara. Artinya, Pancasila itu, kalau diibaratkan suatu wadah, 
> masihlah
> > wadah yang kosong, yang hanya diberi merek Pancasila.
> >
> > Jika persepsinya seperti itu, maka tak heran jika pak Harto dan
> > pemerintahannya pada saat itu berusaha menciptakan wadah yg 
> dinamakan P4.
> > Kalopun saat ini banyak yang bilang bahwa pendekatan itu salah, karena
> > bersifat indoktrinatif dan mengikis sikap kritis Warga Negara, saya
> > kira itu
> > adalah tahapan belajar yang harus kita lalui. Setelah era P4, 
> seolah-olah
> > Pancasila seperti tertelan bumi, antara ada dan tiada. Apakah P4,
> > menghasilkan efek traumatis terhadap Pancasila? Saya kira, walau 
> belum ada
> > penelitiannya, kok ngak sampai kesitu ya...
> >
> > Bung Poltak benar mempertanyakan Pancasila itu seperti apa? Wong dia 
> baru
> > melihat wadahnya doang.. mas Pras juga benar, karena beliau melihat,
> > didalam
> > wadah itu sudah ada isinya, yaitu kebijakan hasil pengalaman bangsa ini
> > selama 64 tahun merdeka, bahkan sebelumnya. Bung Enda, dan rekena2
> > lain saya
> > kira benar juga karena melihat angle yang berbeda, pada wadah ini.
> >
> > Pancasila seperti halnya Merah Putih adalah kartu mati bagi Negara
> > Indonesia. Dulu Merah Putih, kita artikan berani (merah) karena suci
> > (putih), mungkin sekarang Merah Putih harus diintepretasikan lain.. 
> (wong
> > Nurdin Top dkk, aja bisa mengklaim semua aktivitas gilanya adalah berani
> > karena suci, apa bedanya dg Merah Putih Indonesia?) ditengah kapitalisme
> > modern, globalisasi, nasionalisme baru. Pancasila saya kira harus
> > diperlakukan sama, Pancasila adalah wadah yang dinamis, yang tak akan
> > pernah
> > penuh.
> >
> > Siapa yang harus mengisi, bukan Pemerintah tapi seluruh Warga Negara.
> > Jangan
> > Pemerintah yang bertugas mengisi, apalagi memonopoli intepretasi, entar
> > balik lagi jaman Orba dong. Suatu Badan atau lembaga yang diatas
> > Pemerintah,
> > yang merupakan representasi seluruh rakyat..apalagi kalo bukan MPR, 
> disitu
> > ada wakil Parpol dan Daerah, bukan? UUD 45 yang dulu dianggap sakral 
> saja
> > bisa diamend, walau kesakralannya ingin tetap dipertahankan dengan cara
> > tetap menamakannya UUD 45...artinya MPR bisa merumuskan guidance yg 
> lebih
> > jelas bagaimana mengaktualisasikan (saya tak ingin menggunakan kata
> > mengamalkan) Pancasila. Dari sanalah barulah bangsa ini bisa melangkah
> > lebih
> > jauh...
> >
> > Sebagai Moderator, saya tak ingin menutup diskusi mengenai Pancasila 
> ini,
> > tapi memang kesimpulannya ngak akan jauh dari yang saya tuliskan diatas.
> > Kalo mau dilanjutkan silahkan sajalah...untuk membedakan dengan 
> topik yang
> > terkait ekonomi, maka dibawah thread Pancasila, kita hanya akan membahas
> > hal2 diluar ekonomi. Hal-hal mengenai Ekonomi Pancasila, saya sarankan
> > dibawah traead Ekonomi Pancasila.
> >
> > Salam,
> >
> > From: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
> > [mailto:AhliKeuanga n- Indonesia@ yahoogroups. com] On Behalf Of Hok An
> > Sent: Wednesday, October 07, 2009 12:38 AM
> > To: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
> > Subject: Re: [Keuangan] PANCASILA
> >
> > Bung Poltak,
> >
> > bagi saya Pancasila tadinya adalah janji bentuk dari negara (waktu itu
> > cuma RI).
> > Isinya adalah kompromi dari kelompok2 yang mendukung lingkaran kecil
> > sekitar BPKNIP.
> > Pada awalnya cuma ada 4 sila. Akhirnya jadi 5 sebab kelompok2 minoritas
> > menuntut masuknya perikemanusian.
> > Azas perikemanusian diaktualisasi sesudah UUD 45 diganti dengan
> > UUDSementara dimana seluruh konvensi PBB yaitu apa yang namanya Hak2
> > Azasi Manusia (HAM) diadopsi dalam UUD ini.
> > Jadi Indonesia adalah satu negara yang pertama mengakui HAM.
> > Tetapi mengakui kita sekarang tahu semua ternyata bukan melaksanakan.
> >
> > Yang terjadi malah degradasi sistem negara hukum sampai nyaris hilang.
> > Yang hilang bukan hanya sistem hukum, tetapi juga norma dan etika.
> > Singkat kata sesungguhnya konsensus nasional tentang baik dan buruk,
> > benar dan salah sudah dalam keadaan lumpuh.
> >
> > Perlu dikaji ada atau tidak lembaga negara yang bertugas mengawasi dan
> > menerapkan sistem hukum, norma dan etika dalam negara kita.
> > Sesungguhnya badan tertinggi adalah MPR. Tetapi badan ini sudah maya,
> > sebab fungsi yang nyata tidak jelas lagi. Sebetulnya MPR adalah badan
> > yang bertugas menyusun sistem nilai apakah UU yang ada sesuai dengan
> > Pancasila atau tidak. Berdasarkan sistem nilai ini harusnya setiap
> > undang2 bisa dinilai oleh Makamah konstitusi apakah masih berlaku.
> >
> > Dalam praktek se-hari2 harusnya ada menteri UUD yang bertugas mendidik
> > dan mengawasi semua unit2 kenegaraan supaya bekerja dalam kerangka UUD.
> > Di Indonesia fungsi ini tidak jelas ada di departemen apa. Harusnya
> > jabatan ini dipegang oleh Menteri Dalam Negeri yang 10 tahun terakhir
> > ini se-olah2 kehilangan perannya sebagai juru pimpin tata negara kita.
> >
> > Jadi Pancasila dan aparatnya yaitu seluruh sistem perundangan kita ini
> > belum bisa atau tidak selalu bisa ditagih, mirip obat placebo. Merek
> > sudah ada tapi isinya masih kosong.
> > Mengatasi masalah ini tidak mudah, sebab visi politik untuk itu 
> belum ada.
> > Sebab itu perlu ditanamkan idealisme supaya visi negara modern dengan
> > tata negara yang jelas bisa jadi infrastruktur politik kita dikemudian
> > hari.
> >
> > Salam
> >
> > Hok An
> >
> > Poltak Hotradero schrieb:
> > >
> > >
> > > At 11:40 AM 10/6/2009, you wrote:
> > > >Aku jd tertarik jg comment. Menurutku semua pemikiran/konsep selalu
> > > >merupakan respond terhadap tantangan jaman dan waktu. Jd, ada
> > > >assumsi yg melandasi konsep tsb.
> > > >
> > > >Asumsi2 dasar ekonomi kapitalis, sosialis rasanya sudah jelas. Yg
> > > >rasanya belum jelas ialah ekebenarnya apa sih asumsi2 ekonomi
> > Pancasila?
> > >
> > > Bung Enda,
> > >
> > > Itu dia bagian dari pertanyaan saya sejak berhari-hari yang lewat.
> > > Pancasila itu konkritnya apa? (dan sama dengan itu - ekonomi
> > > Pancasila itu konkritnya apa?)
> > >
> > > Kayaknya masih belum terjawab.
> > > Dan kalau memang belum terjawab -- bagaimana kita bisa tahu ekonomi
> > > pancasila (apapun itu) adalah penyelesaian atas masalah ekonomi kita?
> > >
> > > Bila ternyata Pancasila tidak mendorong penegakan hukum atau
> > > meritocracy -- maka semakin berkuranglah poin untuk menyatakan bahwa
> > > ekonomi pancasila adalah resep yang tepat...
> > >
> > > Sekadar jadi gerakan moral ya silahkan saja -- tetapi sebagai "agama"
> > > atau doktrin ekonomi -- Pancasila rasanya sudah terlalu jauh.
> > >
> > > >Pertanyaan berikutnya tentu, seberapa penting sebenarnya asumsi tsb
> > > >dibawa dalam tahap operasional. [Aku sendiri pernah schock baca
> > > >paper lama dari Milton Friedman "The Methodology of Positive
> > > >Economics", yg kurang lebih bilang bhw unrealistics assumsi dalam
> > > >teori ekonomi tidaklah penting, selama teori tsb menghasilkan
> >
> > .
>

Kirim email ke