Bung Prastowo,

Hampir selalu ada masalah dengan pluralitas budaya dan sistem nilai. 
Budaya umumnya bersifat dinamis dan sistem nilainya ikut perkembangan 
budaya kemanusiaan, sistem produksi dan politik.
Misalnya sistem keluarga yang dikita seribu satu modelnya, jadi budaya 
adalah suatu keadaan yang kompleks.

Kita bisa harapkan bahwa UUD atau sistem etika yaitu Pancasila menjadi 
rangka dari suatu sistem yang plural dan kompleks ini. Tetapi cara 
penyelesaian kontradiksi antar sistem ini belum ada resep umum yang 
jelas. Walaupun penyelesaian secara dialog untuk mencari konsensus 
bersama sering dikatakan sebagai jalan keluar, tetapi selalu saja ada 
badan2 negara maupun swasta yanng merasa berhak untuk menetapkan 
satu2nya yang benar.

Dalam sejarahnya Pancasila pernah dijadikan pentung untuk menyingkirkan 
kelompok2 yang tidak disukai dan menakuti banyak orang. Banyak orang 
sebab itu trauma. Kalau azas ini yang mau dijadikan bingkai dari seluruh 
kebinekaan budaya kita, perlu ada rekonsiliasi dan reaktualisasi. Selain 
itu rakyat harus jelas kalau ini aparat saya untuk hidup aman, damai dan 
sejahtera bagaimana bisa saya tagih. Pemikiran bagaimana Pancasila 
berubah dari placebo menjadi aparat (jadi bukan tujuan) yang bermanfaat 
bagi masyarakat merupakan usaha besar yang hasilnya tidak bisa ditunggu 
lama2 lagi.
Sebaiknya kabinet yang baru segera menjelaskan bagaimana Pancasila, UUD 
dan semua UU yang ada bisa menjadi sistem penyelesaian konflik yang 
berfungsi dan dimengerti semua orang.


Salam damai

Hok An

prastowo prastowo schrieb:
>  
>
> Bli,
> Saya kira konklusi ini cukup memadai dan komprehensif, terima kasih 
> untuk ini. Tugas kita bersama adalah memikirkan soal ini. Di tengah 
> aneka kepentingan, motif, usaha, maupun tujuan, saya yakin kita 
> sebagai warganegara Indonesia masih memiliki satu irisan yang 
> menyatukan. Yang membedakan mungkin hanya "kadarnya", yang sangat 
> percaya, biasa-biasa saja, maupun skeptis, semua berhak hidup dan 
> masing2 memiliki alasan yg sah, karena Pancasila hidup dalam sejarah.
>
> Kekeliruan Orde Baru - dan ini sangat fatal - adalah menjadikan 
> Pancasila ahistoris. Nah, di sini saya sedikit memperkenalkan apa yang 
> dalam Filsafat Politik disebut prinsip 'Metanormatif'. Etika-etika 
> yang ada, termasuk norma agama, bersifat normatif, mengikat dan 
> menjadi imperatif bagi warga/umatnya. Indonesia adalah Taman Etika, 
> dan juga Kebun Nilai-nilai. Pertanyaannya adalah, bagaimana Taman dan 
> Kebun ini bisa lestari, sedangkan masing2 memiliki klaim "paling"?
>
> Di sini Pancasila tepat jika ditempatkan dalam bingkai 'Metanormatof'. 
> Ia bukan sebuah nilai yg bersaing dengan nilai-nilai lain, melainkan 
> prinsip dasar yang memungkinkan nilai2 di Taman dan Kebun ini 
> dipraktikkan dan dihayati. Maka tujuan individual, komunitas, atau 
> kebangsaan terbingkai dan dijamin prinsip ini. Hasil akhir tidak harus 
> seragam, tetapi Pancasila harus memastikan bahwa semua memperoleh 
> kesempatan dan perlakuan yang sama.
>
> Liberalisme sebenarnya mengalami krisis seperti Pancasila juga, ketika 
> ia diperlakukan secara normatif. Liberalisme bisa "diselamatkan" jika 
> ia ditempatkan secara 'metanormatif', sebagai prinsip dasar yang 
> menjamin kebebasan, jadi kebebasan bukan nilai intrinsik yang harus 
> diperjuangkan untuk diwujudkan, melainkan sesuatu yang diandaikan 
> sebagai dasar tindakan yang bebas. Kekeliruan (mungkin kelatahan ) ini 
> akhirnya melahirkan apa yang kita sebut Pancasila vs Islam (teokrasi), 
> dll, hal yg pernah saya kritik atas hasil penelitian sebuah lembaga 
> survei terkenal di Indonesia krn kerancuan yg menyesatkan ini. 
> Pancasila adalah prinsip dasar yg memungkinkan orang Islam, Kristen, 
> Hindu, Buddha, Batak, Jawa, Bugis, Minang, Cina, dll menghayati 
> keyakinan dan nilai-nilainya.
>
> ( untuk elaborasi ini saya berhutang pd pemikiran brilian Douglas B. 
> Rasmussen dan Douglas den Yul, dlm bukunya 'The Norm of Liberty', 2005).
>
> salam,
>
> pras
>
> ________________________________
> Dari: Oka Widana <oka.wid...@indosat.net.id 
> <mailto:oka.widana%40indosat.net.id>>
> Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com 
> <mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com>
> Terkirim: Sel, 6 Oktober, 2009 20:20:56
> Judul: RE: [Keuangan] PANCASILA
>
>  
> Saya kok merasa sepakat dengan yg ditulis rekan Hok An (Btw, kapan Anda ke
> Jakarta, lagi?). Pancasila itu, adalah konsensus para pendiri Negara, yang
> merupakan visi akan menjadi apa yang namanya negara dan bangsa Indonesia
> itu. Pendiri Negara, tidak memberikan petunjuk, bagaimana atau akan 
> diapakan
> pancasila dalam hal implementasi dan aplikasinya dalam berbangsa dan
> bernegara. Artinya, Pancasila itu, kalau diibaratkan suatu wadah, masihlah
> wadah yang kosong, yang hanya diberi merek Pancasila.
>
> Jika persepsinya seperti itu, maka tak heran jika pak Harto dan
> pemerintahannya pada saat itu berusaha menciptakan wadah yg dinamakan P4.
> Kalopun saat ini banyak yang bilang bahwa pendekatan itu salah, karena
> bersifat indoktrinatif dan mengikis sikap kritis Warga Negara, saya 
> kira itu
> adalah tahapan belajar yang harus kita lalui. Setelah era P4, seolah-olah
> Pancasila seperti tertelan bumi, antara ada dan tiada. Apakah P4,
> menghasilkan efek traumatis terhadap Pancasila? Saya kira, walau belum ada
> penelitiannya, kok ngak sampai kesitu ya...
>
> Bung Poltak benar mempertanyakan Pancasila itu seperti apa? Wong dia baru
> melihat wadahnya doang.. mas Pras juga benar, karena beliau melihat, 
> didalam
> wadah itu sudah ada isinya, yaitu kebijakan hasil pengalaman bangsa ini
> selama 64 tahun merdeka, bahkan sebelumnya. Bung Enda, dan rekena2 
> lain saya
> kira benar juga karena melihat angle yang berbeda, pada wadah ini.
>
> Pancasila seperti halnya Merah Putih adalah kartu mati bagi Negara
> Indonesia. Dulu Merah Putih, kita artikan berani (merah) karena suci
> (putih), mungkin sekarang Merah Putih harus diintepretasikan lain.. (wong
> Nurdin Top dkk, aja bisa mengklaim semua aktivitas gilanya adalah berani
> karena suci, apa bedanya dg Merah Putih Indonesia?) ditengah kapitalisme
> modern, globalisasi, nasionalisme baru. Pancasila saya kira harus
> diperlakukan sama, Pancasila adalah wadah yang dinamis, yang tak akan 
> pernah
> penuh.
>
> Siapa yang harus mengisi, bukan Pemerintah tapi seluruh Warga Negara. 
> Jangan
> Pemerintah yang bertugas mengisi, apalagi memonopoli intepretasi, entar
> balik lagi jaman Orba dong. Suatu Badan atau lembaga yang diatas 
> Pemerintah,
> yang merupakan representasi seluruh rakyat..apalagi kalo bukan MPR, disitu
> ada wakil Parpol dan Daerah, bukan? UUD 45 yang dulu dianggap sakral saja
> bisa diamend, walau kesakralannya ingin tetap dipertahankan dengan cara
> tetap menamakannya UUD 45...artinya MPR bisa merumuskan guidance yg lebih
> jelas bagaimana mengaktualisasikan (saya tak ingin menggunakan kata
> mengamalkan) Pancasila. Dari sanalah barulah bangsa ini bisa melangkah 
> lebih
> jauh...
>
> Sebagai Moderator, saya tak ingin menutup diskusi mengenai Pancasila ini,
> tapi memang kesimpulannya ngak akan jauh dari yang saya tuliskan diatas.
> Kalo mau dilanjutkan silahkan sajalah...untuk membedakan dengan topik yang
> terkait ekonomi, maka dibawah thread Pancasila, kita hanya akan membahas
> hal2 diluar ekonomi. Hal-hal mengenai Ekonomi Pancasila, saya sarankan
> dibawah traead Ekonomi Pancasila.
>
> Salam,
>
> From: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
> [mailto:AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com] On Behalf Of Hok An
> Sent: Wednesday, October 07, 2009 12:38 AM
> To: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
> Subject: Re: [Keuangan] PANCASILA
>
> Bung Poltak,
>
> bagi saya Pancasila tadinya adalah janji bentuk dari negara (waktu itu
> cuma RI).
> Isinya adalah kompromi dari kelompok2 yang mendukung lingkaran kecil
> sekitar BPKNIP.
> Pada awalnya cuma ada 4 sila. Akhirnya jadi 5 sebab kelompok2 minoritas
> menuntut masuknya perikemanusian.
> Azas perikemanusian diaktualisasi sesudah UUD 45 diganti dengan
> UUDSementara dimana seluruh konvensi PBB yaitu apa yang namanya Hak2
> Azasi Manusia (HAM) diadopsi dalam UUD ini.
> Jadi Indonesia adalah satu negara yang pertama mengakui HAM.
> Tetapi mengakui kita sekarang tahu semua ternyata bukan melaksanakan.
>
> Yang terjadi malah degradasi sistem negara hukum sampai nyaris hilang.
> Yang hilang bukan hanya sistem hukum, tetapi juga norma dan etika.
> Singkat kata sesungguhnya konsensus nasional tentang baik dan buruk,
> benar dan salah sudah dalam keadaan lumpuh.
>
> Perlu dikaji ada atau tidak lembaga negara yang bertugas mengawasi dan
> menerapkan sistem hukum, norma dan etika dalam negara kita.
> Sesungguhnya badan tertinggi adalah MPR. Tetapi badan ini sudah maya,
> sebab fungsi yang nyata tidak jelas lagi. Sebetulnya MPR adalah badan
> yang bertugas menyusun sistem nilai apakah UU yang ada sesuai dengan
> Pancasila atau tidak. Berdasarkan sistem nilai ini harusnya setiap
> undang2 bisa dinilai oleh Makamah konstitusi apakah masih berlaku.
>
> Dalam praktek se-hari2 harusnya ada menteri UUD yang bertugas mendidik
> dan mengawasi semua unit2 kenegaraan supaya bekerja dalam kerangka UUD.
> Di Indonesia fungsi ini tidak jelas ada di departemen apa. Harusnya
> jabatan ini dipegang oleh Menteri Dalam Negeri yang 10 tahun terakhir
> ini se-olah2 kehilangan perannya sebagai juru pimpin tata negara kita.
>
> Jadi Pancasila dan aparatnya yaitu seluruh sistem perundangan kita ini
> belum bisa atau tidak selalu bisa ditagih, mirip obat placebo. Merek
> sudah ada tapi isinya masih kosong.
> Mengatasi masalah ini tidak mudah, sebab visi politik untuk itu belum ada.
> Sebab itu perlu ditanamkan idealisme supaya visi negara modern dengan
> tata negara yang jelas bisa jadi infrastruktur politik kita dikemudian 
> hari.
>
> Salam
>
> Hok An
>
> Poltak Hotradero schrieb:
> >
> >
> > At 11:40 AM 10/6/2009, you wrote:
> > >Aku jd tertarik jg comment. Menurutku semua pemikiran/konsep selalu
> > >merupakan respond terhadap tantangan jaman dan waktu. Jd, ada
> > >assumsi yg melandasi konsep tsb.
> > >
> > >Asumsi2 dasar ekonomi kapitalis, sosialis rasanya sudah jelas. Yg
> > >rasanya belum jelas ialah ekebenarnya apa sih asumsi2 ekonomi 
> Pancasila?
> >
> > Bung Enda,
> >
> > Itu dia bagian dari pertanyaan saya sejak berhari-hari yang lewat.
> > Pancasila itu konkritnya apa? (dan sama dengan itu - ekonomi
> > Pancasila itu konkritnya apa?)
> >
> > Kayaknya masih belum terjawab.
> > Dan kalau memang belum terjawab -- bagaimana kita bisa tahu ekonomi
> > pancasila (apapun itu) adalah penyelesaian atas masalah ekonomi kita?
> >
> > Bila ternyata Pancasila tidak mendorong penegakan hukum atau
> > meritocracy -- maka semakin berkuranglah poin untuk menyatakan bahwa
> > ekonomi pancasila adalah resep yang tepat...
> >
> > Sekadar jadi gerakan moral ya silahkan saja -- tetapi sebagai "agama"
> > atau doktrin ekonomi -- Pancasila rasanya sudah terlalu jauh.
> >
> > >Pertanyaan berikutnya tentu, seberapa penting sebenarnya asumsi tsb
> > >dibawa dalam tahap operasional. [Aku sendiri pernah schock baca
> > >paper lama dari Milton Friedman "The Methodology of Positive
> > >Economics", yg kurang lebih bilang bhw unrealistics assumsi dalam
> > >teori ekonomi tidaklah penting, selama teori tsb menghasilkan
>
> .
>

Kirim email ke