Jadi keberatan utamanya adalah keluarga, maka penghasilan suami plus istri dianggap sebagai penghasilan satu orang. Mis suami 20juta setahun tambah istri 20 juta pertahun, akan kena pajak seolah-olah penghasilan dihasilkan oleh suami saja sebanyak 40 juta setahun.
Kalau benar begini ya kita musti protes dong... gak adil banget. 2010/3/4 prastowo prastowo <sesaw...@yahoo.com> > SE-29/PJ/2010 ini cukup mengagetkan, karena implikasinya adalah wanita > kawin berpenghasilan dari satu pemberi kerja dan telah dipotong PPh Pasal 21 > dan memiliki NPWP sendiri ( tidak NPWP suami) akan dirugikan. Ini jelas > bertolak belakang dengan kampanye atau himbauan untuk ber-NPWP. Argumen > saya: > - UU KUP Pasal 2 ayat (1) mewajibkan wanita kawin hidup berpisah > berdasarkan putusan hakim atau perjanjian tertulis pisah harta dan > penghasilan. Ini kaidah yang lama. UU KUP 2007 ( 28/2007) menambahkan > dengan memberi kesempatan bagi wanita kawin di luar kriteria tadi untuk > mendaftarkan diri untuk dapat menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban > sendiri. > - Pasal 8 UU PPh. > ayat (1): penghasilan wanita kawin dari satu pemberi kerja dan telah > dipotong PPh tidak digabung/bukan merupakan penghasilan suami. UU Perpajakan > mengasumsikan keluarga sebagai satu entitas dg suami sebagai kepala RT. > ayat (2): Mengatur pengenaan pajak secara terpisah atas kriteria: > a. wanita kawin hidup berpisah berdasarkan putusan hakim. > b. wanita kawin menghendaki secara tertulis berdasarkan > perjanjian pisah harta dan kewajiban. > c. wanita kawin yang memilih menjalankan hak dan melaksanakan > kewajiban sendiri. > > Khusus huruf a penghitungannya dipisah sejak awal, huruf b dan c digabung > dulu baru dihitung proporsional. > > Nah, SE-29/PJ/2010 khususnya angka 3 huruf d menarik alur berpikir cari > Pasal2 itu lalu menyimpulkan bahwa wanita kawin sebagai pegawai dan > memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan telah dipotong PPh Pasal > 21 yang memiliki NPWP sendiri ( beda dg suaminya), penghitungan pajaknya > harus digabung dulu dengan penghasilan suami lalu baru dihitung PPh terutang > secara proporsional. > > Implikasinya: > Ketika penggabungan menyentuh lapisan tarif lebih tinggi, akan terjadi > KURANG BAYAR. > > Padahal: > - Pasal 8 ayat 1 UU PPh secara normatif mengecualikan penggabungan ini. > - Form 1770-III dan Form 1770 S-II angka 15 mengatakan bahwa penghasilan > istri dari satu pemberi kerja DIANGGAP final (selaras dg Pasal 8 UU KUP). > > SE ini merugikan wanita kawin (karyawati) yg beritikad baik mendaftarkan > diri ber-NPWP karena ada kemungkinan akan membayar kekurangan pajak, dan > dibedakan dengan karyawati yg NPWP-nya menginduk ke suami. > > Ini penafsiran saya, maka SE ini seharusnya tidak mengatur demikian di > angka 3 huruf d kalau membaca UU KUP dan UU PPh secara utuh dan benar. > > ada pendapat lain? > > salam, > > pras > > > > > > ________ [Non-text portions of this message have been removed]