Kok saya membaca tulisan menarik ini di Kompas, tak tahan untuk memforwardnya 
dimillis ini. 

Kalo mau dibilang sentimen, ngak nyangkal sih. Kebetulan didaerah asal saya, 
industri pariwisata menghidupi sebagian besar orang. Walau belum terasa benar 
adanya penurunan, saya kira indikasi apapun patut diwaspadai.

Kebetulan pula Menteri Pariwisata sekarang, orang Bali. Menteri yang, walau 
saya juga orang Bali, sama sekali tidak bisa dibanggakan prestasinya. Visit 
Indonesia Year yang sudah 2 tahun aja, tak menunjukkan keberhasilan...selain 
menghabiskan banyak anggaran tak jelas juntrungannya. Tahun lalu, ketika musim 
pemilihan menetri, di Bali sendiri gosip yg beredar, Jero Wacik, diperkirakan 
akan diganti (oleh orang Bali lainnya ....wakakakaka), tapi ternyata dia bisa 
bertahan, entah dengan alasan apa.

Kebetulan lainnya yang menulis artikel ini adalah juga orang Bali..

Oka



Tragedi Pariwisata Indonesia

Sabtu, 13 Maret 2010 | 02:29 WIB

Anak Agung Gde Agung

Pejabat-pejabat pemerintah dari segala tingkat semuanya menyatakan betapa 
baiknya kondisi kepariwisataan Indonesia dengan setiap tahun mengalami 
peningkatan mantap.

Namun, sebaliknya, semua data menunjukkan betapa buruknya keadaan 
kepariwisataan Indonesia dasawarsa belakangan ini. Selama 12 tahun terakhir, 
hingga 2007, jumlah turis yang berkunjung ke Indonesia berkisar 5 juta 
pengunjung setahun. Walaupun jumlah ini naik ke 6,4 juta pada tahun 2008, 
peningkatannya selama ini rata-rata 1,9 persen per tahun, suatu prestasi yang 
sangat menyedihkan.

Rata-rata lama tinggal turis juga turun dari 10 hari pada tahun 1977 menjadi 
8,5 hari tahun 2008. Lebih parah lagi adalah betapa jauhnya prestasi Indonesia 
dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia, 
yang tahun lalu masing-masing mendatangkan 10 juta, 15 juta, dan 22 juta turis.

Bagaimana bisa Indonesia yang begitu meluap dengan kekayaan budaya dan 
kecantikan alam hanya menarik kurang dari seperempat jumlah turis yang 
dilakukan Malaysia yang relatif begitu tandus? Tragedi ini rupanya berpangkal 
pada 1980-an sewaktu Indonesia, senantiasa kekurangan dana, menunjuk ke Bali 
yang sudah begitu tersohor sebagai sapi perahan kepariwisataannya.

Sejak itu, tidak banyak yang berubah. Hasilnya, kepariwisataan Indonesia 
praktis hanya tergantung pada Bali, dengan akibat yang menyedihkan. Turis yang 
melonjak tajam ke Bali diikuti terjadinya ledakan pembangunan infrastruktur 
yang mengerosikan lingkungan alam dan budayanya selain juga mengakibatkan 
ditelantarkannya daerah-daerah wisata lain yang tak kurang menarik di seluruh 
Nusantara. Tempat-tempat menakjubkan, seperti Borobudur, Yogyakarta, Toraja, 
Bunaken, dan Ujung Kulon, misalnya, begitu saja ditinggal tidak terurus.

Betapa buruknya stagnasi ini pada tujuan-tujuan wisata lainnya? Berikut ini 
adalah beberapa statistik yang mengejutkan. Borobudur, yang merupakan lambang 
warisan dunia yang diakui PBB, hanya berhasil mendatangkan sekitar 55.000 
wisatawan asing tahun lalu dibanding dengan lebih dari 1 juta oleh Angkor Watt 
di Kamboja yang baru saja "ditemukan". Toraja beberapa tahun terakhir ini hanya 
mendatangkan sekitar 5.000 wisatawan dari luar negeri per tahun.

Bunaken rata-rata hanya menarik 10.000 wisman setahun sepanjang ingatan orang 
dibandingkan dengan lebih dari 4 juta pengunjung untuk Pattaya di Thailand yang 
mirip. Ujung Kulon dengan badak bercula satunya yang langka hanya bisa 
mengklaim rata-rata 6.000 turis gabungan lokal dan luar negeri setahunnya.

Perbaikan kepariwisataan Indonesia harus secepatnya dilakukan dan persyaratan 
utama untuk itu adalah mengubah cara berpikir mendasar para pembuat 
kebijaksanaan. Pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mendeklarasikan 
bahwa turisme merupakan prioritas nasional dan aparat pusat maupun daerah, baik 
pemerintah maupun swasta, wajib bekerja sama dalam usaha ini.

Strategi cepat-hasil

Setelah itu perlu dilakukan beberapa tindakan "cepat-hasil" (quick-win) untuk 
menghidupkan kembali tujuan-tujuan wisata yang selama ini tidak diperhatikan, 
tetapi hanya perlu sentuhan kecil untuk membuat mereka aktif kembali.

Borobudur, misalnya, dapat dikembalikan ke kejayaannya semula dengan hanya 
merelokasi pedagang-pedagang kaki lima yang mengelilinginya dan membuatnya 
mesum serta mengganggu para wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan dan 
ketenteraman situs ini.

Toraja juga dapat menarik jauh lebih banyak wisatawan apabila bandaranya yang 
kini ditinggal rusak diperbaiki sehingga turis dapat datang ke sana dalam 45 
menit dari Makassar dan menghindari 10 jam perjalanan darat melalui 
gunung-gunung yang terjal. Untuk Ujung Kulon, jumlah turis dengan mudah dapat 
ditingkatkan dalam waktu singkat apabila diadakan transportasi laut yang aman 
dan berjadwal tetap dari Jakarta.

Ada banyak lagi tujuan wisata yang menakjubkan selain yang disebut di atas yang 
saat ini diabaikan, seperti Gunung Bromo, Pulau Komodo, Prambanan yang hanya 
memerlukan sentuhan kecil untuk membuat mereka menjadi tujuan turis utama 
sembari mengurangi tekanan terhadap Bali yang mengalami turis yang berlebihan 
dan merusak kebudayaan dan alamnya.

Fase "cepat-hasil" ini harus diikuti dengan program jangka panjang (strategic 
plan) untuk membangun tujuan-tujuan wisata yang memerlukan investasi 
infrastruktur agar tempat-tempat yang saat ini kurang dikenal dapat menjadi 
pusat wisata yang potensial. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kelanjutan 
jangka panjang industri turisme Indonesia.

Tempat-tempat menarik seperti ini, misalnya, adalah Trowulan dan Kota Gede 
untuk atraksi sejarah, Banda Naira dan Raja Ampat untuk olahraga selancar angin 
yang spektakuler, serta Lombok dan Waikabubak untuk pengalaman etnis yang tidak 
tertandingi. Masih banyak lagi tempat-tempat wisata seperti di atas yang dapat 
ditawarkan secara kelompok agar wisatawan dapat menikmati perjalanan yang lebih 
beraneka ragam.

Pentingnya "branding"

Baik pada waktu fase "cepat-hasil" maupun pada fase jangka panjang, usaha 
memperbaiki kepariwisataan Indonesia harus didukung oleh promosi yang tepat 
dengan melakukan branding nasional yang selaras. Malaysia memiliki "Truly 
Asia", India mengklaim "Incredible", sedangkan Singapura dan Thailand 
masing-masing menamakan diri mereka "Uniquely Singapore" dan "Amazing Thailand".

Branding perlu untuk memosisikan suatu tujuan wisata agar selalu dalam ingatan 
pertama (top of mind) calon turis, sekalian menjaring agar wisatawan yang 
datang adalah yang tepat yang dapat menghargai kekhasan tujuan wisata yang 
bersangkutan. Paradigma dasar kepariwisataan mengatakan, lebih banyak turis 
yang datang menghargai kekhasan suatu tujuan wisata, lebih banyak pula 
masyarakat setempat yang akan merasa bangga dengan warisan budaya dan alamnya 
sehingga makin termotivasi untuk melestarikannya. Ini justru akan mendatangkan 
lebih banyak turis yang selaras. Semua ini akan menghasilkan suatu gerakan 
spiral ke atas yang saling mendukung antara masyarakat lokal dan turis yang 
datang bersama-sama memperkuat warisan tradisi setempat.

Program pariwisata yang berhasil dapat memberikan banyak faedah bagi Indonesia, 
antara lain membuatnya sebagai tujuan wisata yang paling beraneka ragam di 
dunia, memberinya penghasilan devisa yang berkelanjutan dan bersih lingkungan 
yang bisa jauh lebih besar nilainya dari yang didapat dari sumber-sumber 
lainnya, seperti minyak, yang terbatas jumlahnya.

Selain itu juga membawa kemakmuran bagi rakyat di seluruh Nusa Tenggara secara 
merata (bukan saja di Bali) melalui pemberdayaan dan kemandirian masyarakat 
akar rumput tanpa merusak warisan budaya, tradisi, dan alam setempat. Semua ini 
merupakan potensi besar yang perlu diraih Indonesia karena pahalanya terlalu 
besar untuk dibiarkan berlalu begitu saja.

Anak Agung Gde Agung Menteri Masalah–masalah Kemasyarakatan di Bawah Presiden 
Abdurrahman Wahid

Kirim email ke