*BALI MENYIMPAN BANYAK BEBAN*

Oleh : Gde Wisnaya Wisna

Seorang ahli psikoanalisa dari Jerman yang sangat terkenal dan hidup antara
tahun 1856 s/d 1939 yaitu Sigmon Freud, pernah mengatakan bahwa manusia
hidup memiliki 2 naluri, yaitu naluri kehidupan dan naluri kematian. Naluri
kehidupan merupakan dorongan spontan dari dalam diri manusia untuk hidup dan
tumbuh, termasuk keinginan untuk mempertahankan kehidupan. Sementara naluri
kematian adalah dorongan spontan dari dalam diri manusia berkaitan dengan
keinginan mengakhiri kehidupannya menuju kematian, dan juga keinginan
menghancurkan pihak lain. Kedua naluri ini berdampingan dan tidak bisa
dipisahkan satu dengan lainnya. Baik naluri untuk bertahan hidup maupun
naluri untuk menghancurkan eksis bersama dalam satu pribadi manusia yang
utuh..

    Dalam konteks yang disampaikan oleh Sigmon Freud tersebut, Bali
nampaknya harus mawas diri dalam melangkah ke masa depan. Berbagai peristiwa
yang terjadi belakangan ini seperti penggugatan Perda RTRW Bali oleh
sekelompok masyarakat Bali sendiri, pencurian pretima , kerusakan lingkungan
dan konflik adat sangat membuat miris hati kita. Sejauh ini Bali dikenal
dengan sebutan banyak nama yang indah-indah, seperti Pulau Dewata, Pulau
Seribu Pura, Pulau Sorga, Pulau Kahyangan dan lain-lain. Tentu orang luar
yang mengagumi Bali yang memberikan nama tersebut. Tahun 2009 Bali juga
menjadi pulau tujuan wisata terbaik di asia pasifik. Tapi kecendrungan
perkembangan Bali ternyata menjauh dari makna nama-nama tersebut.



*Terganggunya Parhyangan *

    Tanpa disadari, naluri orang Bali untuk menghancurkan dirinya sendiri
kini sedang bekerja dengan laju yang mengkhawatirkan.Tiga pilar kehidupan
orang Bali, yaitu *parhyangan, palemahan dan pawongan*, sedang mengalami
ujian berat. Di bidang *Parhyangan*, misalkan soal radius kesucian pura yang
sedang digugat di Mahkamah Agung oleh semeton Bali. Pura adalah tempat suci
orang Hindu di Bali dalam melaksana upacara dan upakara agama. Karena
kesuciannya yang perlu dilindungi, perda RTRW Bali telah mengatur agar jarak
5 km dari Pura tidak dibangun fasilitas pariwisata, yang mungkin mencemari
kesucian Pura. Aturan ini rupanya tidak disenangi oleh investor. Dan melalui
tangan-tangan orang Bali sendiri, yaitu sebagian dari masyarakat Pecatu,
investor ingin agar MA menganulir ketentuan tersebut. Jika MA mengabulkan,
maka sudah bisa dibayangkan, bahwa tidak akan ada sejengkal tanah Bali yang
disisakan oleh investor. Masih soal yang berkaitan dengan bidang parhyangan,
kedamaian kehidupan agama di Bali juga diguncang melalui pencurian
benda-benda sakral di Pura, yaitu pretima-pretima yang merupakan perlambang
dari Betara-Betari, yang disungsung dan dipuja umat Hindu di Bali. Yang
mengejutkan, pencurinya adalah orang Bali, sementara penadahnya orang asing.
Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 150 pretima yang ditemukan di salah satu
Villa milik seorang warga Negara Prancis.



*Kehancuran Palemahan*

    Destruksi *palemahan* Bali semakin hari akan semakin sulit dibendung
bila tidak dikawal dengan waspada. Tentu memori kita masih menyimpan dengan
baik, bagaimana kasus Loloan Yeh Poh di Kuta Utara cukup menggemparkan di
tahun 2007 yang lalu. Investor sudah memiliki HGB menyender campuan
sungai/loloan yang dianggap suci oleh masyarakat. Investor menginginkan
Loloan tersebut menjadi resort wisata. Padahal ada SK Bupati Badung yang
melarang membangun resort wisata di daerah loloan. Masyarakat di 8 desa adat
disana protes. Setiap sudut palemahan Bali bagi investor ibarat gadis
cantik. Apalagi kalau sudah menyangkut gunung, sungai maupun danau. Begitu
juga halnya dengan danau Buyan yang sangat diminati oleh investor. Padahal
danau Buyan adalah kawasan Suci yang menjadi sumber mata air utama bagi
masyarakat. Kemudian, sampai saat kini masih tetap ada yang mencoba
melanjutkan upaya eksplorasi panas bumi di daerah hulu Bali, yaitu Bedugul.
Benar-benar, nasib palemahan Bali kian mengkhawatirkan karena wilayah
hutannya juga sudah sangat berkurang. Ada sekitar 18,4 % hutan Bali dalam
keadaan kritis akibat penebangan liar oleh orang Bali yang tidak terkendali,
selain sebanyak 264 hektar hutan juga dibakar oleh orang Bali. Sampah
plastic maupun sampah beracun juga mulai mengancam palemahan Bali dan sampai
sekarang perda yang akan mengaturnya belum selesai dibuat oleh DPRD.
Palemahan Bali yang kecil ini sebentar lagi tidak akan mampu memberikan daya
dukung bagi kehidupan mahluk hidup, karena setiap jengkal tanah sudah
dikapling.



*Konflik Meluas*

    Bidang *pawongan* tidak kalah gawatnya. Konflik adat yang banyak
bermunculan dalam 2 pekan ini menyajikan drama sosial dalam episode yang
menyedihkan. Lihatlah konflik di Cemagi Badung. Kemudian konflik di Gianyar
antara dusun Ketandan dan dusun Tegalingah. Dan yang paling menyedot
perhatian, konflik sengketa tanah di desa Lemukih antara masyarakat desa
adat dengan pemegang sertifikat tanah. Perang batu antara pihak yang
bertikai dan bahkan saling membakar rumah maupun membunuh telah terjadi
dalam konflik-konflik tersebut. Pun tidak hanya dalam setiap konflik adat
saja terjadi kekerasan. Beberapa bulan lalu juga terjadi korban akibat
konflik antar pemuda saat terjadi gerak jalan agustusan di Buleleng.
Jelaslah, sudah mulai punah konsep hidup orang Bali yang begitu luhung
dinyatakan dalam pepatah “*paras paros sarpanaya selunglung sebayantaka*”.
Keseimbangan dan keselarasan hubungan antar manusia begitu mudah tergelincir
menjadi konflik. Sesama orang Bali lantas bisa saling menghancurkan.
Gambaran buram masalah sosial dan kemasyarakatan Bali makin dilengkapi
dengan perilaku generasi mudanya yang suka mabuk-mabukan dan mengkonsumsi
miras oplosan. Kita sering membaca, makin banyak saja korban mati anak-anak
muda karena menenggak minuman keras yang dioplos.



*Mengawal Transformasi Sosial*

    Bali sedang mengalami suatu proses transformasi sosial. Transformasi
sosial diartikan sebagai perubahan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan,
seperti tata nilai, pranata sosial, wawasan, cara berpikir, atau kebiasaan
yang telah lama terjadi di masyarakat dan sebagainya. Perubahan nilai-nilai
yang dibawa dalam proses transformasi ini memberikan ekses negatif
sebagaimana berdampak pada hal-hal yang telah dijelaskan diatas. Perlu
pengawalan dalam proses transformasi tersebut, sehingga dapat berlangsung
dengan harmonis. Siapakah yang bertugas mengawal ? Tidak lain adalah para
pemimpin formal maupun non-formal mulai dari tingkatan paling bawah sampai
paling atas. Segala sesuatu akan bersumber dari pemimpinnya, termasuk
berbagai kebijakan yang dikeluarkan. *Leadership* yang mampu mengelola
proses transformasi sosial yang akan menyelamatkan Bali dari naluri kematian
dan penghancuran.(***)




-- 
Gde Wisnaya Wisna
Jl.Dewi Sartika Utara 32A
Singaraja-Bali

Kirim email ke