WATAK "TIIS LEUNGEUN" ORANG SUNDA

Oleh USEP ROMLI HM

Tiis leungeun merupakan sebuah babasan atau perumpamaan yang cukup
populer di kalangan masyarakat Sunda. Hal ini biasa diterapkan pada
seorang atau beberapa petani yang selalu sukses dalam bercocok tanam.
Menanam apa saja pasti tumbuh. Mulai dari menancapkan benih hingga
memetik hasil betul-betul mulus dan lancar tanpa terganggu hama atau
penyakit.

Berbeda dengan petani panas leungeun, menanam apa saja selalu gagal.
Benih tumbuh tetapi mereketetet, kerdil mengering. Kongkoak (bakal
tunas) mati sebelum menjadi kungkueuk (tanaman jadi).

Bagaimana seandainya konsep watak tiis leungeun diterapkan kepada para
pemimpin, terutama di daerah, yang memiliki keterkaitan langsung
dengan rakyat? Tentu akan ideal sekali. Sebab, segala tindakan dan
gagasan seorang pemimpin tiis leungeun-barangkali dapat diterjemahkan
langsung secara harfiah menjadi tangan dingin-tentu akan terbukti di
lapangan.

Ibarat petani tiis leungeun, ia menanam sebutir biji yang kemudian
tumbuh menjadi sebatang pohon berbunga indah dan berbuah lezat. Ia
akan membawa manfaat dan maslahat kepada semua. Tegasnya, bukan
sekadar omong kosong, janji palsu, atau rayuan gombal belaka yang
diumbar pada saat-saat ia ingin terpilih. Namun, setelah terpilih ia
menyimpang dari kesepakatan awal. Ia lebih dulu mementingkan balas
budi dan materi kepada tim sukses daripada memelihara kepercayaan
rakyat yang telah diperolehnya.

Pemimpin tiis leungeun saat kampanye menjanjikan sekolah dan kesehatan
gratis. Tatkala berhasil meraih kemenangan, ia benar-benar berupaya
agar janji tersebut terpenuhi. Sekolah gratis benar-benar tak usah
bayar, tidak sekadar "gratis-gratisan' seperti sering terjadi
sekarang. Waktu masuk, murid atau orangtua murid memang tidak usah
membayar. Tidak ada pungutan apa-apa. Akan tetapi, setelah masa
belajar berjalan, muncul aneka macam biaya yang harus dibayarkan, baik
berupa buku teks, lembar kerja sekolah (LKS), maupun kegiatan
ekstrakurikuler.

Demikian pula dengan kesehatan gratis, terutama untuk rakyat miskin,
diusahakan tanpa kendala. Maka, tidak akan pernah terjadi kasus
kemacetan dana asuransi kesehatan untuk rakyat miskin (Askeskin), yang
mengakibatkan beberapa rumah sakit umum daerah tak mampu lagi melayani
pasien dari kalangan masyarakat miskin. Pemeriksaan fisik masih
mungkin gratis, tetapi pemeriksaan laboratorium dan obat-obatan harus
dibayar. Ini merupakan sebuah ironi menyedihkan.

Selalu terbukti

Pemimpin tiis leungeun dapat dirumuskan dengan jelas, antara lain
ucapannya-baik berupa janji maupun petunjuk dan ajakan-selalu terbukti
dalam kenyataan. Janji memberantas korupsi bukan sekadar teori atau
"tebar pesona", melainkan betul-betul tegas trengginas. Singkil
purikil cangcut tali wanda, ia siap bergerak dan menghadapi segala
risiko. Semua itu dimulai dari diri sendiri, istri, anak, kerabat
keluarga, rekan sekerja, anak buah, dan seterusnya.

Teu unggut kalinduan, teu gedag kaanginan, ia teguh kokoh dan
istikamah walaupun mendapatkan tentangan dari sana-sini. Tentangan
terutama datang dari para koruptor yang sudah terbiasa hidup senang
dari korupsi, yang merasa akan kehilangan pendapatan. Yang juga
menentang ialah para mafia yang mendapat keuntungan dari berbagai
jenis praktik dan model korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Seorang pemimpin tiis leungeun sekali menyebut "tidak" pada korupsi,
ya "tidak" untuk selamanya pada segala situasi dan kondisi. Ia tidak
mencari akal-akalan baru agar seolah-olah membasmi, tetapi korupsi
terus berjalan. Ia tidak terus-menerus membuih menggelembungkan slogan
antikorupsi, anti-KKN, dan membentuk lembaga-lembaga pemberantasan
korupsi, tetapi justru KKN semakin merajalela.

Pamingpin tiis leungeun ibarat petani tiis leungeun. Ia menanam apa
yang ia tanam dan memetik hasil dari yang ia tanam itu pula. Menanam
cabai tumbuh dan berbuah cabai, tidak menjadi ketimun. Pemimpin tiis
leungeun juga begitu. Antikorupsi sejak awal kepemimpinan, di tengah
dan akhir kepemimpinan ia tetap antikorupsi. Hingga bangkar
ngababatang (mati berkalang tanah), ia pantang menyerah dalam
memerangi korupsi. Kata kiasan penuh kearifan menyebutkan, melak cabe
jadi cabe, henteu jadi bonteng. Niat hade, dina prakna hade, henteu
jadi goreng. Tidak di awal menjanjikan kebaikan dan kebajikan, di
akhir justru ia menghasilkan kejelekan dan kejahatan. "Panjang leungeun"

Janganlah sekali-kali terjadi, ada (calon) pemimpin bertekad membasmi
korupsi. Setelah berada di tampuk kekuasaan, ia mengaku tidak hafal
apa dan bagaimana korupsi itu sehingga tidak mengetahui cara
mengatasinya. Maka, agar merasa hafal dan paham apa yang harus dibasmi
dan bagaimana cara membasminya, ia dan kelompoknya, termasuk sanak
keluarga dan karib kerabatnya, melakukan korupsi juga. Jadi,
betul-betul ia menguasai dan mengalami "perkorupsian" dari A sampai Z.
Kapan membasminya? Nanti jika terpilih lagi, jika berkuasa lagi.
Pemimpin model begitu bukanlah pemimpin tiis leungeun, melainkan
panjang leungeun, tukang ceceremed, atau suka mencuri. Malah, dalam
bahasa Sunda ada babasan kasar sekali untuk menggambarkan watak
manusia semacam itu, yaitu goreng kokod. Segala yang dirancang dan
digarap tidak pernah terwujud nyata. Semua kokod monongeun-mentah
tidak, masak tidak-alias serba tanggung. Semua tidak bermanfaat dan
tidak maslahat. Sosok seperti itu merupakan pemimpin yang hanya
melahirkan sejenis rampog kawasen, yaitu penjahat penggangsir uang
negara atau uang rakyat dengan berlindung di balik pangkat, jabatan,
dan kekuasaan yang dimilikinya.

Watak pemimpin tiis leungeun akan membawa berkah langsung bagi semua,
baik di pemerintahan maupun masyarakat. Ada kesesuaian antara ucapan
dan perbuatan. Ia tak pernah mencederai niat, tekad, dan tujuan. Ia
betul-betul lurus menempuh garis yang telah diguratkan sejak melangkah
dan menyangga amanat umat untuk menjalankan kepemimpinan. Karena itu,
kenyataan sehari-hari yang serba kacau, semrawut, dan tak keruan akan
mengalami perubahan signifikan.

Udara akan sejuk lembut karena hutan-hutan kembali rindang, teduh, dan
menghijau. Pada musim kemarau tidak lagi terjadi kekeringan, dan pada
musim hujan tidak lagi terjadi banjir. Sungai-sungai yang membangkai
kembali bernapas lega. Sungai tersebut mengalirkan air bening dan
menumbuhkan semangat kehidupan masyarakat di lingkungannya yang penuh
kerhamonisan, adab tata krama hubungan manusia dengan alam yang saling
memberi dan menerima. Tradisi polusi lenyap berkat pengawasan ketat
dan penerapan undang-undang secara tepat, baik, dan benar.

Semoga saja dari hiruk-pikuk pencalonan bakal pemimpin sekarang ini
ada (banyak) yang berwatak tiis leungeun, dan rakyat tidak salah
pilih. Maka, kelak tidak ada lagi pemimpin panjang leungeun yang hasil
karyanya kokod monongeun.

USEP ROMLI HM Sastrawan dan Budayawan Sunda 

Kirim email ke