Tengkyu Ya Ariel Heryanto
Hingga tahun 1980a-n anak muda sekolahan di pusat- pusat kota besar mengatakan "daag" sebagai ucapan perpisahan. Juga penutup surat. Jelas istilah ini berasal dari bahasa Belanda. Akan tetapi waktu itu tidak ada yang merasa kebelanda-belandaan. Orang Indonesia telanjur merasa ikut memiliki istilah itu sebagai bahasa ibu, walau kita satu-satunya bangsa bekas jajahan besar di dunia yang paling tidak fasih berbahasa bekas penjajah. Bagaimana "daag" bisa menjadi bahasa ibu di Indonesia? Inilah salah satu kata pertama yang diajarkan kepada para bayi. Dan bukan hanya oleh ibunya. Ketika bayi ini bertumbuh, "daag" menjadi salah satu istilah yang paling banyak dipakainya sambil melambaikan tangan kepada siapa saja yang tampil di sekitarnya. Orang dewasa melakukan yang sama kepada para bocah. Akan tetapi dalam 20 tahun belakangan kegiatan berbahasa yang sudah lazim selama seabad itu berubah. Kaum muda kota semakin terbiasa mengatakan "Bye-bye. Thank you ya." Seperti zaman sebelumnya, anak-anak muda ini tidak sok Barat. Mereka bicara biasa-biasa saja dan dalam bahasa gaul yang baku pada masanya. Istilah itu sudah menjadi milik mereka. Apalagi bila "thank you" diucapkan "tengkyu" dan masih ditambah "ya". Perasaan itu sah saja. Yang menarik bukan perubahan dari "daag" ke "bye-bye". Bukan karena thank you itu bersumber dari bahasa asing. Ucapan terima kasih di antara sesama orang Indonesia dengan cara dan makna anak-anak muda mengucapkannya sekarang merupakan tradisi baru dalam sejarah kita. Bahkan di banyak tempat di Asia. Ini yang hebat. Sebagai pasangan ideal, orangtua saya sempat merayakan ulang tahun perkawinan ke-60. Akan tetapi setahu saya belum pernah sekali pun mereka mengatakan "terima kasih" satu pada lainnya. Hal yang sama saya amati pada semua keluarga lain di sekitar saya ketika bertumbuh dewasa. Mungkin karena kami datang dari keluarga kelas bawahan atau tengah ke bawah. Akan tetapi mungkin ini berlaku lebih umum. Seperempat abad lalu pemerintah di Thailand menatar para sopir bus untuk mengucapkan terima kasih dalam bahasa Thai kepada turis lokal yang menumpang bus mereka dalam rangka meningkatkan industri pariwisata. Yang jelas hal itu sama sekali tidak pernah saya sadari apalagi anggap aneh. Sampai kemudian ada seorang sarjana asing berpendapat di Indonesia istilah "terima kasih" hanya diucapkan dalam tiga situasi dan kepada tiga pihak khusus. Pertama, dalam doa dan ditujukan kepada Tuhan atau Dewa. Kedua, dalam pidato resmi dan ditujukan kepada hadirin yang bersifat umum dan abstrak. Ketiga, dalam surat resmi dan ditujukan kepada pejabat atau orang yang kurang kita kenal. Mendengar pendapat ini pertama kali, saya seperti terperangah. Rasanya tepat sekali dengan lingkungan Indonesia yang saya kenal. Baru sekarang saya sadar, dan lewat pengamatan orang asing. Singkatnya, "terima kasih" tidak pernah diucapkan di antara mereka yang akrab dan intim, seperti halnya thank you di kalangan masyarakat berbahasa Inggris. Di London atau Melbourne, penumpang bus terbiasa mengucapkan thank you kepada sopir sebelum turun di tempat tujuan. Si sopir mengucapkan yang sama sebagai balasan. Juga ketika pelayan restoran membawakan hidangan, atau membersihkan piring kotor sesudah tamunya selesai makan. Terima kasih bukan terjemahan thank you. Keduanya tidak bisa atau tidak mudah diterjemahkan. Sejak itu saya menjadi pengamat istilah "terima kasih". Saya temukan ada dua wilayah lain penggunaan istilah terima kasih. Pertama, dalam film-film nasional sebelum tahun 2002. Dalam berbagai film itu para tokoh berbicara dalam bahasa Indonesia seperti buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah. Termasuk penggunaan istilah "terima kasih" atau "aku cinta padamu" yang sulit dicari padanannya dalam kenyataan sehari-hari di Indonesia. Film Ada Apa Dengan Cinta? (2002) merupakan film pertama yang meruntuhkan batas bahasa film nasional dan bahasa yang hidup sehari-hari di bumi Indonesia. Majalah remaja Hai dan Gadis melakukan yang sama beberapa dekade sebelumnya. Novel-novel peranakan Tionghoa malahan sudah sejak awal abad ke-20. Ada satu wilayah lagi penggunaan istilah "terima kasih" yang belum termasuk dalam daftar di atas. Orang Indonesia mengatakan "terima kasih" sebagai umpatan halus dari orang yang marah atau kecewa karena diperlakukan secara tidak adil oleh orang yang dekat dalam hidupnya. Belum lama ini seorang teman saya yang sudah bertahun-tahun hidup di Melbourne menceritakan pengalamannya pulang ke Jakarta. Dia merasa risih. Di beberapa tempat umum, orang yang diajak berbicara bertanya padanya dia berasal dari mana. Padahal dia lahir dan dibesarkan di Jakarta. Saya menduga, ini gara-gara dia terpengaruh kehidupan di Australia, dan mengobral ucapan thank you seperti orang Jawa mengobral senyum dan ucapan "inggih, inggih", atau orang Jepang mengobral anggukan kepala dan membungkuk.