Bung ChanCT yang sangat baik.
 
 
Saya dapat menangkap makna yang terpositif  dari uraian bung: memblokir rasialisme di semua sudut dan pintu-pintunya yang terkecil sekalipun. Tapi yang tersisa, juga masih memerlukan peneropongan lebih lanjut. Di luar karantina, masih ada faktor-faktor terselubung lainnya yang selalu siap menyebarkan virus gelap dengan berbagai cara yang salah satunya adalah elitisme, dengan kata  atau phraselogisme, terminologi, yang itu biasanya dilakukan oleh penguasa dan pejabat tinggi.
Kata <pribumi> sebagai kata biasa di antra puluhan ribu kata lainnya di dalam bahasa Indonesia  sebenarnya lebih banyak dikaitkan dengan istilah Antropologi yang bersinonim dengan  <penduduk asli> atau  < bumiputera>. Itu juga yang saya maksudkan dengan arti netral atau arti sesungguhnya dari kata <pribumi>. Tapi lalu kata itu diberi warna politik oleh para elit bangunan atas yang tentu saja untuk tujuan politik atau keuntungan politik. Melalui instrusksi, atau mungkin Peraturan Pemerintah  atau Keputusan Presiden atau rencana Undang-Undang dan sebagainya, sebuah kata netral direnggut dari kamus umum bahasa Indonesia dan dipindahkan ke kamus Politik. Kamus umum bahasa Indonesia bertambah menipis sedangkan kamus Politik bertambah tebal. Salah satu budaya bangsa kita adalah budaya akronim, budaya phraseologi, budaya semboyan dan budaya verbalisme. Tapi semua budaya itu dimaksudkan untuk membuat tabir kabut, filsafat semu sebagai senjata buram penguasa bila berhadapan dengan rakyatnya yang mereka anggap masih bodoh, tidak kritis. Kita ambil contoh dari yang paling hangat sekarang ini. Perundingan antara Pemerintah dengan GAM telah diahiri dengan persetujuan yang disebut MoU itu. Pemerintah NKRI sudah jelas kalah dan mendapat banyak kritik dari kalangan masyarakat luas di Indonesia. Saya pribadi menganggap kekalahan itu adalah kekalahan positif karena saya selalu berpihak kepada semua rakyat yang berontak untuk melawan ketidak adilan. Lalu apa yang dikatakan oleh salah seorang perunding penting dari Pihak Pemerintah atas kritik bahwa NKRI tak disebut-sebut dalam persetujuan itu yang itu juga berarti GAM telah punya senjata strategis di masa yad untuk kemungkinan memerdekakan diri secara penuh dan tidak ada keterikatan dengan NKRI. Sang Perunding mengatakan, itu kan cuma soal "semantik". Dia mengambil dari istilah Linguistik untuk menghindari kata <penafsiran> karena kalau kata itu yang dia gunakan risikonya akan lebih besar untuk dikrubutin banyak orang. Tapi kata <semantik> tidak semua rakyat jelata mengenalnya yang berarti sang perunding ingin menyemukan kekalahan besarnya dan berharap sudahlah untuk apa diributkan dan jawabannya cuma sebegitu saja, masak rakyat mau repot-repot lihat kamus.
Saya kembali ke istilah <pribumi>. Penguasa ingin mengusir kata itu dari kamus umum Bahasa Indonesia ,ke kamus Politik dengan diberi arti rasialisme lalu melarang penggunaan kata itu untuk yang katanya melawan rasialisme. Nasib kata <pribumi>  agak sedikit sama dengan kata < CINA> yang juga oleh penguasa di suatu periode diganti dengan kata "TIONGKOK" atau "TIONGHOA"
Diinstruksikan bahwa kata<Cina> puya sifat penghinaan, rasialistis. Ini tidak lebih dari sebuah komidi omong penguasa yang bahkan di bidang bahasapun ingin main diktator. Mungkin di masa yang akan datang yang tidak terlalu jauh akan ada lagi instruksi tidak bolen menyebut kata < JAWA> untuk etnis Jawa, karena kata itu mengandung penghinaan, karena di tengah pasar ada dua orang anak yang bertengkar yang berlainan etnis, lalu yang satu bilang: "Jawa lu!!!" dan yang lain bilang: " Dasar lu Batak!!!", Dan ketika ada yang melerai salah seorang pembela bilang: "Lu Sunda jangan ikut-ikut!!!". Dan ketika pertengkaran itu bubar seorang dewasa yang lain bilang sebagai kesimpulan: "Payah deh Melayu...". Bukankah itu semua mengandung penghinaan ras dan lalu apakah kata: Jawa, Batak, Sunda dan Melayu harus diganti menurut instruksi Presiden hasil Pilpres 2009?. Kalau kita menuruti norma-norma yang berlaku di pasar atau di lorong-lorong kampung yang dikuasai geng- geng atau para jagoan yang mempunyai jargon-jargonnya sendiri dan lalu dijadikan standar umum bahasa Indonesia dan lalu dikebiri oleh para elit penguasa bangunan atas untuk tujuan-tujuan politik gelap mereka, maka beginilah nasib bangsa Indonesia, terpuruk disegala bidang. Ingin memerangi rasialisme, ahirnya jadi rasialis. Ingin jadi rasialis sejati, eh, kok dianggap anti rasialis akibat berputar putar di lingkaran setan istilah bahasa yang diperumit sendiri, sedangkan para elit menggunakannya sebagai senjata tak terlihat, senjata wasiat untuk mengadu domba rakyatnya sendiri demi mengeruk keuntungan dan menyembunyikan
dosa-dosa mereka agar tak terlihat oleh rakyatnya. Saya setuju dengan ajakan: Kembalikan  kata kepada asalnya yang semula. Tapi tidak dalam pengertian membikin puisi absurd yang hakekatnya menegasi semua ujud kata menjadi nihil dan tak berfungsi.
 
     Apakah etnis Cina memang paling banyak menderita diskriminasi? Ini pertanyaan saya yang timbul dari uraian bung ChanCT sendiri, tidak bisa saya jawan dengan pasti. Mungkin relatif ya, mungkin juga relatif bukan. Jawaban yang mendekati kebenaran obyektif adalah dari hasil jajak pendapt dan statistik yang akurat. Tapi dari gejala yang lepas dan tersebar di sana sini, jumlah milyuner Cina dari segi kwalitas jauh lebih banyak dari milyuner pribumi( ah maaf kalau saya melanggar instruksi ex Presiden Habibi, tapi betul saya masih belum ada selera lain untuk mengharamkan kata <pribumi>; hak setiap orang apakah saya akan dituduh rasialis atau tidak).Tapi bahwa etnis Cina juga menderita akibat diskriminasi rasialis, itu tidak bisa dibantah. Tapi juga harus dilihat dan diakui pula bahwa setiap etnis  atau seluruh etnis di Indonesia juga menderita ras diskriminasi di antara mereka sendiri, oleh Penguasa, bahkan termasuk didiskriminasi etnis Cina juga. Itu juga hal yang tak bisa dibantah. Oleh karena itu seperti yang juga saya tulis dalam tulisan sebelum ini, masaalah diskriminasi rasial adalah masaalah bersama, masaalah seluruh etnis-etnis di Indonesia, masaalah seluruh bangsa Indonesia  dan Etnis Cina bukan satu-satunya korban. Ini tak akan saya bicarakan lebih banyak. Soal persaingan di antara etnis-etnis untuk suatu kehidupan yag lebih baik. Dari pendapat umum Internasional memang diakui bahwa Bangsa Cina adalah bangsa yang ulet, rajin bekerja dan punya tekad yang luar biasa dalam mencapai tujuannya. Karenanya, di manapun mereka hidup, mereka selalu atau hampir selalu menang dalam persaingan yang paling sengitpun dengan pribumi(maaf) bangsa manapun terutama di Asia. Tapi apakah rakyat Indonesia bukan rakyat yang ulet dan rajin bekerja?. Kalau kita melihat kehidupan tani miskin di desa-desa yang bekerja keras turun temurun yang entah sudah berapa puluh keturunan, tapi tetap saja miskin, miskin dan miskin hingga detik ini. Apakah mereka selalu kalah bersaing? Dengan siapa mereka bersaing? Tentu saja yang pertama-tama dengan tuan tanah atau tani kaya dan juga tidak jarang dengan tani-tani Cina yang jauh lebih ulet dari mereka ,dan nasib tani miskin ini sudah berabad-abad selalu kalah bersaing.Kemiskinan seolah abadi dan memang begitulah kenyataannya. Bila tidak ada campur tangan rasa keadilan, rasa senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa, maka persaingan yang tidak seimbang itu memang akan menimbulkan kecemburuan sosial dan pada gilirannya lalu menuju ke kecemburuan ras dan ini termasuk hukum alam. Perjuangan untuk hidup selalu menegasi kehidupan yang lain untuk mempertahankan hidup sendiri. Hal itu hanya bisa dihindari dengan campur tangan rasa keadilan, rasa senasib sepenanggungan, rasa sebangsa dan tentu saja rasa sosial yang tebal.Yang menang suka membagi sedikit hasil kemenangannya pada yang dikalahkan. Karena dalam persaingan membangun hidup bermasyarakat yang harmonis, keadilan tidak diukur dari siapa menang berhak menikmati kemenangannya seratus persen sedangkan yang kalah, matipun tiada ada yang bisa disalahkan. Kalau begitu, namanya sudah hukum rimba.
Tentang politik Teng siau Ping yang membikin lokomotif dari orang-orang yang telah menang bersaing dan telah menjadi kaya lebih duluan dan sah-sah saja kekayaannya, memang sudah menjadi kenyataan di Cina. Tapi saya kira tidak bisa diterapkan di Indonesia. Kaum borjuasi dan konglomerat Indonesia telah dulu  dulu dan sejak dulu sudah kaya-kaya dan Indonesia tidak pernah menjadi negeri Sosialis seperti Cina atau Vietnam.Pabrik orang kaya di Indonesia umurnya jauh lebih tua dari umur pabrik orang kaya di negeri Sosialis Cina maupun Vietnam. Kalaupun mereka mau dianggap lokomotif, maka lokomotif mereka secara historis cuma menarik gerbong-gerbong bangkai rakyatnya sendiri untuk dijadikan pupuk alam di seluruh bumi Indonesia yang sudah semakin gersang itu. Tapi di Cina sekalipun, lokomotifnya Teng Siau Ping dalam perjalanannya yang masih jauh belum tentu selalu menarik gerbong-gerbongnya ke desa-desa yang maha luas itu sambil membagi bagikan harta para multi milyuner yang jadi masinis itu  kepada tani miskin yang masih luar biasa banyaknya di Cina. Bisa saja  lokomotif - lokomotif para Multi milyuner itu berlalu dengan kecepataan ekspres dan non stop dan para masinis milyuner cuma melambai-lambaikan tangan pada tani miskin sambil kadang-kadang melemparkan kue tahun baru dan lalu lenyap begitu saja. Perbedaan antara super milyuner di Cina dengan kemiskinan rakyat diseluruh negri adalah mega bak puncak gunung Himalaya dengan pasir di dasar lautan Atlantik. Mengikuti jalan Cina, Indonesia sudah punya pengalaman meskipun itu cuma dilakukan oleh PKI. Kegagalan dan kehancuran PKI justri karena PKI ingin menterapkan revolusi Cina di Indonesia. Saya tidak anti pikiran ketua Mao, saya pernah mempelajarinya secara kolektif yang diselenggarakan Partai secara amat intensif di Cina sendiri maupun di Vietnam. Pikiran ketua Mao adalah baik dan tidak ada yang jelek. Tapi tidak mungkin Pikiran ketua Mao dijadikan pedoman revolusi untuk Indonesia karena Indonesia punya kehususan sendiri sebagai negeri, bangsa dan adat istiadat.Lain dengan negeri Cina. Begitu pula apa yang sedang dilakukan di Cina sekarang ini, menurut saya tidak bisa diterapkan di Indonesia meskipun orang Indonesia bisa menarik pelajaran dan belajar dari Cina meskipun itu bukan berarti harus menurut jalan Cina, karena bila demikian ,Indonesia akan sesat jalan seperti di waktu yang lalu lalu itu. Belajar bukan berarti menuruti tanpa pikir dan fanatik pada sang guru tapi selalu mencari solusi yang sesuai dengan keadaan obyektif dan subyektif diri sendiri. Jalan Cina tidak bisa menjadi jalan Indonesia. Ini bukan soal diskriminasi rasial atau anti Cina. Saya sangat setuju antara Indonesia dan Cina membina dan  memelihara hubungan yang baik dan sungguh-sungguh, saling menguntungkan, saling menghormati dan sama derajat dan juga memajukan perdagangan di antara kedua bangsa. Tapi tidak main jiplak betapapun hebatnya Cina yang akan datang.
Bung ChanCT yang saya hormati, inilah beberapa pikiran saya yang juga sebagai tanggapan atas uraian bung. Saya berpendapat bahwa keterus terangan  di antara kita lebih penting daripada perbedaan pendapat. Saya berani berterus terang kepada bung karena saya tidak memasang jarak antara pribumi  dan non pribumi melainkan sebagai orang sebangsa dan setanah air dan mungkin juga senasib.
Salam yang sehangat hangatnya dari saya.
asahan aidit.
 
 
 
 
 ----- Original Message -----
From: ChanCT
Sent: Monday, September 12, 2005 5:48 AM
Subject: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

Bung Asahan yb,
 
    Terimakasih atas respon yang begitu cepat. Saya jadi tertarik dengan uraian bung mengenai istilah "Pribumi" dan "Non-Pribumi" dari titik pandang lain, hanyalah ulah pemerintah untuk mengalihkan masalah berat, krisis-ekonomi, krisis-politik yang dihadapi. Setuju juga.
 
    Tapi, juga tidak dapat diingkari bahwa adanya penggunaan istilah "Pribumi" dan "Non-Pribumi" ini dalam sejarah yang cukup panjang, sejak jaman penjajahan Belanda sampai Orde Baru berkuasa itu, digunakan untuk membedakan secara ras, mendiskriminasi etnis Tionghoa. Penggunaan istilah "Pribumi" ini hanyalah salah satu sebab timbulnya diskriminasi ras, khususnya terhadap etnis Tionghoa, yang menimbulkan sentimen dan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Sebagaimana juga bung tegaskan, "Tapi memang harus diakui, bahwa istilah (maksudnya "Pribumi" dan "Non-Pribumi", ChanCT) yang sudah dilaburi warna politik dengan inti reklame menarik itu, memang lebih banyak ditujukan  pada etnis Cina dan memang lalu etnis Cina yang lebih banyak menjadi korban  yang juga sekaligus adalah juga korban reklame Pemerintah yang berjubah anti diskriminasi rasial. " Kutipan selesai.
 
    Mengapa? Begitu sebutan "Pribumi" digunakan pada sekelompok warga, maka ada sekelompok lain yang harus disebut sebagai "Non-Pribumi", dengan pengertian lain adalah "pendatang" yang seharusnya "tidak berhak" menikmati kemakmuran dari jerih-payah yang diperolehnya, atau menjadi yang dikatakan sebagai hasil "penghisapan", "Pemerasan kejam" terhadap yang "Pribumi" itu! Singkat kata, dalam banyak kasus kita bisa melihat sebagai satu gejala umum ( tentu tidak mutlak), ternyata kelompok "perantau", "pendatang" yang bertekad ingin merubah nasib hidupnya itu, didalam dadanya terkandung semangat juang yang luar-biasa, sehingga didalam persaingan bebas dengan yang dinamakan "Pribumi" dimana mereka hidup, bisa lebih unggul dan menang. Belum kita bicara siapakah sesungguhnya di Nusantara ini orang yang berhak menyandang "Pribumi"? Bukankah kalau melihat sejarah yang lebih jauh kebelakang, umumnya penghuni di Nusantara ini adalah pendatang dari daerah Yunan, yang dikatakan "Melayu-tua", dan yang dinamakan "Pribumi" Negroid dan Wedoid berkulit kehitam-hitaman dan berambut kriting itu, yang tinggal di Nusatenggara dan Irian itu?
 
    Mari kita perhatikan kelanjutan dari pengunaan istilah "Pribumi" di Indonesia yang semula hanya ditujukan pada etnis Tionghoa itu. Pernahkah bung memperhatikan adanya organisasi "Pembela Pribumi" yang berbau rasis ditahun-tahun 97, menjelang meletusnya Tragedi Mei '98, yang bertujuan merebut kembali hak-hak Pribumi yang katanya telah "dirampas" secara keji oleh etnis Tionghoa itu? Dan kalau kita perhatikan, pertikaian di Poso yang sedikit banyak juga ada masalah tersingkirkannya suku Maluku yang "Pribumi" oleh pendatang Bugis itu, dan lebih jelas lagi bisa kita lihat pertikaian suku Dayak dan Madura di Kalimantan yang sampai bunuh-membunuh itu. Dan, ... kalau pengertian "Pribumi" dan "Non-Pribumi" ini diteruskan, bukankah terjadi desintegrasi NKRI? Barulah pemerintah cepat-cepat menstop, dengan tegas menghentikan penggunaan istilah "Pribumi" dan "Non-pribumi" yang dalam kenyataan telah membuat perpecahan bangsa Indonesia ini menjadi lebih parah. Karena yang merasa "Pribumi" terdesak oleh "Non-Pribumi", kelompok pendatang itu.
 
    Jadi, saya sepenuhnya setuju dengan instruksi Presiden Habibie itu, untuk menghentikan penggunaan istilah "Pribumi" pada sebutan kelompok warga RI. Mengapa harus mempertentangkan warganya dengan sebutan "Pribumi" dan "Non-Pribumi"? Seharusnyalah kita hanya mengenal satu macam warganegara dengan hak dan kewajiban yang sama! Tidak ada lagi pembagian klas, pribumi lebih tinggi dari yang dikatakan non-pribumi, atau suku Jawa yang mayoritas lebih tinggi kedudukannnya dari suku lain, atau khususnya etnis Tionghoa sebagai "Non-Pribumi" yang boleh dianak-tirikan. Tidak seharusnya ada pengertian anak emas dan anak tiri dalam memperlakukan warganegaranya. Setiap orang, setiap warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan sederajat dihadapan HUKUM. Betul, kan!
 
    Lalu, bagaimana seharusnya memperlakukan persaingan bebas yang terjadi, dan kenyataan etnis Tionghoa, suku Bugis, suku Madura yang dikategorikan "Non-Pribumi", sebagai "Pendatang" justru menunjukkan keungulannya dibidang usaha-ekonomi itu? Haruskan mereka disingkirkan dengan pernyataan telah "merampas" hak "Pribumi"? Benarkan mereka-mereka yang berhasil usahanya itu merupakan "penghisapan" dan "pemerasan-kejam" terhadap "Pribumi" dan oleh karenanya boleh direbut kembali secara semena-mena?
 
    Bagi negeri kaya yang sangat miskin, dimana ekonomi sedang terpuruk parah seperti Indonesia ini, tidaklah mungkin sekaligus mengangkat rakyatnya menjadi makmur sekaligus. Tidak mungkin itu, kecuali dalam mimpi indah saja. Yang mungkin dilakukan adalah sebagaimana dikatakan Deng Siao-ping, "Perkenankan sementara orang kaya lebih dahulu. Dan kita gunakan mereka sebagai lokomotif untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak yang miskin", begitu kira-kira pengertian kata Deng yang saya kira tepat dan harus kita jalankan juga dengan baik. Berilah kesempatan sebaik-baiknya bagi mereka yang telah berhasil menjalankan usaha-nya, dengan tidak peduli dari suku apa, etnis apa. Mereka-lah pengusaha yang harus digunakan sebaik-baiknya untuk mendorong maju ekonomi lebih cepat lagi, dan dengan demikian bisa mengangkat kesejahteraan rakyat banyak. Mereka-mereka sebagai pengusaha domestik, bukan sasaran yang harus disingkirkan apalagi dengan pikiran rasialis sekadar untuk menggantikan posisi mereka dengan yang dinamakan "Pribumi", akan menjadi lebih celaka ternyata penggantinya hanyalah konco-konco dekat pejabat tinggi yang tidak berkemampuan usaha. Langkah-langkah demikian ini, hanyalah pemborosan yang sangat sangat merugikan pembangunan ekonomi, hanya akan menggendutkan perut segelintir pejabat tinggi dengan konco-konconya, tapi membuat rakyat banyak lebih melarat lagi.
 
    Pemerintah seharusnya memberi kemudahan bagi mereka-mereka yang berhasil dalam usaha itu untuk meningkatkan dan mengembangkan usahanya lebih baik lagi. Bersandar pada mereka-mereka itu untuk mempercepat perputaran ekonomi, menjadikan mereka sebagai lokomotif untuk menarik gerbong panjang maju kedepan, meningkatkan kemakmuran bersama lebih dahulu. Buatlah ketentuan-ketentuan usaha sebijaksana mungkin, tegakkanlah HUKUM sebaik mungkin, jeratlah pengusaha nakal licik sesuai dengan ketentuan HUKUM yang berlaku, tak peduli pengusaha itu berasal dari suku apa, etnis apa dan beragama apa, yang salah dan curang harus di HUKUM!
 
    Jadi, jangan main gebyah uyah, kata orang Jawa. Bagi pengusaha berhasil harus berani kita gunakan sebaik-baiknya, tapi bagi yang melakukan kecurangan, kelicikan yang biasa disebut pengusaha-hitam atau konglomerat-hitam itu, juga harus tegas disingkirkan, dihukum sebagaimana ketentuan yang berlaku! Hanya dengan cara demikian, ekonomi bisa berkembang lebih cepat dan kesejahteraan rakyat banyak terangkat sebaik-baiknya.
 
    Mudah-mudahan penguasa, penjabat-pejabat tinggi di pemerintah satu persatu menyadari betul, kebijaksanaan menggunakan sebaik-baiknya pengusaha yang berhasil, dengan tidak peduli pengusaha itu dari suku dan etnis apa, akan lebih mempercepat pembangunan ekonomi, sedang pikiran berbau rasis yang selalu bertujuan untuk menyingkirkan etnis Tionghoa atau merebut-kembali posisi mereka yang dikatakan sebagai "Non-Pribumi", sebagai "pendatang" adalah kebijaksanaan celaka yang membuat ekonomi terperosok kejurang lebih dalam lagi, dan rakyat banyak akan menderita kemiskinan berkepanjangan.
 
    Mudah-mudahan bisa dimengerti dengan baik.
 
    Salam,
    ChanCT
 
   
----- Original Message -----
From: BISAI
Sent: Sunday, September 11, 2005 9:35 PM
Subject: [budaya_tionghua] Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

 
     ASAHAN ALHAM AIDIT:
 
 
                                                Mengapa harus mengharamkan
                                       istilah Pribumi dan Non Pribumi?
 
     Menurut pendapat saya sebutan Pribumi dan non Pribumi bukanlah sebab utama terjadinya sentimen ras yang memicu kerusuhan rasial. Tapi bahwa istilah itu diberi warna politik untuk mengesankan seolah-olah pemerintah yang mengharamkan istilah itu adalah pemerintah yang bersih dari politik diskriminasi rasial, adalah cuma punya sifat reklame untuk menarik satu golongan tertentu dan mengaburkan atau mengalihkan perhatian massa rakyat dari persoalan-persoalan berat seperti krisis ekonomi, krisis politik dan juga krisis kebudayaan serta moral di tingkat atas. Tapi memang harus diakui, bahwa istilah yang sudah dilaburi warna politik dengan inti reklame menarik itu, memang lebih banyak ditujukan  pada etnis Cina dan memang lalu etnis Cina yang lebih banyak menjadi korban  yang juga sekaligus adalah juga korban reklame Pemerintah yang berjubah anti diskriminasi rasial. 
Buktinya. Ketika benar-benar telah terjadi kerusuhan rasial di bulan Mei 1988 , apakah yang telah dilakukan oleh Pemerintah  dalam usaha menghentikan, membatasi, mengadakan penyelidikan siapa biang keladi kerusuhan, menangkap para penyuluh kerusuhan?, Yang kita dengar adalah bahwa aparat negara seperti TNI, polisi cuma diam menyaksikan kerusuhan yang sudah menjadi terror itu . Bukankah hal ini berarti bahwa Pemerintah ketika itu cuma munafik, demagog, lain dimulut lain di hati. Dan lalu orang-orang menyalahkan istilah Pribumi dan Non Pribumi yang telah menjadi biang keladi dan cikal bakal sentimen ras. Pada hal kata itu sendiri tidak punya dosa sedikitpun dan hanya sebutan biasa tanpa warna politik atau tendensi ras dan hanya menunjukkan tempat di mana seseorang dilahirkan atau telah lama diam di suatu tempat dan merasa dirinya atau dianggap adalah penduduk tempat tertentu.Tapi karena dipersoalkan dan banyak dipersoalkan, kata itu jadi kehilangan artinya yang asli dan netral lalu diberi warna politik sehingga menjadi peka dan bisa memancing sentimen ras yang pada gilirannya untuk mengambil keuntungan politik oleh segolongan atau aliran poltik tertentu. Inti masaalah sentimen ras bukan terletak pada istilah Pribumi atau non Pribumi tapi pada cara berfikir seseorang atau golongan atau aliran politik terhadap satu golongan ras yang lain. Dengan kata lain pengharaman kata Pribumi dan Non Pribumi adalah pengharaman yang dilakukan  oleh Orde Baru itu sendiri untuk tujuan reklame yang licik dan lihai bagi mempengaruhi psikologi massa sehingga orang-orang lupa pada masaalah yang paling inti dari timbulnya sentimen ras sebagai satu sisitim pemikiran dan terlena oleh daya tarik reklame dengan menggunakan istilah yang mudah dijadikan kambing hitam. Sedangkan Pemerintah pencipta pengharaman itu berada di balik kabut hitam yang mengaburkan semua kemunafikan dan penipuannya sambil menyulut sentimen ras tanpa dirasakan banyak orang. Sebaiknya kita kembali ke persoaalan inti masaalah dan bukan pada istilah yang tak habis-habisnya dibicarakan.
Dalam kenyataan yang lebih dalam, bukan hanya etnis Cina saja yang menderita korban sentimen ras atau diskriminasi secara umum. Di antara ras-ras atau suku-suku di Indonesia, juga saling mendiskriminasi satu sama lain. Ini persoalan bersama semua etnis yang ada dan bukan hanya terkonsentrasi pada satu etnis saja. Terlalu banyak mengkonsentrasi diri sebagai etnis yang dikorbankan akan mengakibatkan perjuangan melawan diskriminasi menjadi hanya terfokos pada satu etnis dan itu akan berakibat kembali ke diskriminasi terpusat sehinggap perhatian tertuju ke satu pusat. Korban diskriminasi di Indonesia mencakup ratusan juta atau sebagian terbesar penduduk Indonesia. Setiap hari mereka dibunuhi secara psikologis, secara ekonomis, secara moril maupun materil. Bukankah kita lebih baik  menyatukan diri dalam perjuangan bersama melawan diskriminasi yang telah membudaya dalam masyarakat Indonesia yang membuat terpuruknya bangsa ini. Jadi bukan cuma meng-utik-utik soal istilah Pribumi dan non pribumi melulu sambil berlari jauh dari inti persoalan yang sesungguhnya yang bahkan bisa lebih menyulut sentimen ras. Semua kita adalah korban historis dan kontemporer Orde Baru. Tanpa menyedari hal ini cuma akan menguntungkan Orde Baru dan memperpanjang keterpurukan bangsa. Waspadalah terhadap reklame Orba dan jangan cepat-cepat membelinya dengan harga murah, bungkusnya indah, isinya tuba.
asahan aidit.
    


.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke