SUARA PEMBARUAN DAILY

 

Perlakuan terhadap Korban Pelanggaran HAM Diskriminatif

 

JAKARTA - Perlakuan masyarakat sipil terhadap korban-korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih diskriminatif, terpaku pada pola pikir lama bahwa korban "memang pantas mendapat ganjaran atas perbuatannya."

Demikian pendapat pengamat sosial M Imam Aziz dalam konferensi internasional mengenai "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia" yang diselenggarakan atas kerja sama sejumlah lembaga: Uni Eropa, Friedrich Ebert Stiftung, New Zealand International Aid and Development Agency (NZAID), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Jakarta Post, Selasa (13/9), di Jakarta.

Menurut Aziz, bukan hanya produk-produk hukum yang diskriminatif terhadap kebutuhan dan kepentingan korban, sikap diskriminatif ini juga berlaku di tengah masyarakat kita.

Wacana berpikir bahwa korban pantas memperoleh hukuman karena kesalahan mereka, perilaku moral, keyakinan maupun ideologi mereka masih tertanam erat di dalam masyarakat.

Ini terlihat dalam bagaimana masyarakat memandang korban dalam peristiwa 1965.

Arus utama persepsi terhadap korban 1965 masih pada pola lama. Wacana antikomunisme tetap dihembuskan, rasa takut masih ditanamkan. Akibatnya ancaman kekerasan terhadap korban selalu tampak di depan mata.

"Bukan hanya masyarakat awam, bahkan media massa dan kalangan intelektual kampus pun seolah-olah menutup mata atas masalah ini. Pola pikirnya pada umumnya masih di situ-situ juga," tukas Aziz dalam diskusi hari kedua konferensi yang menghadirkan pembicara dari berbagai negara yang berpengalaman dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini (KKR), seperti dari Argentina, Guatemala, Peru, Afrika Selatan.

Kurangnya empati masyarakat Indonesia terhadap komunitas korban terlihat dalam sesi diskusi "Pemenuhan Hak-Hak Korban." Seorang calon anggota KKR Dr Tjipta Lesmana mempertanyakan soal definisi korban dengan mengatakan para penjarah dalam Peristiwa Mei 1988 sepatutnya juga mendapat "hukuman" atas perbuatannya. Karenanya korban-korban Peristiwa Mei 1998 tidak pantas disebut korban.

Pernyataannya kontan mendapat tanggapan keras dari keluarga korban, khususnya para orang tua yang kehilangan anak-anaknya dalam Peristiwa Mei 1998. Selain keluarga korban, calon anggota KKR yang lain, Fadjroel Rachman, juga memperingatkan soal tidak pantasnya pernyataan seperti itu. (Y-2)

Last modified: 14/9/05


.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesia Culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke