David-xiong: "Lie Kim Hok bukan keturunan imigran dari Tiongkok seperti 
dikatakan penulis. Ayahnya Lie Hian Tjouw dan ibunya Oey Tjiok Nio adalah orang 
Tionghoa Peranakan..."

Als: "Dalam kasus saya yg punya 2 engkong imigran dgn kedua orangtua Babah, apa 
orang masih benar jika menyebut sy sbg keturunan imigran atau generasi ke-2 
keturunan imigran?" :-)
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: "David Kwa" <david_kwa2...@yahoo.com>
Date: Fri, 16 Oct 2009 05:40:02 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: [budaya_tionghua] Re: Artikel menarik: Teringat akan Lie

Lie Kim Hok bukan keturunan imigran dari Tiongkok seperti dikatakan penulis. 
Ayahnya Lie Hian Tjouw dan ibunya Oey Tjiok Nio adalah orang Tionghoa 
Peranakan. Jadi Lie Kim Hok pun seorang Tionghoa Peranakan.
Tulisan ini jelas memperlihatkan kontribusi orang Tionghoa Peranakan yang 
sangat besar dalam pemakaian bahasa Melayu dan penyebarannya melalui sastra dan 
pers Melayu Tionghoa (i.e. sastra dan pers dalam bahasa Melayu yang dihasilkan 
orang Tionghoa)―meminjam istilah yang dipakai oleh Claudine Salmon. 
Pada waktu kaum Tionghoa Peranakan membutuhkan suatu buku pegangan tatabahasa 
(paramasastera) bahasa Melayu, pada 1884 keinginan itu terpenuhi oleh upaya 
yang dilakukan oleh Lie Kim Hok. Buku Tatabahasa Melayu Lie Kim Hok sampai lama 
menjadi pegangan para penulis Tionghoa Peranakan dalam melahirkan berbagai 
karya sastra. Itulah sebabnya Lie Kim Hok pantas digelari Bapak Melayu Tionghoa 
oleh sebagian kalangan Tionghoa Peranakan. 
Melalui sastra dan pers Melayu Tionghoa inilah bahasa Melayu lebih tersebar ke 
seluruh penjuru Nusantara. Terlepas dari label Melayu Pasar (Melayu Rendah) 
yang diberikan kolonial Belanda, sejak perempat terakhir abad 19, jauh sebelum 
bahasa Melayu menjadi bahasa umum di kalangan masyarakat karena masih dianggap 
“asing� oleh sebagian besar kaum non-Tionghoa Peranakan di negeri ini, kaum 
Peranakan telah membaca dan menulis dalam bahasa ini, hingga matinya sastra dan 
pers Melayu Tionghoa pada 1960-an. Meski demikian, peran serta itu hampir tidak 
pernah disebutkan dalam sejarah Indonesia, kecuali oleh beberapa peneliti asing 
macam Claudine Salmon, Benedict Anderson dll. Yang disebut-sebut selalu Balai 
Poestaka, Poedjangga Baroe dll, yang pada hakekatnya adalah bentukan pemerintah 
kolonial Belanda untuk mengawasi bacaan anak negeri, jangan sampai “dimasuki 
unsur-unsur yang tidak baik� (yang berada di luar sensor pemerintah). Nah, 
untuk membatasi penyebaran sastra dan pers Melayu Tionghoa yang berada di luar 
kendali pemerintah, pemerintah kolonial mendiskreditkannya dengan label 
“pasar�, “rendah�, “liar�, “roman picisan� dlsb. Padahal, owe 
pernah membaca, bahasa Melayu Tionghoa―atau disebut bahasa Melayu Lingua 
Franca oleh alm. Pramudya Ananta Tur―didasarkan pada bahasa yang hidup di 
masyarakat yang berinteraksi di berbagai bandar di seluruh penjuru Nusantara, 
dan bukan bahasa hasil rekayasa pemerintah kolonial yang dilakukan oleh Van 
Ophuijsen sebagai Menteri Pendidikan pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Dalam 
buku Tempo Doeloe Pram berhasil mengumpulkan beberapa tulisan dalam bahasa 
Melayu Lingua Franca yang dihasilkan para penulis Tionghoa Peranakan maupun 
Belanda Peranakan (Indo) pada masa itu. Bahkan, kabarnya, Medan Prijaji pun 
ditulis dalam bahasa itu.
Kiongchiu,
DK

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/0247377/teringat.akan.lie

TERINGAT AKAN LIE

Oleh Kasijanto Sastrodinomo

Tiba-tiba saya teringat akan Lie Kim Hok, keturunan imigran asal Tiongkok yang 
datang di Indonesia abad ke-19. Lahir di Bogor, 1853, Lie kemudian dikenal 
sebagai penulis, penyadur, dan penerjemah cerita (ke) dalam bahasa Melayu dari 
generasi keturunan Tionghoa (baca: Tionghoa Peranakan, DK) sebelum Perang. 
Dialah penulis bernapas panjang yang mampu berkarya hingga berjilid-jilid. 
Cerita Tjhit Liap Seng (1886), misalnya, terdiri dari 8 jilid: Kawanan Bangsat 
(1910) 10 jilid dan Penipoe Besar (1923) 23 jilid yang terbit setelah ia 
meninggal dunia pada 1912.
Berpendidikan missie, Lie mampu berbahasa Belanda, tetapi tak memahami bahasa 
Tionghoa. Sekitar 125 tahun lalu, dia menulis buku yang bertajuk amat panjang, 
Malajoe Batawi: Kitab deri hal perkataän-perkataän Malajoe, hal memetjah 
oedjar-oedjar Malajoe dan hal pernahkan tanda-tanda batja dan hoeroef-hoeroef 
besar (1884, ejaan asli). Ternyata, buku itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, 
�hanya� semacam penuntun praktis pelajaran bahasa Melayu. Menurut CD 
Grijns, peneliti bahasa Melayu kontemporer, Lie cuma membahas �varian 
[bahasa] lain� yang waktu itu banyak digunakan oleh generasi Tionghoa 
kelahiran Indonesia (baca: Tionghoa Peranakan, DK).
Namun, pada masanya, Lie telah menyumbangkan sesuatu yang luar biasa: buku 
pelajaran bahasa Melayu lahir pertama kali justru dari non-Melayu. Lie juga 
menulis dengan sepenuh Melayu karena sepanjang 116 halaman bukunya itu tidak 
ditemukan satu pun istilah linguistik berbau asing seperti lazimnya sekarang. 
Dia membagi sepuluh kelas kata dengan istilah pribumi: nama paäda (biasa 
disebut nomina); pengganti nama ’pronomina’; penerang ’adjektiva’; 
pemoela ’artikula’; nama bilangan ’numeralia’; nama kerdja ’verba’; 
penerangan ’adverbia’; pengoendjoek ’preposisi’; pengoeboeng 
’konjungsi’; dan oetjap seroe ’interjeksi’.
Sadar menulis untuk pembelajar bahasa Melayu awal, Lie berusaha menyajikan 
secara sederhana. Mestinya kita malu karena sampai sekarang masih ada yang 
salah membedakan di sebagai kata depan dan di- sebagai imbuhan. Padahal, lebih 
dari seabad silam, Lie sudah menjelaskan, �di djadi satoe perkataän [satu 
kata], djikalaoe ija ada di depan nama tempat: di Bogor, di roemah, di atas. . 
.; ija djadi sabagian deri perkataän, djika ija di depan boekan nama tempat: 
dibatja, diambil, ditanja d.l.�
Bahasa Melayu yang ditulis Lie sering dipandang sebagai Melayu pasar yang 
berkonotasi merendahkan. Namun, Claudine Salmon (1983), ahli sastra Melayu 
Tionghoa asal Perancis, melihat Lie mencari jalan tengah antara Melayu tinggi 
(Melayu Riau yang tak dimengerti di Jawa) dan Melayu pasar.
Lie Kim Hok jelas tak ikut bersumpah, 28 Oktober 1928, dan mungkin tergolong 
�orang jang hanja tjoema bisa batja� menurut Medan Prijaji, koran Raden Mas 
Tirto Adhi Soerjo. Bagaimanapun, dia telah membuka jembatan budaya.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 
Universitas Indonesia


Kirim email ke