=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
  
Mitos Kebijakan Afirmatif 
Kamis, 5 Februari 2009 | 00:43 WIB 
Oleh : Amich Alhumami 
Di antara berbagai kelompok gerakan sosial, para aktivis perempuan begitu gigih 
menyuarakan aspirasi keterwakilan perempuan di parlemen. 
Mereka galau dengan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pemilihan 
anggota DPR/DPRD yang harus didasarkan pada suara terbanyak. Keputusan ini 
dinilai akan menggugurkan kebijakan afirmatif yang mengharuskan partai politik 
menyediakan kuota 30 persen wakil perempuan di DPR. Para pembela hak-hak 
politik perempuan yang memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen 
terperangkap dalam dua kekeliruan. Pertama, salah memahami konsep kebijakan 
afirmatif. Kedua, terjebak dalam mitos-mitos di dalamnya. 
Istilah baku yang digunakan adalah affirmative action, merujuk pada kebijakan 
yang harus mempromosikan kesetaraan dalam memperoleh akses ke wilayah publik, 
terutama pekerjaan dan pendidikan. Gerakan sosial yang menuntut kebijakan 
afirmatif muncul sebagai refleksi pengalaman sejarah yang pahit saat kaum 
perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi sehingga mereka terabaikan dan 
tersingkir dari kehidupan publik, seperti pernah terjadi di AS hingga akhir 
1960-an. Akibat diskriminasi, keterwakilan mereka amat minimal, misalnya di 
universitas dan tempat kerja. Maka, Presiden Kennedy (1961) mengeluarkan 
executive order untuk menjamin tiap orang diperlakukan setara tanpa melihat 
ras, etnik, jender, agama, atau asal-usul kebangsaan untuk masuk universitas 
atau melamar pekerjaan. 
Isu politik 
Affirmative action menjadi isu politik besar, berpuncak pada American Civil 
Rights Movement, yang melahirkan Undang-Undang Hak-hak Sipil yang disahkan 
Presiden Johnson tahun 1964. Kebijakan afirmatif diperlukan guna menghapus 
diskriminasi dan menyeimbangkan proporsi keterwakilan tiap kelompok masyarakat 
di arena publik. Namun, intensi untuk menghapus diskriminasi justru melahirkan 
mitos-mitos tentang kebijakan afirmatif. 
Pertama, perlakuan diskriminasi terhadap suatu kelompok masyarakat selalu 
bersumber pada prasangka, pengucilan, dan pengabaian, yang berakibat pada 
penyumbatan aspirasi dan penghambatan akses untuk melakukan mobilitas 
sosial-politik. Namun, perlakuan diskriminasi tak bisa dilawan dengan 
menerapkan kebijakan dalam bentuk reverse discrimination karena ia bertentangan 
dengan makna esensial kebijakan afirmatif. Esensi kebijakan afirmatif adalah 
mengeliminasi prasangka, pengucilan, dan pengabaian yang melahirkan 
diskriminasi melalui perlakuan yang adil dan fair. Jadi, kebijakan afirmatif 
merupakan langkah proaktif dan progresif untuk menghapus perlakuan diskriminasi 
dengan menilai dan menghargai seseorang berdasarkan individual merits, bukan 
stereotyped perceptions yang menipu. 
Kedua, dalam konteks jender, kebijakan afirmatif tidak sama-sebangun dengan 
pemberian preferensi, apalagi hak-hak istimewa, kepada kaum perempuan. Ia juga 
tak berarti memberi peluang kaum medioker (second best groups) untuk menempati 
posisi tertentu atas nama keterwakilan. Untuk bisa menduduki jabatan publik, 
kriteria dasar seperti kualitas, kompetensi, dan keahlian harus menjadi 
persyaratan mutlak bagi laki-laki maupun perempuan. Jadi, kebijakan afirmatif 
dimaksudkan untuk membuka peluang yang sama dan perlakuan setara bagi siapa 
pun, berprinsip equal opportunity dengan menghargai dan mengakui keragaman 
latar belakang sosial budaya untuk berkompetisi secara sehat dan terbuka dalam 
memperebutkan posisi di arena publik. 
Ketiga, kebijakan afirmatif tidak paralel dengan kuota bagi kaum perempuan atau 
kelompok minoritas. Ada perbedaan fundamental antara tujuan kebijakan afirmatif 
dan kuota. Tujuan utama kebijakan afirmatif adalah pelibatan sekelompok orang, 
yang semula tereksklusi dan kurang terwakili di arena publik, tanpa pembatasan 
dan hanya didasarkan kualifikasi individual. Sistem kuota adalah court assigned 
to redress a pattern of discriminatory hiring. Karena itu, kebijakan afirmatif 
tak bisa dijadikan dasar untuk mengangkat seseorang yang tak memenuhi standar 
kualifikasi dan tak layak menduduki posisi di lembaga publik. Kebijakan 
afirmatif tidak menoleransi seseorang dengan kemampuan minimal dan berkapasitas 
rendah — dengan pertimbangan jender atau keragaman sosial budaya — guna 
menempati jabatan publik. 
Kualitas tinggi 
Pesan pokok kebijakan afirmatif adalah setiap orang dituntut memiliki kualitas 
tinggi agar bisa berperan dan berpartisipasi di panggung publik. Keterwakilan 
suatu kelompok masyarakat (perempuan, minoritas) di lembaga publik harus 
merujuk pada standar tertentu untuk menjamin mutu dan kinerja. Dalam konteks 
kontestasi pemilu legislatif, keputusan MK seyogianya menjadi tantangan bagi 
para pembela hak-hak politik perempuan untuk membuktikan, kaum perempuan 
layak-pilih bukan karena gender inequity, tetapi kualitas yang baik. 
Bangsa ini sudah terlalu lama memberi toleransi kepada para medioker untuk 
menempati jabatan publik, baik di parlemen maupun pemerintahan. Sungguh amat 
berisiko bila kita menyerahkan nasib dan masa depan bangsa besar ini kepada 
para demagog, yang tak punya kualifikasi memadai sebagai pejabat publik. Amich 
Alhumami Peneliti Sosial; Department of Anthropology University of Sussex, 
Inggris 
-------- 
Untuk bisa menduduki jabatan publik, kriteria dasar seperti kualitas, 
kompetensi, dan keahlian harus menjadi persyaratan mutlak 
bagi laki-laki maupun perempuan. 
Jadi, kebijakan afirmatif dimaksudkan untuk membuka peluang yang sama 
dan perlakuan setara bagi siapa pun, berprinsip equal opportunity dengan 
menghargai dan mengakui keragaman latar belakang sosial budaya 
untuk berkompetisi secara sehat dan terbuka dalam memperebutkan 
posisi di arena publik. 
------- 
  
Kebijakan afirmatif tidak menoleransi seseorang 
dengan kemampuan minimal dan berkapasitas rendah - 
dengan pertimbangan jender atau keragaman sosial budaya - 
guna menempati jabatan publik. 
-------  
------ 
Pemimpin Alternatif 
Bagaimana dengan pemimpin alternatif, para kandidat legislatif, para kandidat 
presiden/wapres Indonesia saat ini? Memang yang berkualitas, cerdas dan 
bijaksanalah yang nantinya diharapkan akan mengemban amanah rakyat. 
Mari tinggalkan tirani demokrasi Indonesia, buka seluas-luasnya kesempatan bagi 
yang mampu mengemban sebagai pemimpin Indonesia. Tidak menjadi presiden 
Indonesia pun itu bukan masalah – karena memang itu bukan hal yang penting bagi 
seseorang. Yang lebih penting bagaimana Indonesia bisa dipimpin dan dibina oleh 
para negarawan yang terbuka pikiran, hati, bekerja penuh dedikasi, komitmen, 
untuk kebaikan dan kemajuan rakyat Indonesia sepenuhnya. 
Sudah saatnya segera meninggalkan cara-cara lama yang sudah sangat usang bagi 
perkembangan demokrasi Indonesia ke depan. Biarlah yang mampu dan yang 
dipercaya rakyat yang akan memimpin kita. Jangan lagi ada kong-kali-kong, atau 
partai-kali-partai dalam mengoalkan kebijakan/kedudukan, karena ini bukan lagi 
tempat panggung hiburan buat para politisi badut. 
Saat inilah rakyat Indonesia sedang berkuasa, untuk menentukan siapa yang 
menjadi wakil legislatif/DPR bagi kita semua, demikian pula yang akan 
menentukan siapa presiden Indonesia saat ini dan di masa depan. Rakyat sudah 
tidak mudah dan tidak bisa lagi dipengaruhi oleh praktik-praktik kotor para 
wakil rakyat terpilih yang lupa tugasnya, karena banyak mbolos, jalan-jalan, 
bahkan sampai tertidur saat bersidang.... 
Output penting partai politik adalah wakil rakyat di legislatif atau DPR, tugas 
utamanya diantaranya sebagai legislator, merumuskan UU, hearing uji kebijakan 
pemerintah, dsb. bukan sebagai calo, pedagang, atau apa… walau kadang dalam 
praktiknya toh ada saja yang bisa melebihi.   
Memang Indonesia tidak harus memiliki senator atau capres seperti halnya Obama, 
ya paling tidak memiliki hati nurani, pemikiran dan praktik hidupnya mirip dia 
lah, itu sudah cukup membawa Indonesia untuk maju dan berkembang dengan baik di 
masa depan. 
Kredibilitas calon pemimpin Indonesia pun saat ini sedang diuji….oleh 
rakyat,….apakah nanti bisa lulus, lolos, layak dan pantas untuk dipilih atau 
tidak. Rakyat akan membuktikannya dalam pemilu menjelang. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke