Refleksi : Dibelunggu kemiskinan dan dibebani pemiskinkan, kedua-duanya berjalan sejajar dalam kehidupan sehari-hari yang dialami rakyat mayoritas, mereka miskin dan harta kekayaan alam mereka juga dikuras habis untuk kepentingan kaum berkuasa dan sahabatnya.
http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=22847 010-08-12 Indonesia Dibelenggu Kemiskinan Struktural Pemerintah Belum Prorakyat [JAKARTA] Kemiskinan di Indonesia didominasi kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang disebabkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum pro rakyat. Demikian rangkaian pendapat yang dihimpun SP , Rabu (11/8) dan Kamis (12/8) dari Direktur INDEF Ikhsan Mojo, pengamat politik AAGN Ari Dwipayana, Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Lono Lastoro Simatupang, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Muhadjir Effendy, pengamat ekonomi dari ECONIT Hendri Saparini, sosiolog dari Universitas Padjadjaran Budi Rajab, dan pengamat ekonomi Revrisond Baswir. Menurut Lono Lastoro, kemiskinan struktural bukan karena kemalasan si miskin atau etos kerja, tetapi karena sistem sosial, politik dan ekonomi negara yang menyebabkan satu atau banyak kelompok termarginalkan. Masalah struktural yang melingkupi masyarakat miskin antara lain ketidakadilan penguasaan produksi, terutama tanah, kualitas SDM, subsidi, dan akses kepada pasar. Kemiskinan itu, menurut Hendri Saparini, menumpuk di perdesaan. Dijelaskan, bagi pekerja di sektor informal seperti petani yang berjumlah 28,3 juta keluarga, faktor penyebab kemiskinan struktural, terutama menyangkut tanah dan modal. Faktor tanah, misalnya, sampai saat ini kepemilikan lahan petani di jawa rata-rata 0,3 hektare dan di luar jawa 0,5 hektare. Pemerintah dinilai kurang fokus dalam pemanfaatan tanah sehingga petani tidak dapat meningkatkan produksinya. Kebijakan landreform hanya sebatas wacana sejak kabinet Indonesia Bersatu I, 2005. Dari sisi modal, nyaris tak ada produk pembiayaan yang cocok dengan sektor pertanian. Dari sisi produksi, harga pupuk juga kian mahal disertai ketergantungan pada bibit impor. Dari sisi pasar, masuknya barang-barang impor membuat petani lokal kesulitan bersaing. "Dari sisi pasar dan produk, tidak ada keberpihakan atau strategi untuk melindungi produk dalam negeri mulai dari gula, beras, kedelai. Jadi, kebijakan tidak pro bagi kelompok miskin. Miskin turun-temurun, dari kakeknya, bapaknya, anaknya miskin," tandasnya. Sedangkan, menurut Rizal Ramli, kebijakan perdaga- ngan dan industri yang neoliberal membuat terjadi deindustrialisasi premature di Indonesia. "Deindustrialisasi prematur ini merupakan kemiskinan struktural yang diciptakan pemerintah," kata Rizal. Rizal menegaskan, pemerintah sekarang melaksanakan konsep ekonomi neoliberal ugal-ugalan yang seusungguhnya bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, yakni ekonomi Pancasila. "Solusi untuk semuanya adalah kembalikan ekonomi di negeri ini ke sistem dan pelaksanaan ekonomi konstitusi," kata dia. Sedangkan, menurut Dosen FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) Drs Beatus Tambaib, kemiskinan struktural juga dipengaruhi kebijakan pembangunan yang sentralistik. Ia mencontohkan pembagunan yang diskriminatif di Papua di mana saat Orde Baru menggunakan pendekatan represif yang mengakibatkan masyarakat Papua tidak diberdayakan selama 32 tahun. Lulusan Newscastle University Australia ini mengatakan, keinginan warga untuk maju berkembang tersedia namun persoalannya, 35 terlalu lama mereka dibiarkan dan tidak dibangun secara baik sehingga dalam kurun waktu 10 tahun sejak era roformasi masih mencari pola untuk keluar dari belenggu itu. Kondisi lain diungkapkan Ari Dwipayana. Ia menyoroti implementasi kebijakan pusat-daerah yang tak sinkron membaut membuat Indonesia seolah menjadi negeri pejabat. Dana publik sebagian besar justru habis untuk membiayai pejabat birokrasi daripada untuk membiayai kepentingan rakyat. "Kalau lihat APBD di seluruh daerah, hampir 70 persen di antaranya untuk membayar gaji dan operasional birokrasi, bagaimana rakyat mau sejahtera dengan komposisi pengeluaran seperti itu," ujarnya. Dampak lebih jauh, program-program pemerintah dan pelayanan publik tidak efektif. Indeks pembangunan manusia Indonesia tidak pernah meningkat, tingkat kemiskinan juga tak berkurang. Ari pun menyampaikan, jika negara ingin serius memikirkan bangsanya, maka sesungguhnya komposisi belanja birokrat dan kebutuhan rakyat dibalik. "Harusnya 70 persen untuk pelayanan rakyat, 30 persen untuk belanja birokrasi. Belum lagi penguapan uang negara ke sektor-sektor lain, semisal perbankan, perpajakan, hingga ke tingkat legislatif," ujarnya. Menurutnya pendapatan negara yang seluruhnya diperoleh dari rakyat, harusnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi. "Negara macan Asia Tiongkok saja tidak segan-segan memberi subsidi bagi penggerak ekonomi kerakyatannya misalnya, bebas bea ekspor bagi usaha kecil, subsidi listrik hingga bantuan penyaluran produknya. Bagaimana dengan Indonesia? Rakyat lambat laun akan dilepaskan ke pasar. Subsidi listrik mulai dikurangi, BBM sudah dilepaskan ke pasar," kritiknya. Sedangkan menurut Revrisond Baswir, penyebab kemiskinan tidak pernah dihadapi sehingga yang terjadi sebenarnya adalah pemiskinan. Pengentasan hanya dilihat dari gejalanya, bukan akar permasalahannya. Ia menilai, bentuk-bentuk bantuan seperti BLT atau beras bagi si miskin, hanya mengatasi gejala. "Bangsa ini dapat belajar dari Soekarno yang menolak tawaran Bank Dunia dan IMF sekitar 1965 bahkan saat perekonomian Indonesia terpuruk. Sejak era Soeharto, pemerintah yang cenderung otoriter mampu menekan harga komoditas meski dengan cara subsidi utang. Kelihatannya rakyat tidak terlalu menderita akibat kenaikan harga, padahal sesungguhnya di balik itu tersembunyi masalah besar yakni pembayaran utang," ujar Revrisond. Saat ini, ketika harga naik ternyata tidak ada desain pengalihan kompensasi. Padahal seharusnya kebijakan itu berjalan simultan kalau memang pemerintah memperhitungkan seluruh faktor, yakni keuangan negara dan kondisi masyarakat miskin. Karena itu Revrisond berpendapat yang perlu segera dilakukan saat ini adalah koreksi sistematis terhadap struktur perekonomian yang timpang, dengan cara menghentikan subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, mengalokasikan anggaran negara pada program penanggulangan kemiskinan terutama pada kesehatan dan pendidikan, serta memerangi korupsi. Mengenai perbaikan sejumlah bidang dalam hubungannya dengan penanganan kemiskinan ini menurut, Ikhsan Modjo, saat ini sudah ada sedikit kemajuan dari apa yang dilakukan pemerintah. Namun, pelaksanaan di lapangan lemah sehingga tidak mendukung penuntasan program. Penanganan, kata dia, sudah banyak dilakukan oleh pemerintah antara lain seperti penyelenggaraan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan penyaluran beras bagi rakyat miskin (Raksin). "Target tidak tepat dan persoalan administrasi di lapangan karena birokrasinya lemah. Jadi, sebagus apa pun programnya tapi pelaksanaannya tidak tepat maka hasilnya akan tidak terlihat. Misalnya saja pemerintah keluarkan anggaran Rp 8 triliun hingga Rp 10 triliun, tapi yang kena hanya 1-2% dari penduduk miskin," jelasnya. Ikhsan mengharapkan, pemerintah dapat cepat memperbaiki masalah birokrasi sehingga kemiskinan struktural yang sudah lama terjadi ini dapat segera teratasi. "Perlu dibuat program yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan," katanya. Sedangkan menurut Lono, pengetatan sistem administrasi negara guna memberantas korupsi yang terjadi di pusat dan daerah serta pada level eksekutif maupun legislatif. "Itu semua karena sistem kontrol pemerintah minim," ujarnya. Lono juga mengatakan, kemiskinan secara struktural itu harus diatasi dengan melipatgandakan fasilitas publik, mengembalikan pemberian bea siswa kepada si miskin dan harus mengembalikan sistem subsidi kepada rakyat. [152/154/153/E-8070/O-2/155/106]