http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=23002

010-08-13
Kemiskinan Struktural Elite Sibuk Perkaya Diri 


dok sp 
Frans Umbu Datta Sayekti Pribadiningtyas



[JAKARTA] Kemiskinan struktural yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia 
disebabkan pemerintah dan DPR yang lalai menjalankan tugas-tugasnya. Para elite 
pemerintahan maupun lembaga perwakilan rakyat di berbagai tingkatan lebih sibuk 
memupuk kekayaan daripada berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. 


Hal itu tercermin dari jumlah kekayaan yang luar biasa dari para pejabat 
negara, sementara sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan. Elite di 
tingkat nasional berlomba-lomba memiliki rumah dan apartemen di luar negeri, 
sedangkan elite daerah menumpuk hartanya di Jakarta. 


Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun SP, Kamis (12/8) dan Jumat (13/8), 
dari guru besar antropologi Universitas Diponegoro Semarang, Mudjahirin Thohir, 
sosiolog Universitas Wisnuwardhana Malang, Sayekti Pribadiningtyas dan Muh 
Darwis dari Universitas Hasanuddin Makassar, serta Rektor Universitas Nusa 
Cendana Kupang, Frans Umbu Datta. 


Mudjahirin menyatakan banyaknya penduduk miskin bukan semata-mata karena malas, 
kurang pengetahuan dan keterampilan, melainkan karena sikap dan kebijakan 
pemerintah yang belum sungguh-sungguh berorientasi memperbaiki kualitas hidup 
rakyat. Para penguasa justru hanyut dalam kemewahan dan sibuk membangun 
jaringan-jaringan politik untuk mengukuhkan posisinya. 


Ketika pengukuhan posisi itu harus ditebus dengan dana, maka para elite hanya 
berjuang mengisi pundi-pundinya. Dalam konteks itu kemudian terjadi 
perselingkuhan dalam pembuatan peraturan dan kebijakan, sehingga hanya para 
pemodal saja yang diuntungkan. "Pada saat bersamaan, para elite kurang berminat 
mengentaskan rakyat miskin," katanya.


Senada dengannya, Sayekti menyatakan kemiskinan struktural terjadi karena 
kelalaian pemerintah sebagai pelaksana pembangunan dan DPR sebagai alat kontrol 
yang mewakili rakyat. Para elite pemerintahan dan DPR yang merupakan birokrat 
dan politisi justru melupakan tugas utama mewujudkan kesejahteraan masyarakat, 
tetapi berjuang untuk kesejahteraan pribadi, keluarga, dan kelompok. "Lha 
sekarang ini, semua parpol sama saja. Ketika parpol tertentu sudah menang, visi 
dan misinya wajib dijalankan. Kalau tidak, bubarkan saja parpol yang ada dan 
kita beralih yang independen-independen," katanya.


Sedangkan Muh Darwis menyatakan kemiskinan yang diderita sebagian rakyat 
merupakan bukti pemerintah tidak memberikan perhatian dan perlindungan kepada 
rakyat kecil. "Negara ini salah urus! Lihat saja, rakyat kecil yang berusaha 
selalu menjadi sasaran penggusuran dan pemerintah lebih berpihak pada pengusaha 
bermodal besar. Itu artinya, proteksi perlindungan ekonomi rakyat di negara ini 
sangat minim, padahal di sektor itu jutaan rakyat menaruh harapannya untuk 
hidup," ujarnya.


Rektor Universitas Nusa Cendana, Frans Umbu Datta menyatakan hakikat kemiskinan 
adalah kemiskinan wawasan, karakter, dan pengetahuan. Apabila ketiga faktor itu 
bisa diatasi, rakyat Indonesia tidak mungkin lagi hidup dalam kekurangan. Untuk 
itu, dia meminta pemerintah lebih sistematis menangani persoalan kemiskinan.

Buka Akses
Secara terpisah, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham mengakui adanya kemiskinan 
yang muncul karena kebijakan dan aturan yang tidak memberikan akses secara 
terbuka kepada masyarakat. Untuk itu, Golkar akan berjuang agar aturan-aturan 
yang tidak membuka akses kepada masyarakat harus diubah. "Golkar akan berjuang 
di parlemen. Golkar mendorong agar tidak terjadi lagi kemiskinan struktural," 
katanya.


Pada kesempatan itu, Idrus menyatakan pihaknya akan mendorong peningkatan 
industri yang berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia. 
Golkar berjuang supaya proses industri benar-benar melibatkan masyarakat, bukan 
hanya untuk menghasilkan bahan mentah, tetapi terlibat di semua proses 
industri. Dengan langkah itu diharapkan kemiskinan bisa dikurangi secara 
signifikan. Sedangkan, anggota FPDI-P Rieke Dyah Pitaloka menyatakan pemerintah 
harus mengubah paradigma kebijakan prorakyat dari yang bersifat pemberian 
(charity) menjadi pemberdayaan. 


Selain itu, pemerintah juga harus mengevaluasi program-program prorakyat yang 
telah dijalankan. "Karena saat ini tak ada lagi GBHN, pemerintah harus 
menetapkan program prioritas untuk kesejahteraan rakyat selama lima tahun. 
Misalnya, dalam dua tahun pertama, kebijakan diarahkan pada penciptaan lapangan 
kerja untuk mengurangi pengangguran. Lalu tahun berikutnya fokus pada program 
wajib belajar dan pelayanan kesehatan. Kalau tidak ada program prioritas, upaya 
pemberantasan kemiskinan akan tetap serampangan," ujar




Kirim email ke