Ref: Dikatakan seJawa membutuhkan 5000 tenaga, dan ini adalah masalah rumit. 
Masalah kerumitan ini akan bisa diatas atasi kalau Depag diliwikwidasi, sebab 
tidak bisa membawa cahaya langit menerangi kamar gelap. hehehe. Tetapi kalau 
mau sirus masalah utamanya terletak pada politik pendidikan rezim yang searah 
tidak karuan, yang dipendtingkan adalah ilmu langitan gurun pasir, maka oleh 
karena bukan saja otak dibuat menjadi gelap, tetapi juga kegelapan tidak mampu 
diterangi dengan listerik yang telah menjadi kebutuhan utama masyarakat 
sekarang.


http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=1474

24 Agustus 2010 02:08:29



Memikirkan 1.000 Kematian Sebulan




Catatan: Dahlan Iskan 
CEO PLN 


Ini tidak ada hubungannya dengan kenaikan TDL. Baik yang lalu maupun yang konon 
akan naik lagi Januari tahun depan. Ini soal kebiasaan di PLN yang sudah lebih 
30 tahun tidak kunjung berubah: listrik mati dengan alasan sedang dilakukan 
pemeliharaan. Pemeliharaan trafo maupun jaringan. Jaringan tegangan menengah 
maupun tegangan rendah.  Padahal di Jakarta saja, setiap hari dilakukan 36 
pemeliharaan jaringan di 36 lokasi. Ini berarti dalam sebulan terjadi hampir 
1.000 kali pemeliharaan. Ini hanya di Jakarta. Artinya dalam sebulan hampir 
1.000 kali pula listrik mati secara "sah" di Jakarta.  Pelanggan tentu tidak 
lagi peduli kematian itu sah atau tidak. Toh akibatnya sama: daging di kulkas 
busuk, ikan koi di akuarium mati dan apakah rambut yang tengah disampo di kamar 
mandi harus dibiarkan kering. 


Zaman sudah berubah. Tinggal PLN yang belum berubah di bidang ini. Dulu, 30 
tahun lalu, orang masih bisa menerima listrik mati, asal jangan malam hari. 
Maka pemeliharaan dilakukan siang hari. Antara pukul 08.00 sampai 16.00. 
Delapan jam. Dulu, belum ada kulkas dan belum ada ikan koi. Kalau listrik mati 
delapan jam bisa ditinggal ke sawah atau ke pasar.  Dulu, ketika pelanggan 
masih sedikit, komunikasi masih mudah. Setiap kali dilakukan pemeliharaan PLN 
masih sempat memberitahu semua pelanggan lewat surat. Lalu diiklankan di koran 
setempat. Tapi pengumuman seperti itu kini tidak lagi bisa menjangkau seluruh 
pelanggan. 



Walhasil pelanggan tidak tahu lagi apakah lampu di rumahnya mati karena 
pemeliharaan atau mati karena disantet. Inilah yang membuat citra byar-pet 
masih belum bisa hilang. Tidak bisa segera berubah menjadi pet-byar. Padahal 
pemadaman bergilir akibat kekurangan daya listrik sudah tidak terjadi lagi 
sejak 30 Juni 2010 lalu.  Yang membuat pelanggan juga tidak bisa menerima lagi 
listrik mati adalah ini: TV swasta. Dulu, 30 tahun lalu, hanya ada TVRI. Itu 
pun pagi hari tidak siaran. Kini acara-acara TV bukan main serunya. Kalau dulu 
boleh mati lampu asal siang hari, kini tidak mungkin lagi: ibu-ibu sudah banyak 
yang kecanduan sinetron atau Take Me In. 


Maka tidak ada jalan lain: PLN yang harus berubah. 
Bisakah kebiasaan selama lebih 30 tahun berubah cepat? Seorang anggota DPR asal 
Lombok bukan main marahnya. Listrik di rumahnya di Mataram, mati. Berkali-kali 
dia mengirim SMS yang isinya menunjukkan kemarahannya itu. Dia mengira masih 
terjadi pemadaman bergilir seperti di masa lalu. Padahal ini keteledoran yang 
memang tidak bisa diterima: sekring trafo kecil di dekat rumahnya putus. 



Tidak kunjung diperbaiki. 


Begitu marahnya anggota DPR tersebut sehingga saya tidak cukup hanya minta 
maaf. Saya pun menulis jawaban begini: kalau bapak mengizinkan, karyawan yang 
tidak segera memperbaiki sekring itu akan saya pecat!  PLN, mau tidak mau 
memang harus berubah.  Kebiasaan panjang melakukan pemeliharaan sampai 
mematikan lampu selama delapan jam itu harus diakhiri. Inilah tekad baru seuruh 
jajaran PLN sekarang ini. Kini rapat-rapat di PLN diisi dengan agenda bagaimana 
mengubah kebiasaan yang sudah mendarah-mendaging ini. Ini tidak mudah, tapi 
harus berhasil.  Di mana-mana saya mendiskusikan soal ini sekarang. Saat di 
Riau misalnya, ada usul bagaimana kalau pemeliharaan dilakukan di hari Minggu. 
Usul ini kelihatannya masuk akal. Tapi saya masih keberatan. Di hari Minggu pun 
kini listrik tidak boleh mati. Banyak orang kawin di hari minggu. 


Mereka akhirnya menyepakati pemeliharaan dilakukan malam hari, antara jam 23.00 
sampai jam 04.00. Setelah para pengantin ditinggalkan para tamunya pulang. Di 
saat pengantin berangkat ke peraduan inilah petugas PLN mulai berangkat ke 
lapangan memanjat tiang-tiang listrik. Lalu mematikannya. Gelap. 


Berarti mereka akan bekerja malam. Tidak apa-apa. Toh masinis kereta api, pilot 
jurusan antar benua, pegawai percetakan koran, karyawan pembangkit listrik 
sendiri, semuanya kerja malam. Apa salahnya kalau pegawai PLN bagian 
pemeliharaan juga bekerja malam.  Tapi ide seperti di Riau itu tidak akan bisa 
dijalankan di Jakata. Juga di seluruh Jawa. Orang Jakarta sudah terlalu biasa 
tidur dengan AC. Kalau listrik mati, biar pun jam 00.00 tidak bisa diterima. 
Mereka bukan lagi pengantin baru. Mereka mengatakan tidak bisa tidur. Ini akan 
menganggu stabilitas ekonomi keesokan harinya. 


Pokoknya lampu tidak boleh mati. Hari apa pun, jam berapa pun.  Inilah 
tantangan yang benar-benar tidak mudah. Tapi harus dilakukan. Kalau pun tidak 
bisa berubah mendadak, harus ada tahapan-tahapan yang jelas. Harus dicari 
sistem pemelihataan yang cocok dengan zaman yang sudah berubah ini. Sebagai 
langkah awal, diputuskan pemeliharaan dilakukan seperti biasa, tapi lampu hanya 
boleh dimatikan maksimum tiga jam. 


Dua hari setelah keputusan itu, saya masih menerima laporan ini: salah satu 
lokasi di Jakarta masih dilakukan pemeliharaan selama 6 jam! Memang sudah tidak 
lagi 8 jam, tapi masih belum bisa tiga jam. Inilah salah satu contoh tidak 
mudahnya perubahan ini. Tapi tidak boleh menyerah. Target harus dicapai. Sudah 
mulai banyak lokasi yang dipelihara dalam jangka waktu kurang dari tiga jam. 
Tanggal 30 November 2010 nanti, Jakarta dan seluruh Jawa harus bisa 
melaksanakan keputusan ini. Dengan segala konsekwensinya. 


Bahkan akan ada target berikutnya: bagaimana PLN bisa melakukan pemeliharaan 
jaringan tanpa mematikan setrumnya sama sekali. Hanya saja, target yang satu 
ini tidak bisa dilakukan dalam hitungan minggu. Dengan kerja yang luar biasa 
keras pun mungkin perlu waktu sampai satu tahun. Konsepnya sudah ada: PDKB 
(Pemeliharaan Dalam Keadaan Bertegangan). 


Untuk bisa melaksanakan konsep ini memang harus disusun perencanaannya. "Yang 
lebih sistematis dan rapi. Bahkan harus disiapkan orang-orang yang bukan hanya 
memiliki ketrampilan istimewa, namun juga kejiawaan yang khusus. Inilah yang 
menyebabkan target yang satu ini tidak boleh dilakukan terburu-buru: harus 
dicari dulu orang-orang yang memiliki ketrampilan dan kejiwaan tertentu itu, 
harus dididik dan dilatih, dan harus dilengkapi peralatan anti-setrumnya. Akan 
ada rekruitmen, pendidikan, latihan, dan menganggaran. Itulah sebabnya dalam 
angaran tahun 2011 soal ini harus dimasukkan. 


Di Jakarta saja mungkin diperlukan 1.000 orang dengan kualifikasi seperti ini. 
Mereka akan dibagi dalam 200 kelompok/regu, masing-masing lima orang. Se Jawa 
berarti perlu sekitar 5.000 orang. Alangkah rumitnya rekrutmennya, 
pendidikannya, pelatihannya dan penyiapan alat-alatnya. Mereka inilah pasukan 
berani matinya PLN ke depan. Berani melakukan pekerjaan pemeliharaan jaringan 
ketika jaringan itu dalam keadaan sedang mengalir listriknya. Zaman sudah 
berubah. PLN jangan ditinggal!
(scorpions)






Kirim email ke