http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=23578

010-08-24
Problem Multipartai dan Konsolidasi Demokrasi


Oleh : Theo L Sambuaga

Kita baru saja merayakan Proklamasi Kemerdekaan ke-65. Idealnya, pada usia 
tersebut cita-cita kemerdekaan yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur 
sudah terwujud. Sumber daya alam yang melimpah dan warisan budaya serta tata 
nilai luhur yang kita miliki, merupakan modal penting untuk mengakhiri 
kemiskinan, kemelaratan dan berbagai ketidakadilan yang dialami rakyat kecil. 


Kemerdekaan adalah momen transformasi sistem politik dari sistem kolonial yang 
eksploitatif dan anti-demokrasi kepada sistem politik nasional yang 
berlandaskan Pancasila. Pancasila adalah cerminan jiwa bangsa Indonesia karena 
di dalamnya terkandung semangat religiusitas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi 
dan keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut hendaknya menjiwai semangat rakyat 
dan segenap penyelenggara Negara demi terwujudnya kemajuan, kemakmuran dan 
keadilan sosial.


Tanpa mengecilkan hasil-hasil yang telah dicapai, kenyataannya, kegelisahan 
terus merayap di hati rakyat kecil. Terbatasnya peluang kerja, pendapatan 
rendah dan menguatnya korporatisme ekonomi menjadi ganjalan serius. Kalaupun 
pemerintah meyakini pertumbuhan ekonomi terus terjadi, namun hasilnya belum 
dirasakan rakyat kecil akibat meluasnya kesenjangan ekonomi dan politik. Semua 
ini berkaitan erat dengan sistem politik yang kita anut saat ini. 

Problem Multipartai 
Demokratisasi merupakan agenda reformasi di bidang politik. Hal itu diawali 
dengan perubahan mendasar pada sistem kepartaian. Kebebasan mendirikan partai 
politik melahirkan lebih dari 250 partai politik dengan 48 partai yang memenuhi 
syarat mengikuti pemilihan umum pada tahun 1999. Pada tahun 2004 lahir hampir 
200 partai dan 24 partai yang memenuhi syarat ikut pemilihan umum. Sedangkan 
pada tahun 2009 dari sekitar 150 partai , 38 di antaranya lolos ikut pemilu.


Sistem kepartaian berdasarkan multi-partai ini membawa hampir 20 partai yang 
terwakili di DPR pada tahun 1999 dan 16 partai pada tahun 2004. Pada pemilihan 
umum 2009 "hanya" 9 partai yang terwakili di DPR RI, karena ditetapkannya 
parliamentary threshold 2,5 % yaitu ketentuan yang mengatur bahwa hanya partai 
yang memperoleh total suara nasional lebih dari 2,5 % yang dapat mengirimkan 
wakilnya ke DPR RI. 


Secara teoritik, sistem multipartai ini cocok dengan kemajemukan bangsa 
Indonesia. Dengan itu, keragaman aspirasi dan kepentingan rakyat bisa diwadahi 
oleh sistem ini. 
Namun demikian, sistem multipartai mengandung sejumlah kerawanan. Pertama, 
sistem ini meniscayakan fragmentasi politik yang sering berujung pada konflik 
dan kekerasan. Hal ini terjadi karena elite politik sering mengeksploitasi 
isu-isu primordial dalam meraih posisi-posisi strategis. Akibatnya, fanatisme 
sempit terhadap isu-isu ras, agama dan budaya berkembang pesat sehingga 
berujung pada konflik dan kekerasan. 
Secara historis, praktek politik seperti ini pernah terjadi pada tahun 
1950-1959 ketika banyak partai sulit membangun kesepakatan. Kalaupun pemilu 
sistem multipartai tahun 1955 dipandang sukses, tapi tidak berarti konflik 
ideologis berakhir. Ujungnya adalah Dekrit Presiden Soekarno tahun 1959 untuk 
kembali ke ideologi Pancasila demi menyelamatkan NKRI setelah debat 
konstituante gagal mencapai kesepakatan. 
Kedua, sistem multipartai di satu pihak memperkuat checks and balances, di lain 
pihak mengakibatkan lamanya pengambilan keputusan di parlemen, lemahnya 
kabinet, ragu-ragu dalam tindakannya, serta tidak effektif menjalankan 
pemerintahan, apalagi jika kabinet berlandaskan koalisi beberapa partai 
politik. Konsensus antar partai setiap kali harus diperbaharui karena 
pengunduran diri salah satu partai koalisi dapat membuyarkan kekompakan 
pemerintahan.
Ketiga, kurang terjaminnya stabilitas politik berujung pada terhambatnya 
agenda-agenda pembangunan ekonomi. Berbagai program harus dinegosiasikan dengan 
berbagai kekuatan politik sehingga sering berjalan lambat, sarat kompromi 
politik bahkan berpotensi disalahgunakan.
Realitas ini melahirkan skeptisme publik terhadap politik dan demokrasi. 
Demokrasi dianggap mahal dan gagal membawa kesejahteraan. Demokrasi juga 
dituduh sebagai adopsi budaya barat yang sesungguhnya kurang pas diterapkan di 
negeri ini.


Meski keraguan tersebut dengan mudah dipatahkan, namun pentas politik yang 
masih didominasi money politics dan kekerasan merupakan indikasinya. Demokrasi 
yang semestinya menjamin kebebasan, kesetaraan dan keadilan, kini justru 
dibajak oleh segelintir elite yang kuat secara politik dan ekonomi. Alih-alih 
membangun demokrasi, kita akhirnya mendapati diri terjebak dalam oligarki 
politik karena menguatnya dominasi segelintir elite dalam meraih dan 
mempertahankan posisi-posisi politik strategis. 

Konsolidasi Demokrasi
Menyikapi berbagai problem tadi, maka evaluasi kritis dan menyeluruh perlu 
terus dilakukan untuk mengkonsolidasikan demokrasi. 

Pertama, mempertegas komitmen nasional bahwa Pancasila adalah ideologi 
nasional, ideologi bersama, dan ideologi terbuka. Seluruh kehidupan politik 
harus didasarkan pada Pancasila. yang penjabaran dan operasionalisasinya harus 
dilakukan secara terbuka, kritis, dan kontekstual. Prinsip dari nilai Pancasila 
seperti; wawasan kebangsaan, demokrasi, penghormatan hak asasi manusia dan 
hukum, penghargaan terhadap pluralitas, non-diskriminatif, anti kekerasan dan 
keadilan harus menjadi pedoman, program, perilaku dan komitmen seluruh partai 
politik dan organisasi kemasyarakatan. 


Kedua, peningkatan kualitas partai politik. Kemampuan partai politik dalam 
melaksanakan fungsinya harus ditingkatkan khususnya kualitas komitmen 
perjuangan dan idealisme, fungsi rekrutmen anggota dan seleksi kepemimpinan, 
pendidikan dan komunikasi politik, serta melahirkan dan memperjuangkan gagasan 
yang bertumpu pada kepentingan rakyat. Sejalan dengan itu, partai politik harus 
mampu melahirkan situasi kondusif dan pemerintahan yang berkualitas, yang 
bekerja efektif bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. 


Ketiga, perlu ada upaya serius untuk menyederhanakan partai politik. Penerapan 
parliamentary threshold 5% merupakan mekanisme demokratis dalam menyederhanakan 
partai politik. Dengan demikian, jumlah partai yang berhasil meraih kursi 
parlemen semakin kecil sehingga stabilitas politik dan pemerintahan bisa 
diperbaiki secara signifikan. 


Keempat, sistem pemilihan umum perlu diperbaiki agar kadar demokratis dan 
keterwakilannya terus meningkat. Apakah sistem perwakilan berimbang dengan 
daftar terbuka dan penentuan terpilih melalui suara terbanyak sebagaimana 
diterapkan pada pemilu 2009 akan tetap dipertahankan atau diperbaiki, merupakan 
perdebatan yang masih berlangsung. Juga muncul wacana tentang 
dipertimbangkannya sistem atau sering disebut sebagai sistem distrik, atau 
sebagian anggota dipilih melalui sistem distrik sebagian lagi melalui sistem 
perwakilan berimbang. Opsi apapun yang dipilih yang penting adalah kadar 
demokratis dan keterwakilannya harus semakin tinggi. 


Kelima, penguatan kapasitas masyarakat sipil atau civil society. Hal ini 
dicapai melalui dua cara, (1) adanya dukungan dari negara. Pemerintah hendaknya 
menciptakan iklim politik yang memungkinkan tumbuhnya prakarsa kreatif 
masyarakat. Di saat yang sama, intervensi negara bagi kesejahteraan masyarakat 
hendaknya mendapat prioritas dengan menyediakan jaminan pendidikan, kesehatan 
dan pelayanan dasar lainnya. (2) masyarakat sipil sendiri harus mewujudkan diri 
sebagai kekuatan yang memiliki penghargaan dan toleransi tinggi terhadap 
pluralitas dan mengutamakan cara persuasive dan damai dalam mengatasi berbagai 
konflik. 


Penguatan civil society merupakan agenda penting untuk mendorong konsolidasi 
demokrasi. Belajar dari Amerika Latin tahun 1970-80-an transisi politik bisa 
berbalik arah bagi penguatan otoriterisme jika partai politik asyik menistakan 
partisipasi rakyat dan mengutamakan kepentingan diri dan kelompok. Begitu pula, 
civil society yang masih saja membangkitkan fanatisme sempit dan mengakrabi 
kekerasan dalam mengatasi berbagai persoalan seperti konflik sosial atau 
pemilukada , adalah langkah mundur dan merupakan sumber kematian pluralitas dan 
demokrasi. 


Keenam, kebebasan pers yang telah menyuburkan demokrasi terutama di era 
reformasi ini perlu terus dikembangkan. Profesionalisme pers merupakan strategi 
untuk mencerahkan dan mencerdaskan bangsa di tengah masyarakat yang semakin 
maju dan kritis, serta perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi 
khususnya teknologi informasi. Pelaksanaan langkah konsolidasi demokrasi 
merupakan bagian dari reformasi yang harus terus dilakukan termasuk reformasi 
sistem politik agar mampu menunjang penyelenggaraan negara yang memajukan 
bangsa dan menyejahterakan rakyatnya.

Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar




Kirim email ke