Kategori Al-Ilmu : Qawaid Fiqhiyah
Kaidah Ke. 22 : Shulh (Berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh

QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Dua


ÇáÕøõáúÍõ ÌóÇÆöÒñ Èóíúäó ÇáúãõÓúáöãöíúäó ÅöáÇøó ÕõáúÍðÇ ÃóÍóáøó ÍóÑóÇãðÇ Ãóæú 
ÍóÑøóãó ÍóáÇóáÇð

Shulh (berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh Kecuali Perdamaian Yang 
Menghalalkan Suatu Yang Haram Atau Mengharamkan Suatu Perkara Yang Halal


Kaidah mulia yang sangat bermanfaat ini diambil dari lafadz hadits yang telah 
dishahihkan oleh beberapa ahli hadits. Diriwayatkan dari Abu Hurairah 
Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ÇáÕøõáúÍõ ÌóÇÆöÒñ Èóíúäó ÇáúãõÓúáöãöíúäó ÅöáÇøó ÕõáúÍðÇ ÍóÑøóãó ÍóáÇóáÇð Ãóæú 
ÃóÍóáøó ÍóÑóÇãðÇ æóÇáúãõÓúáöãõæúäó Úóáóì ÔõÑõæúØöåöãú ÅöáÇøó ÔóÑúØðÇ ÍóÑøóãó 
ÍóáÇóáÇð Ãóæú ÃóÍóáøó ÍóÑóÇãðÇ

Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang 
menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum 
Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat 
yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[1]

Hadits ini menjelaskan bahwa seluruh macam shulh (perdamaian) antara kaum 
muslimin itu boleh dilakukan, selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus ke 
dalam suatu yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasûl-Nya.

Berikut beberapa contoh penerapan kaidah diatas :

1. Shulhul iqrâr atau as-shulh ma’al iqrâr (perdamaian yang disertai pengakuan)
Misalnya, seseorang melihat barang yang diakuinya sebagai milik dia, misalnya 
jam, namun jam itu berada di tangan orang lain. lalu dia mengatakan : “Jam ini 
milikku !” Orang yang sedang membawa jam itu mengatakan : “Ya, ini memang 
jammu. Namun aku ingin berdamai denganmu dengan cara memberikanmu sejumlah uang 
lalu jam ini menjadi milikku.” Jika si pemilik setuju, maka shulh ini sah dan 
inilah disebut as-shulh ma’al iqrâr atau shulhul iqrâr.

Apabila Ahmad menyetujui tawaran Zaid tersebut maka ini diperbolehkan. Ini 
termasuk kategori Shulhul Iqrâr.

2. Shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr (perdamaian yang disertai 
pengingkaran)
Contohnya, kasus jam diatas. Jika yang membawa jam itu mengingkari pengakuan 
orang itu dengan mengatakan : “Jam ini bukan milikmu tapi milikku.” Kemudian 
dia khawatir permasalahan ini akan berkepanjangan, akhirnya dia ingin 
menyelesaikannya dengan mengajak damai. Dia mengatakan : “Kita damai saja, saya 
akan memberikanmu sejumlah uang dan jam ini tetap di tanganku sebagai milikku.” 
Jika orang pertama setuju, maka shulh ini sah dan disebut dengan shulhul inkâr 
atau as-shulh ma’al inkâr. Melihat dalam peristiwa ini ada indikasi bohong, 
syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah mengatakan : “Bagi yang 
berbohong, maka akadnya tidak sah.”

3. Berdamai dalam khiyâr 'aib (hak pembeli untuk membatalkan transaksi karena 
ada cacat pada barang)
Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga tertentu, kemudian ia mengetahui 
ada cacat pada barang itu dan ia ingin mengembalikannya kepada penjualnya. 
Ketika mengembalikan barang tersebut, si penjual mengatakan, "Bagaimana jika 
barang ini tidak dikembalikan dan aku akan berikan ganti rugi kepadamu berupa 
uang sebesar sekian sebagai kompensasi dari kerusakan tersebut ?"

Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini termasuk kategori berdamai yang 
diperbolehkan.

4. Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk membatalkan atau meneruskan 
transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara penjual 
dan pembeli)
Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid dengan kesepakatan si pembeli 
diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia berhak untuk membatalkan atau 
meneruskan jual beli tersebut. Namun kemudian, sebelum lewat waktunya, Zaid 
mendatangi Ahmad dan mengatakan, "Bagaimana jika jual beli ini kita jadikan dan 
kita tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis ? Sebagai kompensasi, aku 
akan berikan kepadamu sejumlah uang."

Apabila Zaid menerima tawaran Ahmad ini, maka shulh ini termasuk kategori shulh 
(berdamai) yang diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah di atas.

5. Berdamai dalam hak syuf'ah.
Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama oleh Ahmad dan Zaid, misalnya 
tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini 
Zaid bisa menggunakan hak syuf'ahnya untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid 
berhak menarik bagian yang sudah dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi 
milik Zaid atau membelinya dengan harga yang sudah disepakati oleh Ahmad dan 
Yasir. Dalam peristiwa ini, saat Zaid akan menggunakan hak syuf’ahnya, Yasir 
berkata, “Bagaimana jika engkau tidak menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku 
ingin memiliki barang ini. Sebagai konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah 
uang kepadamu.”
Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka ini termasuk kategori shulh 
(berdamai) yang diperbolehkan.

6. Berdamai dalam diyât pembunuhan atau yang lain.
Apabila terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dan zalim, maka 
keluarga korban bisa menuntut hukum qishâsh atau menuntut diyât (ganti rugi 
atas pembunuhan tersebut). Jika menuntut diyât, maka jumlahnya telah ditentukan 
dalam syari'at yaitu sejumlah 100 ekor onta dengan memenuhi berbagai ketentuan 
lainnya. Dalam hal ini, apabila keluarga korban mengusulkan kepada keluarga si 
pembunuh supaya memberikan diyât lebih dari 100 ekor lalu keluarga si pembunuh 
menyetujuinya, maka ini termasuk shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

7. Perdamaian dalam hutang yang tidak diketahui jumlahnya.
Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, 
keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam kondisi ini, apabila Zaid mengatakan, 
"Bagaimana kalau kita tentukan saja nominalnya yaitu Rp. 100.000,-, jika 
nominal sebenarnya lebih dari itu, maka aku merelakannya, namun jika nominal 
sebenarnya kurang dari seratus ribu, maka engkau yang merelakannya ?" Apabila 
Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut maka ini termasuk shulh (perdamaian) yang 
diperbolehkan.

8. Perdamaian dalam hak-hak suami isteri.
Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh suaminya, kemudian si 
isteri tersebut berkata kepada suaminya, "Aku ingin tetap menjadi isterimu, 
sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku dikurangi." Apabila si suami 
setuju, maka ini termasuk perdamaian yang diperbolehkan, sebagaimana firman 
Allâh Azza wa Jalla :

æóÅöäö ÇãúÑóÃóÉñ ÎóÇÝóÊú ãöäú ÈóÚúáöåóÇ äõÔõæÒðÇ Ãóæú ÅöÚúÑóÇÖðÇ ÝóáóÇ ÌõäóÇÍó 
ÚóáóíúåöãóÇ Ãóäú íõÕúáöÍóÇ ÈóíúäóåõãóÇ ÕõáúÍðÇ æóÇáÕøõáúÍõ ÎóíúÑñ

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari 
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang 
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka. [an Nisâ'/4:128]

Demikian pula, seluruh perdamaian yang dilakukan untuk menyelesaikan 
perselisihan dan persengketaan di antara manusia, maka hal tersebut 
diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah ini, baik lewat perantara hakim 
atau yang lain. Kesimpulannya, hukum asal dari perdamaian itu adalah boleh 
selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram.

Diantara shulh (perdamaian) yang tidak diperbolehkan karena ada unsur haram di 
dalamnya dapat diketahui dari beberapa contoh berikut :

1. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid. 
Setelah beberapa waktu, Zaid lupa nominal, sementara Ahmad masih ingat 
nominalnya, tetapi ia tidak mau memberitahukannya kepada Zaid. Dalam hal ini, 
apabia Ahmad berkata kepada Zaid, "Aku juga lupa berapa jumlah hutangku itu. 
Bagaimana kalau kita tentukan saja jumlahnya Rp. 50.000 ? Aku rela jika jumlah 
hutang sebenarnya lebih kecil dari itu. Dan relakanlah jika jumlah hutang 
sebenarnya lebih besar dari itu." Kemudian Zaid menyetujui tawaran Ahmad 
tersebut. Maka perdamaian tersebut haram bagi Ahmad, karena ia telah 
menghalalkan perkara yang haram.

2. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid, dengan 
jangka waktu pengembalian selama satu pekan. Setelah berlalu satu pekan, 
ternyata Ahmad belum bisa melunasi hutangnya. Kemudian Ahmad berkata kepada 
Zaid, "Berilah tenggang waktu kepadaku selama tiga hari untuk melunasi 
hutangku. Dan sebagai konsekuensinya, aku akan membayar hutangku sebesar Rp 
100.000 dengan tambahan Rp. 20.000 untukmu." Jika Zaid setuju, maka perdamaian 
seperti itu tidak diperbolehkan karena mengandung riba.
Wallâhu a'lam.

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah 
an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali 
bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits ÇáúãõÓúáöãõæúäó ÚöäúÏó ÔõõÑõæúØöåöãú diriwayatkan oleh imam Bukhâri 
4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushul oleh 
Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jârud no. 637, al Hâkim 2/45, Ibnu 
'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu lewat jalur riwayat Katsîr 
bin Zaid dari Walîd bin Rabâh. Dan dalam riwayat Imam Tirmidzi no. 1370 dari 
Katsîr bin Abdillah bin 'Amr bin 'Auf al Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya, 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÇáÕøõáúÍõ ÌóÇÆöÒñ Èóíúäó ÇáúãõÓúáöãöíúäó ÅöáÇøó ÕõáúÍðÇ ÍóÑøóãó ÍóáÇóáÇð Ãóæú 
ÃóÍóáøó ÍóÑóÇãðÇ æóÇáúãõÓúáöãõæúäó Úóáóì ÔõõÑõæúØöåöãú ÅöáÇøó ÔóÑúØðÇ ÍóÑøóãó 
ÍóáÇóáÇð Ãóæú ÃóÍóáøó ÍóÑóÇãðÇ

Lafadz ini dibawakan juga oleh Thabrani dalam al Kabîr no. 30, Ibnu 'Adiy no. 
2081, Dâruquthni 3/27, al Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa kalimat yang 
akhir. Hadits ini dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Râfi' 
bin Khadîj Rahiyallahu anhum. Dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya, 
maka hadits diatas itu tsâbit atau sah.
***** This message may contain confidential and/or privileged information. If 
you are not the addressee or authorized to receive this for the addressee, you 
must not use, copy, disclose or take any action based on this message or any 
information herein. If you have received this communication in error, please 
notify us immediately by responding to this email and then delete it from your 
system. PT Pertamina (Persero) is neither liable for the proper and complete 
transmission of the information contained in this communication nor for any 
delay in its receipt. *****


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
 Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar 
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    daarut-tauhiid-dig...@yahoogroups.com 
    daarut-tauhiid-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    daarut-tauhiid-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke