Prinsip Dasar Membangun Keluarga Sakinah
 
M. Agus Syafii
 
Prinsip-prinsip dasar Perkawinan untuk membangun keluarga sakinah adalah 
sebagai berikut: Pertama,  Dalam memilih calon suami/isteri, faktor 
agama/akhlak calon harus menjadi pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa 
dan harta, sebagaimana di­ajarkan oleh Rasul. 'Wanita (Laki2) itu dinikahi 
karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya, kecantikannya (ketampanannya) 
dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung. (H.R. 
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) .Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena 
darah (kualitas manusia) itu menurun. (H.R. Ibnu Majah).
 
Kedua, Bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah Rasul bagi 
yang sudah mampu. Dalam kehidup­an berumah tangga terkandung banyak sekali 
keuta­maan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai 
suami/isteri, sebagai ayah/ibu. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan 
berpuasa, tetapi jika dorongan nikah sudah tidak terkendali pada­hal ekonomi 
belum siap, sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh 
agar ia menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki 
semangat menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib).
 
Nabi bersabda, 'Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu 
untuk menikah nikahlah, karena nikah itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) 
dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang belum 
siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan 
nafsu). (H.R. Bukhari Muslim) 'Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian 
diantara kamu, dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu 
yang laki dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan memampukan mereka 
dengan karunia Nya. Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 
al Nur : 32)
 
Ketiga. Bahwa tingkatan ekonomi keluarga itu berhubungan dengan kesungguhan 
berusaha, kemampuan mengelola (managemen) dan berkah dari Allah. Ada keluarga 
yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan anak-anaknya bisa sekolah 
sampai ke jenjang ting­gi, sementara ada keluarga yang serba berkecukupan 
materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga dan pendidikan anak 
terbengkalai. Berkah artinya terkum­pulnya kebaikan ilahiyyah pada 
sese­orang/ke­luarga/masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam. Secara 
sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Allah secara optimal. Berkah 
dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan. Firman 
Allah,  ekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan ber­taqwa, niscaya Kami 
akanmelimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka 
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami akan sisksa mereka disebabkan oleh 
perbuatan mereka. (QS. al A'raf : 96)
 Allah menyayangi orang yang bekerja secara halal, membelanjakan hasilnya 
secara sederhana, dan mengutamakan sisa (tabungan) untuk kekurangan dan 
kebutuhannya (di waktu mendatang). (H.R. Ibn. Najjar dari Aisyah).
 
Keempat, Suami isteri itu bagaikan pakaian dan pemakainya. Antara keduanya 
harus ada kesesuaian ukuran, kese­suaian mode, asesoris dan pemeliharaan 
kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing suami dan isteri ha­rus bisa 
menjalankan fungsinya sebagai (a) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari 
pandangan orang lain, (b) pelindung dari panas dinginnya kehidupan, dan (c) 
kebanggan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian 
mungkin bisa diper­kecil, dilonggarkan, ditambah asesoris dan sebagainya, 
Mengatasi perbedaan selera, kecenderungan dan hidup antara suami isteri, 
diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya: Apa 
yang dapat saya berikan, bukan apa yang saya mau. 'Mereka (isteri-isterimu) 
adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka. 
(Surat al Baqarah 187) artinya: Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik 
terhadap isterinya, dan aku (Nabi) adalah orang yang paling baik
 terhadap isteri. (H.R. Turmuzi dari Aisyah)
 
Kelima, Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) merupakan sendi dan 
perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah sesuatu yang suci, 
anuge­rah Allah dan sering tidak rasional. Cinta dipenuhi nuansa memaklumi dan 
memaafkan. Kesabaran, ke­setiaan, pengertian, pemberian dan pengorbanan akan 
mendatangkan/menyuburkan cinta, sementara penyelewengan, egoisme, kikir dan 
kekasaran akan menghilangkan rasa cinta. Hukama berkata: Tanda-tanda cinta 
sejati ialah (1) engkau lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) 
dibanding berbicara dengan orang lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan 
dengan dia dibanding dengan orang lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti 
kemauan dia dibanding kemauan orang lain/diri sendiri). 'Sekiranya engkau 
(Nabi) kasar dan keras hati ( kepada sahabat-sahabatnya), niscaya mereka lari 
dari sisimu. (QS. ali Imran : 159) Tidak bisa memuliakan wanita kecuali lelaki 
yang mulia, dan tidak sanggup menghinakan wanita
 kecuali lelaki yang tercela. (Hadis)
 
Keenam,. Bahwa salah satu fungsi perkawinan adalah untuk me­nyalurkan hasrat 
seksual secara sehat, benar dan halal. Hubungan suami isteri (persetubuhan) 
merupakan hak azazi, kewajiban dan kebutuhan bagi kedua belah pihak. 
Persetubuhan yang memenuhi tiga syarat (sehat, benar dan halal) itulah yang 
berkualitas, dan dapat menda­tangkan ketenteraman (sakinah). Oleh karena itu, 
masing-masing suami isteri harus menyadari bahwa hal itu bukan hanya hak bagi 
dirinya, tetapi juga hak bagi yang lain dan kewajiban bagi dirinya. Dalam 
Islam, hubungan seksual yang benar dan halal adalah ibadah. 
 
'Dan diantara tanda-tanda kekuasan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri2 
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan 
Dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian 
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. ar Rum : 21) 
Nabi bersabda, Persetubuhanmu dengan isterimu itu mem­peroleh pahala. Para 
sahabat bertanya; Apakah orang yang menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Nabi 
menjawab : Tidakkah kalian tahu bahwa jika ia menyalurkan hasratnya di tempat 
yang haram, maka ia berdosa? Nah, demikian pula jika menyalurkan hasratnya 
kepada isterinya yang halal, maka ia memperoleh pahala. (H.R. Muslim)
 
Wassalam,
M. Agus Syafii
--
Yuk, hadir di kegiatan 'Salam Amalia (SALMA)' jam 8 s.d 11 siang, Ahad, 26 Juni 
2011,  Bila  berkenan berpartisipasi buku2, Majalah, buku Pelajaran, peralatan 
sekolah, baju layak pakai. Kirimkan ke Rumah Amalia.  Jl. Subagyo IV blok ii, 
no. 24 Komplek Peruri, Ciledug. Tangerang 15151. Dukungan & partisipasi anda 
sangat berarti bagi kami. Info: agussya...@yahoo.com atau SMS 087 8777 12 431, 
http://agussyafii.blogspot.com/

Kirim email ke