nah kalo udah di planing lain lagi ceritanya, itulah bedanya di ostrali dengan 
di sini biasanya disini keputusannya grabak-grubuk, jadi sebentar2 di 
revisi....Indonesia kan berencana membalik SMA dan SMK biat SMK nya 70% dan SMA 
nya 30% supaya menhasilkan tenaga siap pakai.... tapi problem baru muncul... 
guru SMK dari mana??


  ----- Original Message ----- 
  From: saidphysics 
  To: fisika_indonesia@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, September 25, 2008 6:50 AM
  Subject: [FISIKA] Re: Prof. Tjia May On MALU


  Betul sekali Oom!

  Itu karena kebutuhan akan lulusan TAFE memang besar sekarang .. nanti
  kalau udah terpenuhi juga bakalan dibatasi. Pembatasannya terlihat
  dari menjadi kecilnya subsidi pemerintah terhadap keuangan TAFE dan
  juga dari point imigrasi yang mengecil bagi orang asing lulusan TAFE
  yang mau melamar jadi permanent resident .. Itu udah dihitung Oom sama
  pembuat kebijakan.

  Ini juga bukan masalah budaya masuk uni .. di Indonesia memang banyak
  orang berlomba-lomba masuk uni bahkan s1 aja gak cukup untuk survive
  di kota besar .. tapi mana hasilnya konkretnya? Budaya kayak gitu gak
  sehat karena efesiensinya rendah .. bahkan konyol .. 

  Masak untuk jadi front-desk di hotel aja harus lulusan D-3? Masak cuma
  jadi tukang ngelas pipa bawah laut di perusahaan minyak harus lulusan
  s1 ITB, apa gak memalukan?

  Lalu kemana pelajaran seabrek-abrek yang dipelajari waktu kuliah,
  kalau cuma soft-skill aja yang kepake waktu kerja?

  Kalau saya lihat pandangan dibawah ini adalah pandangan yang
  apologetik dan tetap berusaha bilang "bangsa gue is the best, meski
  miskin tapi terpelajar lihat noh tiap tahun nyabet medali emas
  olimpiade fisika .. he.. he.." 

  Rakyat gak kenyang Oom dikasi medali emas!

  No flame intended, Cheers!

  --- In fisika_indonesia@yahoogroups.com, "Hantarto" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  >
  > Gaji sopir bus sama dengan gaji post-doc fellow inilah yg menjadi
  masalah di
  > Aussie. Kalau saya bisa kursus nyopir bus beberapa bulan, bisa dapet
  uangnya
  > sama gedenya dengan kalau saya harus bersusah payah studi sampai tingkat
  > doktor, kenapa saya harus sekolah sampe doktor? Hal ini menyebabkan
  > pendidikan tinggi di Aussie juga mengalami masalah. Orang lebih banyak
  > berbondong2 sekolah TAFE (semacam D3) utk menjadi tukang ledeng, montir
  > mobil, koki, tukang potong rambut, daripada susah2 kuliah di
  universitas.
  > Toh dapet uangnya sama, bisa sama2 liburan ke Bali/Eropa.
  > Gaji buruh kasar (blue collar) setahun bisa $30,000-$50,000 (setelah
  pajak),
  > sedangkan beasiswa PhD setahun paling2 $20,000 (bebas pajak). Ya
  tentu saja
  > banyak orang yg memilih kerja kasar yg tidak perlu repot2 mikir.
  Sehingga
  > budaya utk sekolah di universitas di Aussie mungkin kalah
  dibandingkan di
  > Indonesia. Ini opini saya saja lho.
  > 
  > ----- Original Message ----- 
  > From: saidphysics
  > To: fisika_indonesia@yahoogroups.com
  > Sent: Wednesday, September 24, 2008 2:24 PM
  > Subject: [FISIKA] Re: Prof. Tjia May On MALU
  > 
  > 
  > "Anda lempar pisang, ya dapat monyet, gak akan dapat macan"
  > 
  > Itulah pribahasa yang tepat untuk menggambarkan kelangkaan fisikawan
  > berkualitas di Indonesia.
  > 
  > Adalah alasan sangat bodoh bahwa berkutat di bidang fisika, menjadi
  > akademisi atau peneliti adalah PELAYANAN. Kalau pendeta atau ustadz
  > mungkin iya.
  > 
  > Tapi akademisi dan peneliti baik di bidang Fisika atau apapun adalah
  > professional .. yang perlu mendapatkan remuneration sepantasnya dengan
  > apa yang telah dia berikan.
  > 
  > Masalahnya, di Indonesia:
  > 
  > Cara pandang masyarakat Indonesia (disinyalir) kepada fisikawan masih
  > dianggap keramat, masih dianggap sebagai mahaguru dari langit,
  > dianggap diatas pendeta atau ustadz yang diwajibkan untuk melayani
  > ummatnya :-) Yang kata-katanya di pegang seperti sebuah ideologi,
  > sehingga terkadang ekspektasinya begitu besar.
  > 
  > Padahal fisikawan hanyalah satu dari sekian profesi. Tak udahnya
  > seperti supir bus, penggunting rambut, atau koki.
  > 
  > Setidaknya di tempat saya tinggal sekarang di Sydney (entah di
  > kota-kota lain di Aussie), gaji sepupu saya yang supir bus hampir sama
  > saja dengan gaji seorang post-doc fellow .. sama-sama bisa kredit
  > mobil Commodore terbaru, sama-sama bisa ngontrak rumah AUD 350
  > perminggu .. karena seorang post-doc fellow tidak lebih penting
  > ketimbang supir bus.
  > 
  > Kalau level professor mungkin lah lebih penting ketimbang supir bus
  > biasa, tapi gajinya gak lebih besar dibandingkan level manager di
  > Commonwealth Bank .. sama-sama bisa kredit rumah type townhouse di
  Sydney.
  > 
  > Itu semua karena Aussie punya sistem yang baik tentang berapa banyak
  > sebuah profesi di butuhkan untuk sampai pada keseimbangan pola hidup
  > dimana tidak ada yang susah sehingga semua orang makmur (namanya juga
  > Commonwealth)
  > 
  > Berapa kita perlu supir bus?
  > Berapa kita perlu professor fisika?
  > Berapa kita perlu lulusan fisika?
  > Berapa kita perlu tukang donat?
  > 
  > Kalau semua terhitung sesuai kebutuhan, maka sistem penggajian-nya pun
  > dengan mudah bisa di kalkulasi dan pantas.
  > 
  > Pantas lah supir bus di gaji 30 dolar sejam, kan dia capek dan perlu
  > konsentrasi selama jam-jam dia nyetir .. kalau nggak bisa celaka.
  > 
  > Pantas lah seorang PhD student digaji AUD 1500 perbulan (lebih rendah
  > di banding supir bus dalam hitungan jam), kan dia bisa kerja kapan
  > saja gak terpaku waktu .. asal lulus tepat waktu dan publish paper
  > sesuai harapan professornya. Di samping itu PhD student masih punya
  > waktu luang cari duit dari tutorial (nah kalau ini lumayan 35 dolar
  > sejam he..he..)
  > 
  > Di Indonesia ...
  > 
  > Kayaknya kita gak punya nih kalkulasi ini ..
  > 
  > Berapa sih orang-orang teori murni yang melangit seperti Pak Agus Pur
  > yang diperlukan di Indonesia?
  > 
  > Berapa orang applied math atau math phys diperlukan seperti Mas Hadi
  > Susanto?
  > 
  > Berapa sih theoretical applied physicist di photonic seperti Pak Husin?
  > 
  > Atau berapa jumlah kita perlu experimentalist di High Energy Physics
  > seperti Mas Haryo ..
  > 
  > Atau berapa yang seperti saya? (atau memang Indonesia gak perlu saya
  > he..he..)
  > 
  > Harusnya pertanyaan ini dijawab oleh kaum birokrat yang harusnya
  > mengurusi kehidupan sosial kita.
  > 
  > Kalau kebanyakan fisikawan juga aneh.
  > Kalau kebanyakn tukang donat juga lucu.
  > 
  > Karena negara tidak hanya kenyang dengan Donat
  > dan pasti lapar kalau APBN hanya sekedar di habiskan buat bikin
  > eksperimen High Energy Physics.
  > 
  > Cheers!
  > 
  > PS: Tetaplah menjadi fisikawan yang professional!
  >



   

Kirim email ke