Kesurupan Massal Orang Indonesia
Oleh: Dominggus Elcid Li

Membaca fenomena masyarakat Indonesia di internet selain menyisakan banyak 
pertayaan memang menggelisahkan. Manusia Indonesia memang sedang berubah, 
karakter lama seperti santun, pengertian, ramah tamah, dll pada akhirnya 
sekedar romantisme usang.

Di situs-situs ngobrol santai berbagai komentar terlempar keluar seolah tiada 
beban. Dalam bahasa yang vulgar dengan nada bercanda para penulis tanpa rasa 
mengungkapkan apa saja yang ada dalam ruang sensasi. Nama-nama di situs ngobrol 
hanya segelintir kode yang cuma punya arti bagi si pemiliknya. Dalam ruang 
semacam ini mengomentari tubuh perempuan seolah tanpa beban. Para pelaku juga 
amat bangga meneruskan alamat situs yang mengumbar libido. Jika berhasil 
menyebarkan, dan menjadi yang pertama mengomentari penulisnya seolah 
mendapatkan kenikmatan tersendiri. Ekstasi!

Tetapi itu bukan monopoli orang-orang insomnia yang gemar bergentayangan di 
internet, situs-situs resmi semacam Kompas.Com dan Tribun.Com, maupun Detik.Com 
dengan bangga mencantumkan asal muasal mana letak link semacam itu. Beritanya 
pun akan selalu dilanjutkan, berseri, dan membuat orang lain seolah tak 
memiliki harga.

Analisis Negri dan Hardt (2000) tentang fase lanjutan kapitalisme melalui 
industri informasi memang sedang terjadi di Indonesia. Hidup telah menjadi 
komoditas. Tak peduli bahwa yang ditulis dan diberitakan itu manusia, sejauh 
untuk naikan peringkat, anda bukan lah siapa-siapa yang berhak melarang. Entah 
untuk apa juga tidak begitu penting, yang penting bebas.

Para tokoh utama media massa yang umumnya berkomunikasi menggunakan twitter pun 
tak cukup kritis mengeluarkan pernyataan. Komentarnya pun tak lebih dari 
sekedar `orang numpang pipis'. Mengeluarkan satu kalimat tanpa berusaha 
mendalami apa yang sedang terjadi. Komentar itu bebas, sayangnya jarang yang 
bernas.

Di era jaringan memang siapa pun bisa menjadi komunikator, dan siapa pun bisa 
berkomentar, entah apa isinya. Era pers yang dikontrol memang cuma bisa 
dilakukan di koran-koran saja. Sedangkan untuk situs-situs berita, Kompas.Com 
dengan jaringan medianya di seluruh Indonesia termasuk salah satu yang 
mengimpor berita dari Sun, yang di Inggris dikenal sebagai yellow paper, dengan 
halaman 3-nya yang menyajikan tubuh perempuan sebagai komoditas. Berita gosip 
diterjemahkan begitu saja, tanpa ada kontrol. Libido para pegiat media dot.com 
ini memang sudah tak lagi kenal sopan santun. Asalkan situs mereka rating-nya 
naik, tidak peduli foto/film telanjang siapa yang harus dipasang di halaman 
situs.

Orang-orang itu juga manusia, punya bapak, ibu, kakak, adik, dan keluarga. 
Tetapi di dunia internet relasi kekerabatan semacam ini dicabut begitu saja. 
Dada, paha, kelamin, itu milik seorang manusia, dan tidak pernah berdiri 
sendiri. Dalam rangka mengejar real time, manusia Indonesia kembali pada naluri 
purba.

Peduli setan kalau ada orang lain yang malu, itu tak penting yang penting kita 
puas menulis berita, dan banyak diklik. Wajah tersenyum sambil terkekeh dibalik 
monitor merupakan wajah biasa para pekerja media tanpa hati ini. Apa benar 
kalian orang Indonesia yang katanya punya sopan santun dan tata krama?

Soal siapa yang sedang melakukan apa itu tak penting. Tetapi kita sebagai 
masyarakat kolektif yang memperbincangkan itu tanpa ada rasa malu, itu 
keterlaluan. Kita bukan lagi manusia saat mempertontonkan orang lain di depan 
umum. Rasa malu kolektif ini sungguh tidak disadari sehingga Kompas.Com sebagai 
media yang awal mulanya berasala dari media berita sebuah paroki tanpa tahu 
malu memasang berita dan foto wajah orang.

Bayangkan jika itu anak dari Jakob Oetama, atau cucu PK.Ojong yang kebetulan 
tersebar apakah Kompas juga akan melakukan hal semacam itu?

Hipokrisi para pekerja media ini memang keterlaluan. Hanya tahu cari makan 
tanpa peduli harga diri. Amat hina.

Jika saya pemimpin redaksi Kompas, maka tidak ada lain saya mengundurkan diri. 
Sebab rasa malu sebagai manusia sudah tidak lagi dihargai, dan tidak dimiliki. 
Minimal pengelola situs semacam ini harus minta maaf kepada publik. Para 
pekerja media sudah tak lagi punya batas.

Sebagai manusia, saya meminta supaya foto-foto anak manusia itu diturunkan. 
Sebab apa yang dibikin Kompas.Com tak lebih dari kesurupan massal.

Di ruang pribadi anda silahkan bikin apa saja, tapi pekerja media itu bukan 
cuma mengurus libido sendiri, anda mewakili publik. Apa yang dimaksud dengan 
publik tentu sudah dimengerti oleh para orang terpelajar di Kompas yang tak 
kurang banyaknya. Apa yang dimaksud dengan rasa malu tentu juga bukan hal yang 
tidak dimengerti oleh para pengguna internet yang terdidik. Dengan segala 
kemampuan dan kecanggihan teknologi, orang terasing dari hidup.

Kekosongan manusia moderen begitu terasa hingga selalu naluri yang dibuka, 
libido yang dipajang, sebab sisi yang lain terlalu jauh untuk dirasakan dengan 
sederhana.

Tapi, menjadi moderen memang artinya benar-benar menjadi binatang. Tak heran 
kalau image cuma dianggap secuil barang yang siap ditampilkan. Tanpa pernah 
berpikir ulang bahwa gambar yang dilihat adalah tubuh dari manusia.

Tulisan ini cuma memperingati Hari Kesurupan Massal di Indonesia. Selamat 
menonton, bayangkan jika gambar itu adalah adik perempuan anda, atau anda 
sendiri. Ditonton beramai-ramai, dipasang di halaman depan situs nasional. Apa 
ini bukan lah tanda kegilaan kolektif?

Dominggus Elcid Li, mahasiswa PhD di Departemen Sosiolgi Unv. of Birmingham

Kirim email ke