Dalam visibilitas hilaal, ada sejumlah elemen Bulan
yang bisa digunakan, seperti tinggi Bulan (h), selisih
tinggi dengan Matahari (aD), selisih azimuth dengan
Matahari (DAz), elongasi (aL), umur Bulan sejak
konjungsi, fase, Lag (yakni selisih waktu antara
terbenamnya Bulan terhadap terbenamnya Matahari),
magnitude visual (mvis) dan lebar sabit (W).

Elemen2 tersebut sebenarnya tidak berdiri sendiri2 dan
saling bebas, melainkan saling terkait. Sebut saja
misalnya selisih tinggi, selisih azimuth dan elongasi.
Untuk hilaal, ketiga elemen ini membentuk segitiga
siku2 imajiner dengan sisi rebah = DAz, sisi tegak =
aD dan sisi miring = elongasi. Sehingga disini bisa
diberlakukan persamaan Phytagoras. Sementara fase
Bulan, umur Bulan lebar sabit dan magnitude visual
Bulan merupakan fungsi dari elongasi Bulan. Dan Lag
bergantung kepada selisih tinggi dan posisi lintang
pengamatan. 

Jika Prof Said D Jenie menggunakan parameter 

- fase = 1,5 % 
- tinggi (h) = 2 derajat 
- umur Bulan > 7 jam 

sebagai usulan batas visibilitas terbaru (di
Indonesia), parameter ini bisa dicek satu persatu
apakah memang sesuai dengan teori gerak Bulan yang
dipakai saat ini (saya menggunakan algoritma Chapront
ELP 2000/82 yang merupakan varian dari algoritma Jean
Meeus 1991). 

Mari kita lihat dari fase. Rumusnya, f = 0,5 (1 - cos
aL). Dengan fase minimum = 1,5 % = 0,015 kita
mendapatkan nilai elongasi minimum Bulan = 14 derajat.
Secara rata-rata Bulan bergerak menjauhi Matahari
dengan kecepatan 0,5 derajat/jam. Maka jarak sudut
(elongasi) minimum sebesar 14 derajat itu secara
rata-rata ditempuh selama 14/0,5 = 28 jam setelah
konjungsi. Dari sini nampak jelas bahwa penggunaan
parameter umur Bulan > 7 jam ternyata tidak sinkron
dengan hasil hitungan tadi, dimana seharusnya
digunakan umur Bulan > 28 jam. 

Bagaimana dengan tingginya? Harus dibedakan antara
tinggi Bulan (h) yang dihitung dari horizon sejati
dengan selisih tinggi (aD), dimana aD = h + s dengan s
= tinggi Matahari terhadap horizon sejati (berharga
negatif, karena sudah terbenam). Dengan segitiga
Phytagoras, aD terkait dengan elongasi dan selisih
Azimuth. Untuk Bulan yang baru saja meninggalkan
konjungsi-nya, nilai DAz berkisar dari 0 - 5 derajat.
Sementara jika umur Bulan > 24 jam, nilai ekstrim DAz
bisa mencapai 10 derajat. 

Mari gunakan nilai2 DAz ini. Untuk DAz 0 - 10 derajat,
rentang nilai aD 9,8 - 14 derajat. Antara aD dan Lag
terdapat hubungan yang sedikit ruwet, dimana aD = aS
cos (lambda) dan Lag (dalam menit) = as*4. Lambda
disini adalah lintang lokasi pengamatan. Untuk
Indonesia, nilai lambda boileh dikata mendekati nol
derajat (apalagi dilintasi garis khatulistiwa)
sehingga cos(lambda)--> 1. Maka jika parameter pak
Said D Jenie diterapkan di Indonesia, kita menjumpai
nilai Lag dalam rentang 39 - 56 menit. 

Sehingga, parameter Prof Said D Jenie ini dalam bentuk
lain bisa dituliskan sebagai :
- umur Bulan > 28 jam
- Lag > 39 menit

Ini sebenarnya bukan "tawaran" baru untuk soal
kriteria visibilitas hilaal, sebab bentuk lain
tersebut ternyata sangat mirip dengan apa yang
dinamakan Kriteria Babilon, yang "ditemukan" ahli2
perbintangan Kerajaan Babilonia Baru pada 2.700 tahun
silam guna kepentingan konstruksi kalender mereka.
Dalam kriteria Babilon, umur Bulan > 24 jam sementara
Lag > 48 menit. Karena wilayah Babilonia Baru terletak
di sekitar garis lintang 30deg LU, koreksinya untuk
daerah tropik seperti Indonesia menghasilkan Lag > 41
menit, sangat dekat dengan nilai yang "ditawarkan" pak
Said D. Jenie. 

Parameter Prof Said D. Jenie ini konsisten dengan
hasil pengamatan kami di Rukyatul Hilal Indonesia
(RHI) dan Jogja Astro Club (JAC) mengenai sifat2 Bulan
sabit muda/hilaal sepanjang 2007 ini. Namun dengan
catatan hanya untuk pengamatan berbasis mata
telanjang. 

Jika kita menggunakan teleskop/binokuler, parameter
dari pak Said D. Jenie ini tidak bisa lagi digunakan
dan harus dikoreksi, seperti yang dilakukan Mohammad
Odeh (2004). Koreksi ini menghasilkan fakta : jika
pengamat berada di ketinggian > 3.000 m dpl,
menggunakan teleskop, maka elongasi minimum Bulan agar
hilaal bisa terlihat akan turun drastis menjadi 6,4
derajat. Pada nilai elongasi ini, umur Bulan
(rata-rata) adalah 12,8 jam. 

Sehingga didapat satu kesimpulan sederhana. Jika semua
peneliti hilaal kontemporer sejak masa Andre Danjon
(1932, saat itu Direktur Observatorium Strassbourg
Perancis) hingga Prof. Abdulhaq Sultan (2003, kini
pengajar optika di Universitas Yaman) dan Mohammad
Odeh (2004, kini aktif di Arab Union for Astronomy and
Space Sciences) bisa dipercaya, dengan teknologi masa
kini pun kita takkan bisa melihat hilaal jika umur
Bulan baru < 12 jam. 

salam


Ma'rufin


       
____________________________________________________________________________________
Building a website is a piece of cake. Yahoo! Small Business gives you all the 
tools to get online.
http://smallbusiness.yahoo.com/webhosting 

Kirim email ke