Maraknya peristiwa kriminal yang dilakukan dengan keji, seperti
mutilasi, sejauh ini belum diikuti penelitian mendalam terhadap
karakter para pelakunya. Padahal, penelitian tersebut sangat penting
untuk pendataan serta pemetaan karakter pelaku kriminal. Data hasil
penelitian pada akhirnya juga dapat bermanfaat sebagai rujukan atau
tinjauan bagi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kriminal
lainnya pada masa mendatang.

Demikian salah satu materi yang mengemuka dalam Dialog Psikologi
Nusantara "The 1st National Discussion on Indigenous Psychology:
Mutilation Case-Indonesian Perspective" yang digelar Universitas Bina
Nusantara, Rabu (3/12). Narasumber yang hadir adalah guru besar
psikologi Universitas Gadjah Mada Djamaluddin Ancok, guru besar
psikologi Universitas Indonesia Prof Enoch Markum, guru besar
psikologi Universitas Gadjah Mada Johana E Prawitasari, Komisaris
Helmy Santika dari Direktorat Reserse Kriminal Polda Metropolitan
Jaya, ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Munim Idris,
dan dosen Fakultas Psikologi Binus University Reza Indragiri Amriel.

"Data itu untuk mengetahui karakteristik pelaku sehingga mempercepat
kerja penegak hukum," kata Enoch.

Helmy Santika mengatakan, selama ini hal tersulit dalam mengungkap
kasus mutilasi adalah saat polisi harus mengungkap identitas korban.
Selain belum didukung data berbasis penelitian psikologi terhadap para
pelaku kriminal, data-data utama sama sekali tidak pernah dimiliki
polisi. Basis data utama tersebut, yaitu single identity number (SIN),
yang menyimpan data DNA setiap orang, sidik jari, dan dental record
(data mengenai gigi).

"Data-data itu akan sangat membantu penyidik dalam mengungkap
identitas setiap korban kejahatan," kata Helmy.

Dalam kondisi saat ini, polisi masih harus mengungkap kasus mutilasi
secara manual, yang membutuhkan waktu cukup lama. Polisi juga
bergantung pada media massa untuk memublikasi korban dalam rangka
mengungkap identitas si korban.

Enoch Markum mencoba meninjau gejala kriminalitas pembunuhan disertai
mutilasi dengan menggunakan model teori The Integrated Cognitive
Antisocial Potential (ICAP) yang dikemukakan David P Farrington. Dalam
teori itu, perilaku kriminal seseorang dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu long-term antisocial (antisosial yang terbentuk lama) dan
short-term antisocial (dipengaruhi motivasi dan situasi).

Dalam kasus pembunuhan berantai oleh Ryan, misalnya, faktor latar
belakang keluarganya yang tak harmonis, kebingungannya mencari
identitas diri sebagai homoseksual, dan penolakan dari lingkungannya
telah membentuk perlahan gejala antisosial (long-term) pada dirinya.

Hal itu lalu diperkuat lagi oleh faktor short-term antisocial, yaitu
rasa marah terhadap orang-orang yang mengecewakannya dan dorongan
ingin mapan secara material namun tak punya penghasilan. "Dorongan
economics of wants (konsumtif) bukan economics of needs (kebutuhan
ekonomi dasar)," kata Enoch.

Enoch menambahkan, media massa bisa memberi pengaruh atau inspirasi
sebagai model pembelajaran bagi pelaku kriminal. Sebab, dalam tahap
kognitif (berpikir dan mengambil keputusan), pelaku kriminal cenderung
bertindak "rasional". Tindakan rasional itu bisa diperolehnya dari
pembelajaran. Tahap kognitif ini merupakan faktor short-term
antisocial dalam model ICAP.

"Pembelajaran itu bisa sekadar observasi pasif seperti menonton
televisi. Mutilasi itu dilakukan sebagai pilihan rasional ketika
seorang pembunuh sangat ingin menghilangkan identitas korban demi
menghilangkan jejaknya," kata Enoch Markum. (SF)

 

 

 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/04/0114243/perlu.ada.pemetaan.karakter.pelaku.kriminal

Kirim email ke