Dear mbak septi,

Saya juga masih dalam proses pembelajaran dalam menyampaikan sesuatu, karena 
itu tolong dimaafkan kalau terkadang menggunakan bahasa yang rada emosional.

Tapi inti yang ingin saya sampaikan adalah:

1. Melarang siswi ybs ikut UN justru sangat kontraproduktif bagi dirinya. Hal 
itu justru berpotensi umtuk semakin menjerumuskan ybs ke jurang 'amoralitas'.

2. Sangat tidak fair menimpakan aib amoralitas pada siswi ybs semata dengan 
membiarkan si pasangan bebas begitu saja.

3. Pihak sekolah seharusnya malu mengangkat isu amoralitas sebagai alasan 
pembenar saat menyebut bahwa tujuan pendidikan salah satunya adalah 
meningkatkan moral. Dengan hamilnya si siswi, sekolah tersebut berarti gagal 
total atau tidak becus dalam perannya sebagai institusi pendidikan dan moral.

4. UN adalah sarana untuk mengukur nilai akademis (paling tidak, poin itulah 
yang melandasi UN), bukan untuk mengukur tingkat moralitas. Karena itu, jangan 
dicampuradukkan antara soal UN dengan moral. Ekstrimnya, seorang pelacurpun 
harus diberi kesempatan ikut UN atau ujian apapun yang bersifat akademis 
sepanjang syarat akademisnya terpenuhi.

Wassalam,
Imam



________________
Subject:        Re: [Jurnal Perempuan] balasan--Hamil, Siswa Tak Boleh Ikut 
Ujian
Author: Gumiandari Septi <gumiand...@yahoo.co.id>
Date:           23rd April 2009 03:10

Dear Mas Imam.

Sekedar Berbagi Pengalaman. Saya juga dulu punya perspektif miring tentang 
amoralitas yang hanya ditimpakan pada kebertubuhan perempuan semata. 
Sensitifitas saya terhadap realitas keperempuanan baru terasah ketika saya 
mengikuti berbagai kajian di Fahmina Institut. Karenanya, menurut saya, apa 
yang dipahami oleh Risma adalah sebuah proses pembelajaran pula, sehingga tidak 
harus didjugde dengan frontal, maaf sebelumnya..., apalagi dengan menggunakan 
bahasa yang meminggirkan proses belajarnya itu. Bukankah mailist ini merupakan 
media pencerahan bagi semua pihak (bukan hanya bagi yang telah punya 
sensitifitas gender, tapi juga bagi orang yang belum mengerti seperti Risma dan 
banyak yang lain). Terus terang, saya khawatir, hanya karena cara penyampaian 
pesan kita, mereka yang pada awalnya tidak mengerti kemudian merespon secara 
kritis untuk banyak belajar, malah akan menjadi rival perjuangan kita dan itu 
tentu saja menjadi kontra produktif pada internalisasi
 nilai-nilai keberpihakan kepada kaum yang tertindas dan termarginalisasi oleh 
sistem. 
Warm regards,
Septi Gumiandari.

Kirim email ke