Saya pikir, di negara demokrasi, hak demokratis itu tidak semata-mata dalam 
pemilihan umum. Kitapun boleh saja terbuka memberi nilai pada sebuah pidato. 
Lebih-lebih jika penilaian kita tidak diikat oleh ikatan kepartaian, ikatan 
agama atau ikatan apapun.

Nah selama ini pidato mengenai teroris sangat formal, dan nyaris tanpa emosi. 
Pidato SBY sekali ini betul-betul membuat orang-orang kecil terpaku, dan lebih 
jauh sangat mungkin membuat rakyat kecil yakin bahwa memang saatnya kita 
merubah cara pandang kita terhadap teror. Kita perlu menjauhinya.

Nah, silahkan rekan-rekan intektual bertanya pada kelas bawah, apa kesan mereka 
terhadap pidato SBY itu.

Bagi orang Indonesia yang pernah berada di luar negeri dalam waktu lama, urusan 
teroris selalu membuat perasaan kisruh. Rekan-rekan dari Malaysia, tidak 
mengalami perasaan itu.

Jika anda di luar negeri, entah anda itu Muslim atau Kristen, asal anda orang 
Indonesia,tatkala terjadi pemboman hotel, akan selalu mengalami perasaan 
sebagai pihak tertuduh. Kesan itu intinya ialah mereka menilai kita ini semacam 
bangsa primitif. Bahkan dengan mudah kita rasakan selalu mereka bandingkan 
dengan Malaysia atau Singapura yang tidak mengalami hal seperti yang kita alami.

Jadi, jika Bung Mula memberi nilai sembilan, pastilah Bung Mula punya alasan. 
Bagi Bung Mula saya pikir tidak penting-penting bangat memuji-muji SBY.






--- On Mon, 7/20/09, hendr...@gmail.com <hendr...@gmail.com> wrote:

> From: hendr...@gmail.com <hendr...@gmail.com>
> Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Saya Memberi Nilai Sembilan Terhadap 
> Pernyataan Presiden SBY
> To: "FPK" <Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com>
> Date: Monday, July 20, 2009, 5:16 PM
> Kalau saya kasih nilai 4,5... Boleh
> kan?! :D
>
> sol
>
> Powered by Telkomsel BlackBerry®
>
> -----Original Message-----
> From: mulahara...@yahoo.com
>
> Date: Sun, 19 Jul 2009 22:18:00
> To: <forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com>
> Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Saya Memberi Nilai Sembilan
> Terhadap Pernyataan Presiden SBY
>
>
>
> Kalau Presiden SBY, yang selama ini terkenal santun dan
> sangat berhati-hati dalam berbicara, sampai mengeluarkan
> kata-kata seperti dalam pernyataannya Jumat, 17 Juli 2009
> yang lalu, maka hal itu tentu sudah diperhitungkannya benar.
> Kita bahkan bisa melihat bahwa pernyataan itu diucapkan
> berdasarkan sebuah teks tertulis. Oleh karena itu pernyataan
> tersebut boleh dikatakan "hati-hati bin hati-hati" atau "he
> mean it".
>
> Saya tidak melihat bahwa ada yang berlebihan dalam
> pernyataan Presiden SBY. Bahkan menurut hemat saya memang
> begitulah seyogianya pernyataan seorang presiden di sebuah
> negara yang demokratis.
>
>
> 1. Secara Eksplisit Pernyataan Itu Tidak Mengait-ngaitkan
> Hasil Pemilu:
>
> Saya sudah melihat rekaman video pernyataan tersebut di
> youtube, dan melihat intonasi serta ekspresi wajah Presiden
> SBY. Saya juga sudah membaca transkripsi pernyataan
> itu--yang tersedia di banyak situs internet--dua atau tiga
> kali.
>
> Saya samasekali tidak melihat bahwa Presiden SBY
> nyata-nyata mengaitkan peristiwa pengeboman itu dengan
> pemilu, dan tidak juga melihat bahwa dia sedang menuduh
> sebuah kelompok yang kalah dalam pemilu sebagai otak
> pengeboman:
>
> Presiden SBY mengatakan bahwa banyak orang yang bertanya
> kepadanya apakah teror bom ini ada kaitannya dengan pemilu.
> Lalu dia mengatakan bahwa hal tersebut masih akan diusut.
> Kita tidak bisa asal menuduh tanpa pembuktian secara hukum.
>
> Tapi kata SBY lebih jauh, memang dia mendapat laporan
> intelijen bahwa ada
> sejumlah ucapan dan kegiatan melawan hukum yang akan
> dilakukan oleh fihak-fihak tertentu berkaitan dengan pemilu,
> yang ingin membawa negara ke dalam kekacauan. (Latihan
> menembak. Pendudukan kantor KPU. Membuat Indonesia menjadi
> seperti Iran, dsb).
>
> Apakah teror bom tersebut berkaitan dengan sejumlah ucapan
> dan kegiatan
> tersebut, itu masih akan diusut, kata Presiden SBY. Tapi
> seandainya pun ucapan dan tindakan yang hendak menggagalkan
> pemilu itu tidak berkaitan dengan teror bom, itu tetaplah
> harus dihentikan, karena negara ini adalah negara demokrasi
> dan negara hukum.
>
> Secara khusus Presiden SBY memang berbicara tentang
> "sebagian dari kita" yang di masa lalu terlibat dalam tindak
> kejahatan penculikan, pembunuhan dan pengeboman dan masih
> bebas berkeliaran. Tapi kata Presiden SBY, percayalah kali
> ini negara akan mengejar mereka dan tak akan membiarkan
> mereka lagi menjadi drakula-drakula yang menyengsarakan
> rakyat.
>
> Bahwa Presiden SBY tidak memfokuskan diri berbicara tentang
> teror bom dan korban, itu bisa saya mengerti. Dia adalah
> seorang presiden. Dia bukan dai, pendeta, psikolog atau
> terapist. Dia harus melihat persoalan dan berbicara dalam
> lingkup yang besar dan luas.
>
>
> 2. Setiap Peristiwa adalah Panggung untuk Melakukan
> Komunikasi Politik:
>
> Orang menyalahkan Presiden SBY karena memakai peristiwa
> pengeboman itu sebagai panggung politik dan mempolitisasinya
> bagi kepentingannya. Ini juga adalah suatu hal yang
> menggelikan dan mengherankan saya.
>
> Presiden itu adalah sebuah jabatan politik, dan karena itu
> setiap peristiwa adalah panggung baginya untuk menyampaikan
> komunikasi politiknya, kepada rakyatnya mau pun kepada
> lawan-lawan politiknya.
>
> Sebenarnya apa yang dilakukan oleh SBY itu juga dilakukan
> oleh para presiden atau perdana menteri negara lain. Bahkan
> oleh para presiden Indonesia sebelum dan sesudah reformasi.
>
> Mahatir Mohamad, Ahmadinejad, Sukarno, Suharto, Lee Kwan
> Yew, Margareth
> Thatcher, Indira Gandhi--you name it--semua melakukannya,
> yaitu memakai setiap peristiwa sebagai panggung politik
> untuk melemparkan isyu bagi kepentingan politiknya. Dan
> mereka memang harus melakukan itu, karena presiden atau
> perdana menteri adalah sebuah jabatan politik. Presiden atau
> perdana menteri bukanlah pendeta atau dai.
>
> Ahmadinejad, setiap kali selesai sholat Jumat di masjid
> Universitas Teheran, selalu berpidato menyerang
> musuh-musuhnya di dalam negeri (kaum reformis) dan di luar
> negeri (AS dan Zionisme Israel). Dia bukan memakai
> kesempatan itu untuk memberikan tausyiah atau siraman
> rohani.
>
> Dan seperti halnya SBY, dalam melakukan "aksi panggungnya"
> para presiden dan perdana menteri itu juga selalu
> mengandalkan "laporan intelijen" sebagai sumbernya.
>
> Mahatir Mohamad, apalagi. Entah meresmikan kebun kelapa
> sawit atau meluncurkan type mobil Proton yang baru, dia
> acapkali hanya berbicara 10% tentang perkebunan atau
> industri. Selebihnya dipakai untuk menyerang lawan-lawannya
> di partai oposisi atau pun di kubu Barisan Nasional.
>
> Sukarno sami mawon. Boleh jadi panggungnya adalah Kongres
> GMNI. Tapi alih-alih bicara tentang pemuda, dia berbicara
> tentang kapitalis birokrat (kapbir), antek-antek nekolim,
> atau musuh-musuh revolusi yang ada di Angkatan Darat.
>
> Suharto juga begitu. Di sebuah panggung HUT ABRI dia
> menyerang para lawannya (Petisi 50), mengidentikkan dirinya
> sebagai Pancasila, dan menuduh mereka yang mengkritiknya
> sebagai melawan Pancasila. Atau dalam sebuah perjalanan
> pulang dari KTT Non Blok di Beograd, dia "nyelonong"
> membicarakan beberapa elemen tentara yang dianggapnya
> melawannya, dan tiba-tiba berkata dengan sangat emosional,
> "Biar jenderal sekali pun akan saya gebuk......" Atau
> setelah berbicara tentang bagaimana caranya melakukan
> kawin-suntik sapi atau membuat makanan ternak di Tapos, di
> hadapan para Komandan Korem, dia berbicara tentang
> dwi-fungsi dan mengamankan pembangunan. 
>
> Gus Dur juga begitu. Di masa dia menjabat sebagai presiden,
> setiap hari Jumat pagi kita selalu bertanya-tanya: "Di
> masjid mana dia hari ini akan sholat? Dan siapa lagi yang
> ditembaknya kali ini?"
>
>
> 3. Adalah Wewenang Presiden untuk "Bermain-main" dengan
> Laporan Intelijen:
>
> Orang juga banyak menyalahkan Presiden SBY dalam kaitan
> dengan apa yang dikatakannya sebagai "laporan intelijen"
> itu. Ini juga adalah sebuah hal yang menggelikan.
> Mengertikah orang sebenarnya tentang apa yang disebut sebagi
> "laporan intelijen" itu?
>
> "Memain-mainkan" informasi intelijen atau bahkan
> menggunakan intelijen untuk  kepentingan jabatannya (sampai
> kepada batas-batas tertent) adalah kewenangan setiap
> presiden dan perdana menteri. (Dan intelijen--terutama
> intelijen negara--memang didirikan untuk melayani presiden
> atau perdana menteri).
>
> Nixon memakai agen-agen CIA untuk menyadap markas Partai
> Demokrat di Watergate. Presiden Bush Sr menyuruh CIA untuk
> mengaduk-aduk timbunan arsip lama, untuk mencari paspor Bill
> Clinton (capres waktu itu) dalam upaya membuktikan bahwa
> lawannya itu pada saat masih mahasiswa pernah bepergian ke
> Uni Soviet dan atas biaya pemerintah Uni Soviet.
>
> Kita tentu masih ingat dengan kasus senjata kimia pemusnah
> massal yang
> dituduhkan AS sedang dibuat oleh Saddam Husein dan yang
> dipakai sebagai alasan untuk menyerbu Irak. Senjata itu
> tidak pernah ada. Tapi Presiden Bush berkali-kali mengatakan
> di depan media massa bahwa dia memiliki bukti berupa laporan
> intelijen bahwa senjata itu memang ada.
>
> Di fihak lain, walaupun tidak diniatkan untuk menjadi
> "hoax", laporan intelijen tetap saja diasumsikan sebagai
> penuh dengan kemungkinan tipu-tipu, ketika dia sedang
> mengalir dari bawah ke atas (ke presiden). Bisa saja laporan
> itu datang dari sumber-sumber yang memang ingin melakukan
> penyesatan. Kemudian juga--dalam jenjang tertentu--bisa saja
> laporan itu dipermak oleh fihak-fihak tertentu agar ketika
> Presiden nanti membuat keputusan, maka keputusan itu akan
> menguntungkan dirinya atau kelompoknya.
>
> Karena itu laporan tersebut harus diverifikasi dan
> di-scrutinize. Dan tugas
> untuk melakukan hal tersebut adalah tanggung jawab kepala
> atau direktur lembaga intelijen itu sendiri. Karena itu
> kepala lembaga intelijen negara tersebut haruslah orang yang
> sangat dipercaya oleh Presiden.
>
> Disebabkan intelijen yang penuh tipu-itipu itu bekerja "di
> bawah tanah", maka dia memiliki potensi untuk menjadi
> sesuka-sukanya. Oleh karena itulah di negara-negara
> demokrasi ruang gerak intelijen itu harus dibatasi oleh
> undang-undang. Sinyalemen intelijen selalu harus diproses
> secara hukum. Memang kadang-kadang ada saja sinyalemen
> intelijen yang langsung dieksekusi tanpa melalui proses
> hukum. Tapi kalau hal tersebut sampai ketahuan oleh
> masyarakat, akibatnya bisa fatal kepada pimpinan lembaga
> intelijen tersebut, atau bahkan kepada presiden. (Di
> negara-negara otoriter dan diktator, maka "laporan
> intelijen" adalah kebenaran. Karena itu apa yang menjadi
> sinyalemen KGB pada masa Uni Soviet, SS pada masa Nazi
> Jerman dsb, itulah hukum).
>
> Kasus Munir itu adalah sebuah contoh. Kalau dia memang
> benar adalah musuh
> negara, maka berdasarkan sinyalemen intelijen, seharusnya
> polisi-lah yang
> menangkapnya, mengumpulkan bukti-bukti dan menyeretnya ke
> pengadilan. Tapi para petinggi badan intelijen
> (drakula-drakula yang masih bergentayangan itu) langsung
> saja mengeksekusinya. Sayang penegakan hukum masih
> amburadul. Kalau tidak, seharusnya drakula-drakula itu sudah
> musti masuk ke penjara.
>
> Kasus penghilangan orang secara paksa pada masa-masa
> sebelum 1998 adalah contoh yang lain lagi. Orang-orang itu
> diculik dan dilenyapkan karena dianggap sebagai musuh
> negara. (Dan yang menganggapnya musuh negara adalah
> intelijen Kopassus "pulak"), Kalau negara kita masih tetap
> berada dalam sistem pemerintahan diktator dan otoriter
> Suharto, maka kasus tersebut akan didiamkan begitu saja.
> Tapi ketika negara kita berada dalam era demokrasi, maka
> diusutlah kasus tersebut. Hanya sayangnya, disebabkan oleh
> hukum yang amburadul, lagi-lagi drakula-drakula itu masih
> terus bergentanyan.
>
> Sepanjang tidak melanggar undang-undang, dan sepanjang
> digunakan untuk
> kepentingan negara, maka saya rasa tidak ada salahnya kalau
> presiden
> mengumbar-ngumbar "what so called" laporan intelijen. Dan
> mengenai apa yang
> disebut sebagai "kepentingan negara", maka marilah kita
> memberi sedikit
> toleransi kepada presiden untuk juga boleh menfasirkannya.
> Bagaimana pun, dialah kepala negara.
>
>
> 4. Drakula dan Kentut:
>
> Orang juga menyalahkan Presiden SBY karena mengangkat isyu
> "drakula" dan menganggapnya sebagai memecah-belah bangsa.
> Ini juga adalah hal yang mengherankan saya.
>
> Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, kalau dalam
> pernyataannya itu Presiden SBY sengaja "menembak" fihak
> tertentu, maka itu pasti karena dia tahu benar apa yang
> sedang dilakukan oleh fihak tertentu itu, dan merasa bahwa
> mereka sudah sangat keterlaluan.
>
> Para elit di atas sana tentu sudah sama-sama tahu siapa
> berbuat apa. Itu sama saja dengan kita yang hidup bersama
> dalam sebuah tempat kost. Kalau kita sama-sama berada di
> sebuah ruangan dan ada yang kentut, maka kita tentu bisa
> mengetahui siapa yang kentut itu. Karena kita tahu apa yang
> dimakan (atau tidak dimakan) oleh masing-masing kawan kita
> itu.
>
>
> 5. Sedikit Fairness untuk Presiden SBY:
>
> Satu jam setelah terjadinya persitiwa pengeboman, di milis
> forum-pembaca-kompas ini saya menurunkan postingan (No.
> 131888) yang berbunyi:
>
> Menurut hemat saya apa yang sedang terjadi di Ritz Carlton,
> J.W.Mariott dan
> Timika ini adalah pekerjaan kelompok politik yang tidak
> suka dengan pemilu yang telah berjalan baik, dan yang tidak
> suka dengan Indonesia yang semakin
> demokratis. (Ini bukan pekerjaan Kelompok JI dan Kelompok
> OPM. Atau, kalau pun terlibat, mereka hanyalah alat).
> Kelompok ini ingin menyeret Indonesia untuk masuk dalam
> chaos, agar mereka memiliki peluang untuk terus bermain.
>
> SBY sedang "digoyang". Oleh karena itu inilah saatnya bagi
> SBY untuk
> berkata-kata dan bertindak dengan tegas. Jangan lagi hanya
> berlindung di balik retorika "menyerahkan penyelesaiannya
> pada proses hukum yang berlaku".
>
> Sikat! Tangkap! Hancurkan. Dan SBY punya modal untuk itu.
> Dia memiliki lebih dari 60% suara pemilih.
>
> Oleh karena itu bukan main senangnya saya ketika sorenya
> saya mendengar Presiden SBY memberikan pernyataannya.
>
> Presiden SBY sudah memenuhi harapan saya sebagaimana yang
> telah tuliskan di pstingan saya: Dia mengajak rakyat untuk
> melihat peristiwa ini sebagai kemunduran terhadap proses
> perkembangan demokrasi, terutama dalam kaitan dengan
> pemilihan umum presiden yang baru selesai kita lakukan.
>
> Presiden SBY juga sudah memberi peringatan kepada rakyat
> agar waspada tentang kemungkinan adanya gerakan-gerakan yang
> ingin membatalkan hasil pemilu dengan cara-cara di luar
> hukum, dan yang akibatnya akan membawa negara ke dalam
> kekacauan.
>
> Presiden SBY juga sudah memberi "warning" kepada
> lawan-lawan politiknya agar jangan memancing di air keruh,
> dan berjanji akan menindak-tegas siapa pun yang mencoba-coba
> melakukannya.
>
>
> Saya bukan pemilih SBY. Dalam pemilu presiden saya memilih
> JK karena saya suka dengan gaya kepemimpinannya. Tapi ketika
> Presiden SBY melakukan gaya kepemimpinan sebagaimana yang
> saya harapkan, maka tentu saja saya harus bersikap fair.
> Oleh karena itu terhadap pernyataannya atas persitiwa
> pengeboman di Ritz Carlton dan J.W. Marriot tersebut, saya
> memberinya nilai sembilan (dalam skala 1 s/d 10).
>
> Presiden SBY sudah memenuhi sedikit harapan saya tentang
> kepemimpinan yang tegas dan berani untuk rakyat yang beragam
> maunya dan ngeyel, dan yang sedang belajar berdemokrasi
> ini.
>
> Mula Harahap

Kirim email ke