banyak faktor akhi ... di kampus saya training dan seminar gak pernah sampe 50.000 rupiah malah kadang gratis paling mahal juga 25.000. ada yang bilang STEI Tazkia jelas kampus ekonomi Islam maka biaya-biaya pun akan tertekan karena banyaknya dukungan. padahal gak juga, birokrasi disini lumayan rumit dan sangat formal kalau tanmpa dukungan dan simpatisan KSEI yang jumlahnya ratusan lebih gak mungkin kita bisa menyelenggarakan seminar dan training ekonomi Islam
Dari Atas Satu Tanah Tempat Kita Berpijak: Teruslah Bergerak dan Jemput Kemenangan Yang Allah T'lah Janjikan di Ujung Kegelapan Apapun yang Kita Terima !! www.telagaalkautsar.wordpress.com Mahasiswa Akuntansi Syariah, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia --- Pada Kam, 17/6/10, Mery Andriani <andriani_m...@yahoo.com.au> menulis: Dari: Mery Andriani <andriani_m...@yahoo.com.au> Judul: Re: {FoSSEI} Re: Mengapa biaya pelatihan amat mahal? - Usul Kepada: fossei@yahoogroups.com Tanggal: Kamis, 17 Juni, 2010, 6:55 AM Untuk biaya pendidikan / training/ seminar yang mahal inikah realita dari komersialisasi pendidikan di indonesia. Jika ia maka mau dikemanakan masadepan pendidikan kaum miskin ? Isi dari pendidikan di Indonesia itu harus dirubah isinya karena tak ditampik bahwa sekolah itu kadang kurang practical dan ga match dengan kehidupan kita sehari hari. Saran saya adalah berikan ilmu dasar seperti membaca menulis dan berhitung dan tentunya ilmu agama agar bisa berahlaq baik. Selebihnya adalah ilmu untuk hidup yaitu ilmu komunikasi bagaimana bisa deal dengan orang lain, ilmu gimana caranya dapat uang halal (nah ini bisa masuk spesialisasi mau jadi pilot or akuntan dll) atau bisa jadi enterpreneur. Jujur saya dulu waktu smp belajar fisika tp sampai sekarang ilmu tsb ga pernah sy pakai, apalagi skr sy bikin portofolio syariah untuk cari makan. Tp ilmu fisika itu bisa berguna klu yg belajar memang niat mau jadi scientist or jadi guru fisika artinya fokus pendidikan pada apa yg ingin kita lakukan. Setelah saya pikir kenapa orang tua bayar biaya pendidikan mahal mahal padahal untuk bisa ngerti akuntansi saya hanya perlu guru untuk belajar menulis, berhitung, logika, dan ilmu akuntansi tentu saja ilmu agama agar tidak jadi akuntan korup dan yang ga kalah penting adalah ilmu untuk bertahan hidup. Jadi kesimpulan saya adalah jika kita pelajari semua ilmu dibangku sekolah maka ga semua ilmu itu bisa diaplikasikan dalam hidup trus bikin mahal cost of education itu sendiri , pilih yg ilmu yg berkaitan dengan apa yg ingin kita tuju agar bisa fokus dan tentunya ga bikin pendidikan jadi mahal Well, orang cerdas adalah orang yang ingat mati dan mempersiapkan bekal untuk dibawa mati. --- On Wed, 16/6/10, Ahmad Ifham <ahmadif...@yahoo. com> wrote: From: Ahmad Ifham <ahmadif...@yahoo. com> Subject: {FoSSEI} Re: Mengapa biaya pelatihan amat mahal? - Usul To: ekonomi-syariah@ yahoogroups. com Cc: fos...@yahoogroups. com Received: Wednesday, 16 June, 2010, 11:07 AM Dear All, Sekedar share, saya termasuk yang gak pernah sekalipun ikutan training apapun itu tentang ekonomi syariah yang sifatnya saya harus bayar, karena bagi saya biaya-nya mahal. Kebetulan saja dulu saya sering jadi Asrot alias asisten sorot untuk berbagai training yang diadakan oleh perusahaan konsultan lembaga keuangan syariah tempat saya kerja. Tujuan training biasanya untuk memahami atas topik training, bisa menerapkan di lapangan. Kalau salah satu tujuan ikutan training adalah untuk memeroleh sertifikat, ya ini sah sah saja dan mau gak mau harus ikutan training yang menurut sebagian rekan, biayanya mahal. Untuk mengupgrade kompetensi, biasanya saya melihat praktek dan bertanya secara personal kepada rekan2 yang lebih paham tentang konsep dan praktek lembaga keuangan syariah. Bisa jadi beliau lebih paham, bisa jadi ternyata saya yang lebih paham. Ada kalanya berbagi (training) itu dalam rangka tabarru’, ada kalanya berbagi itu dalam rangka tijarah. Jika rekan2 bersedia berbagi, belajar bersama dan sama2 gratisan, dengan senang hati saya pun bersedia via Email, FB, atau YM di ahmadif...@yahoo. com atau twitter @ahmadifham Sekian dan terima kasih. Regards, Ahmad Ifham Sholihin From: risnandar <risnand...@yahoo. com> To: ekonomi-syariah@ yahoogroups. com Sent: Tue, June 15, 2010 3:03:21 PM Subject: Re: [ekonomi-syariah] Mengapa biaya pelatihan amat mahal? Assalam alaikum wr wb Tapi orang miskin tidak dilarang untuk belajar dan berusaha Pak. He he.. Memang suatu tantangan dalam isu ini, sewaktu kuliah saya saya bertemu dengan seorang teman di BEM UI, yang waktu itu BEM UI salah satu programnya adalah mengadakan sekolah gratis untuk yang tidak mampu. Di hari pertama anak-anak yang tidak mampu yang datang banyak, di kahir bulan hanya tersisa 3 orang Pak. Isunya klasik, anak-anak merasa pendidikan yang diberikan tidak "menghasilkan" , mereka lebih baik kembali ke jalan. Waktu di sekolah hanya terbuang sia-sia menurut mereka. Memang terlepas dari isu apapun, usaha untuk menanggulangi kemiskinan secara struktural tetap harus dilakukan, Bahkan subsidi terhadap pendidikan harusnya menjadi hal yang penting. Namun apakah dana yang banyak menjadi panacea bagi masalah-masalah pendidikan di Indonesia? Tantangan paling besar saya rasa ada dalam dimensi kultural. Para officer-officer Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang bergerilya ke pasar-pasar untuk lending dan funding, pada umumnya, paham sekali dengan kemiskinan kultural. Semoga saja 20% APBN yang dialokasikan untuk dapat digunakan dan diberdayakan oleh orang-orang yang amanah dan mampu secara optimal berdampak terhadap kemajuan pendidikan Indonesia secara kualitas dan kuantitas. Pengawasan terhadap penyaluran-penyalur an dana tersebut yang menjadi kunci. Banyak sekali kasus penyelewengan (penyunatan) dana beasiswa yang terjadi soalnya. . Salam hangat, --- Pada Sen, 14/6/10, AYeeP <fais1...@yahoo. com> menulis: Dari: AYeeP <fais1...@yahoo. com> Judul: Re: [ekonomi-syariah] Mengapa biaya pelatihan amat mahal? Kepada: ekonomi-syariah@ yahoogroups. com Tanggal: Senin, 14 Juni, 2010, 5:08 AM Salam, Apa yang ditulis oleh bu Leni Hartati adalah sebuah realita yang menyakitkan jika dibaca oleh orang miskin. Hal itu semakin membuktikan bahwa Orang miskin tidak boleh mendapatkan pendidikan (kalau mau ke desa saja sono, sekolah di madurasa eh salah, madrasah) Orang miskin tidak boleh sehat (kalau mau juga usahakan jangan sampai sakit lalu masuk rumah sakit) Orang miskin tidak boleh memimpin (kalau mau juga siapkan uang milyaran untuk menjadi sekedar bupati atau gubernur) Orang miskin tidak boleh berusaha (toh yang diuber-uber satpol selalu mereka)Intinya, "sistem ini" melarang orang miskin untuk hidup di bumi Indonesia. Mari kita hancurkan orang miskin! Lalu kita bicara hingga berbuih berbicara tentang sebuah teori ekonomi islam yang -secara filosofis- konon membebaskan dan menjunjung tinggi kemanusiaan, memanusiakan manusia dan menempatkan mereka dalam sebuah nilai kesetaraan. Faktanya kita lebih ribut di sisi kulit daripada implementasi "nilai". Bahkan fatwa pun harus berpihak kepada pemilik modal. Siapa yang mau menggali lebih dalam, merenungi lebih dalam kisah orang buta yang diceritakan secara eksplisit dalam awal surat 'abasa wa tawallaa? Atas nama dakwah, Rasul pun nyaris bersikap sama jika tidak ditegur. Sebuah kisah yang "menyadarkan" . Padahal wajar, jika hari ini saya bisa happy karena dapat berkenalan dengan pemilik modal dan pemilik jabatan yang menguasai modal. Wajar juga jika saya merasa "happy dan berbeda" jika bisa bergaul dalam satu komunitas yang berada di ruangan ber-ac, penuh aroma harum, kostum yang serba "terpelajar" di bawah terang benderang lampu ruang. Wajar juga jika saya hari ini saya mengatakan "maaf ya bu" kepada pengemis yang mengetuk rumah saya (Ah ganggau aja, bisik hati saya!) Kalaupun saya ingin memberinya, maka saya harus "mengabadikan" nya dalam gambar dan dimasukkan dalam kolom seremonia sebuah surat kabar, plus (jangan lupa sertakan juga) "bendera saya". Prinsip "memberi tanpa diketahui oleh tangan kiri" sungguh amat merugikan dilihat dari sisi marketing dan pencitraan. Sebaliknya adalah tidak realistis. Mau apa lagi, zamane wis koyo ngene, gak "edan" gak keduman. Kemiskinan adalah kesialan dalam segala hal. Pertanyaanya, akankah sikap ini berubah ketika -dalam detik ini juga- sistem kita bah menjadi "sistem syariati"? i dont think so. Hay`ata, hay`aata. Salam hangat Fasihol From: LENI HARTATI <lenihartati2000@ gmail.com> To: ekonomi-syariah@ yahoogroups. com Sent: Fri, June 11, 2010 10:51:41 PM Subject: Re: [ekonomi-syariah] Mengapa biaya pelatihan amat mahal? Assalamu'alaikum, wr.wb Biaya pelatihan bank syariah sekarang, malah tergolong murah Pak Faishol. Pernah lihat gak tarif training bank di konvensional atau lembaga keuangan konvensional, bisa mencapai 3,5 jutaan. Kuliah S2 di MM UI harganya 92 juta Pak. Jadi harga-harga training bank syariah masih tergolong murah.Pelatihan tentang BMT,tentu lebih murah lagi. . Biaya kuliah untuk dapet ilmu di Fakultas Ekonomi atau Sekolah perbankan juga tidak murah Pak. Untuk 1 Semester di Perbanas aja , lebih 10 jutaan, berarti 1 tahun 20 jutaan, Kalikan 4 tahun Pak. Berapaan tuh? Belum S2nya Pak. Jadi Biaya yang ada sekarang masih sedang, bahkan murah. Namun jika dibandingkan dengan biaya pendidikan madrasah di desa, ya, jelas, biaya training tersebut kemahalan. Sekian sekedar perbandingan Pada 8 Juni 2010 15:16, AYeeP <fais1...@yahoo. com> menulis: Salam, Mengapa pelatihan, seminar dan sejenisnya yang berkaitan dengan perbankan islam atau ekonomis islam begitu mahal? Hingga sekarang saya tak habis pikir, variable apa yang membuatnya bernilai juta-jutaan? Apakah karena varibel fee dan transoprtasi pemakalah atau pembicara yang tinggi? Sewa gedung? harga kopi dan soft drink? variable harga trend? Atau ini semua bisnis sebagaimana biasanya? Atau mungkin saya saja yang berpikiran cekak, kuno, gak maju, ndeso? Apakah ini indikasi bahwa geliat aktifitas ekonomi bernafaskan islam adalah geliat ekonomi biaya tinggi? Kalau mau jujur, tidak sedikit yang hanya berlomba mengumpulkan sertifikat. Tentu bukan sekedar "kertas itu ukuran A4" itu yang penting, tetapi implikasi eksistensi sertifikat yang berakhir pada harga jual "personal". Sentillah saya jika apa yang menggangu pikiran saya ini dinilai "mengganggu" . Salam hangat, Faishol