ARAB SAUDI DAN
PENGKHIANATAN KELUARGA SA‘UD
Ringkasan Artikel :
1.Memberontak Kepada Daulah Khilafah,
Bersekutu dengan Inggris
2.Persahabatan Dengan Amerika
3.Negara Islam Semu
Arab
Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis,
terutama
karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi
pusat
ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak
bisa
dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw.
lahir dan
Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga
sering
menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut
terdapat
beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura
di Makkah
yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia.
Dari
negara ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia
Islam.
Lebih jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara
Islam
yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga
merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal
pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah
Utsmaniyah.
Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya.
Banyak
pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini
terhadap
pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu,
Saudi juga
dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer
AS.
Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi
sorotan.
Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia
karena
faktor kekayaan minyaknya.
MEMBERONTAK
KEPADA KHILAFAH, BERSEKUTU DENGAN
INGGRIS
Secara resmi, negara ini memperingati
kemerdekaannya pada tanggal 23 September. Pada saat itulah, tahun 1932,
Abdul
Aziz—dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud—memproklamirkan berdirinya
Kerajaan
Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah). Abdul Aziz pada
saat itu
berhasil menyatukan dinastinya; menguasai Riyad, Nejed, Ha-a, Asir, dan
Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil mempolitisasi pemahaman
Wahabi
untuk mendukung kekuatan politiknya. Sejak awal, Dinasti Sa‘ud secara
terbuka
telah mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang
dicetuskan
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan
Gerakan
Wahabi. Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi Dinasti Sa‘ud
untuk
melakukan perlawanan terhadap Khilafah Islamiyah.
Hanya saja, keberhasilan Dinasti Sa‘ud ini
tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi
pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810,
dengan bantuan Inggris mereka berhasil
menguasai beberapa wilayah di Damaskus. Hal ini membuat Khilafah
Islamiyah
harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan ini. Fase
pertama, pemberontakan
Dinasti Saud berhasil diredam setelah pasukan Khilafah Islamiyah
berhasil
merebut kota ad-Diriyah.
Namun kemudian, beberapa tahun kemudian,
Dinasti Sa‘ud, di bawah pimpinan
Abdul Aziz bin Abdurrahman, berupaya
membangun kembali kekuataannya. Apalagi pada saat itu, Daulah Khilafah
Islamiyah semakin melemah. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan
merebut
kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid).
Pasukan Aziz
terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah
dengan
bantuan Inggris.
Salah satu sahabat dekat Abdul Aziz
Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris.
Philby
menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai “Seorang Arab yang
Beruntung”,
sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan “Bintang Baru dalam Cakrawala
Arab”.
Philby adalah orang Inggris yang ahli
Arab yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Sa‘ud sejak
misi
pertamanya ke Nejed pada tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di
Jeddah.
Dikabarkan kemudian, Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan
penasihat
pribadi Raja pada tahun 1930. (Lihat: Goerge Lenczowsky, Timur
Tengah di
Tengah Kencah Dunia, hlm. 351).
Kerjasama Dinasti Sa‘ud dengan Inggris
tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di
Jeddah
(20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton,
mempertegas
pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Sa‘ud,
hubungan
non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Sa‘ud atas kedudukan Inggris
di
Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan
perdagangan budak (ibidem,
hlm. 351). Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal
dengan
Ibnu Sa‘ud) merasa aman dari berbagai rongrongan.
Pada tahun 1916, Abdul Aziz menerima 1300
senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. Mereka juga berunding
untuk
menentukan perbatasan negerinya, yang ditentukan oleh Percy Cox, utusan
Inggris. Percy Cox mengambil pinsl dan
kertas kemudian menentukan (baca: memecah-belah) perbatasan negeri
tersebut.
Tidak hanya itu, Inggris juga membantu Ibnu Sa‘ud saat terjadi
perlawanan dari
Duwaish (salah satu suku Nejed). Suku ini menyalahkan Ibnu Saud yang
dianggap
terlalu menerima inovasi Barat. Sekitar tahun 1927-1928, Angkatan Udara
Inggris
dan Pasukan Ibnu Sa‘ud mengebom suku tersebut. Mengingat kerjasama
mereka yang
sangat erat, Inggris memberi gelar kebangsawanan ‘sir’ untuk Abdul Aziz
bin
Abdurrahman.
PERSAHABATAN
DENGAN AS
Persahabatan Saudi dengan AS diawali
dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei 1933,
Standart Oil
Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan
ini
kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada
mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun, setelah
melihat
potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif berusaha
merangkul
Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS menggambarkan daerah tersebut sebagai,
“sumber
yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah material yang
terbesar dalam
sejarah dunia (a stupendous source of strategic power and the
greatest
material prize in the world's history).”
Untuk kepentingan minyak, secara khusus
wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt
(April
1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada
Saudi.
Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi
‘budak’ AS.
Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada Saudi
sebesar
$10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam
‘membangun’
Saudi menjadi negara modern, antara lain
dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar untuk
pembangunan
jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan pantai timur dan
barat.
Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat Saudi.
Konsesi lain dari persahabatan Saudi-AS
ini adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada tahun 1943 yang hingga saat ini terus
dilanjutkan. Pangkalan Udara Dhahran menjadi pangkalan militer
AS yang
paling
besar dan lengkap di Timur Tengah. Hingga saat ini, pangkalan ini
menjadi basis
strategis AS, terutama saat menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang
Teluk II.
Penguasa keluarga Kerajaan Saudi dengan
‘sukarela’ membiarkan wilayahnya dijadikan basis AS untuk membunuhi
sesama
saudara Muslim. AS pun kemudian sangat senang dengan kondisi ini.
Pada tahun 1947, saat Putra Mahkota Emir
Saud berkunjung ke AS, dia menerima penghargaan Legion of Merit
atas
jasanya kepada sekutu selama perang. Hingga saat ini, persahabatan AS
dan Saudi
terus berlanjut walaupun harus menyerahkan loyalitasnya kepada AS dan
membunuh
sesama Muslim.
NEGARA
ISLAM SEMU
Salah satu kehebatan negara Saudi selama
ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan
negaranya
merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan
Sunnah.
Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat
hanya
karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak dikunjungi
oleh kaum
Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan
kepada
kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk mencitrakan
mereka
sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua
masjid suci (Khadim al-Haramain).
Akan tetapi, citra seperti itu semakin
pudar mengingat sepak terjang keluarga Kerajaan selama ini, terutama
persahabatannya dengan AS yang mengorbankan kaum Muslim. Arab Saudi
menjadi
pendukung penuh AS baik secara politis maupun ekonomi dalam Perang
Teluk II.
Saudi juga mendukung serangan AS ke Afganistan dan berada di sisi
Amerika untuk
memerangi teroris. Untuk membuktikan
kesetiaannya itu, Saudi, pada 17 Juni 2002 mengumumkan bahwa aparat
keamanannya
telah menahan enam orang warga negaranya dan seorang warga Sudan yang
didakwa
menjadi anggota Al-Qaeda. Tujuh orang itu didakwa berencana
untuk menyerang pangkalan militer
Amerika dengan rudal SAM 7. Masih dalam rangka kampanye AS ini, Saudi
menghabiskan jutaan dolar untuk membuat opini umum—antara lain lewat
iklan—bahwa Saudi adalah mitra AS dalam “perang antiterorisme.” (K.Com,
Newsweek,
03/5/2002).
Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap
kelompok-kelompok Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama
berani dan
salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan
pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu, tingkah polah keluarga
Kerajaan
dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan hati umat. Mereka
hidup
bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat
Irak dan
Palestina hidup menderita akibat tindakan AS yang terus-menerus
dijadikan Saudi
sebagai mitra dekat.
Benarkah Saudi merupakan negara Islam?
Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang dilakukan oleh negara ini
justru
banyak yang menyimpang dari syariat
Islam. Beberapa bukti antara lain:
Berkaitan dengan sistem pemerintahan,
dalam pasal 5a Konstitusi Saudi ditulis: Pemerintah yang
berkuasa
di
Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti
kedaulatan
mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun
Saudi
menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam
praktiknya, dekrit rajalah yang paling
berkuasa dalam hukum. Sementara itu, dalam Islam, bentuk negara adalah
Khilafah
Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah SWT.
Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga
menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari
keluarga
dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih
penggantinya dan
diberhentikan lewat dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa
yang
menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS.
Sementara itu, dalam Islam, Khalifah dipilih oleh rakyat secara
sukarela dan
penuh keridhaan.
Dalam bidang ekonomi, dalam
praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem
ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga)
dalam
transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak
dari
beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi
Bank,
American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan
berdasarkan
bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang
dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H).
Saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ IMF,
organisasi internasional bentuk AS yang menjadi ‘lintah darat’ yang
menjerat
Dunia Islam dengan riba. Saudi adalah
penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain
yang
menunjukkan bahwa ekonomi Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa
Saudi menjadikan
tambang minyak sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan
asing),
padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang
tidak
boleh diberikan kepada individu.
Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar
rasialisme dan nasionalisme. Hal ini tampak dari pasal 1
Konstitusi
Saudi yang
tertulis: Kerajaan Saudi adalah Negara Islam Arab yang berdaulat (a
sovereign Arab Islamic State). Sementara itu, dalam Islam, Khilafah
adalah
negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tidak hanya khusus
orang Arab.
Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang Muslim yang bukan Saudi baru
bisa
memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau memiliki partner
warga Saudi. Atas dasar kepentingan nasional,
Raja Fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi
(sebagian besar
dari India, Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena
mereka dicap
sebagai pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus
memiliki
paspor dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh
bekerja dan berpergian
di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada
saat yang
sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara
Amerika untuk
bekerja di Saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu. Tidak
hanya
itu, demi alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik
kementerian pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak
tahun
1990-November 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS.
Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi.
Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian
banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada
umat.
Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka
dengan
sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah;
meskipun
pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya,
umat Islam wajib menyadari kewajiban menegakkan Daulah Khilafah
Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara
menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan
umat ini.
Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa
pengkhianat di tengah kaum Muslim.
Inilah kewajiban kita semua saat ini. [Farid Wajdi]
Back to top
Komentar
[ku]:
Demikianlah saudaraku, Mulkan Tauhid
Daulah Su'udiyyah..
Kaum muslimin tertawa dan menangis getir melihat sandiwara Daulah
Tauhid ini
Sandiwara yang hampir sempurna bila kita tidak diberi petunjuk oleh
Allah SWT
untuk mengetahui muka mereka sesungguhnya!
Saudaraku, sejarah Futuh Mekkah akan kembali! Mekkah akan ditaklukan
kembali
oleh para Muwahid sejati! Para Muhawid yg benar2 menolak semua taghut
dan kesyirikan apakah dalam bentuk
klasik: tahayul, klenik, false traditions ataupun dlm bentuk entitas
politik: PBB, IMF, Amerika, Inggris, Rusia, Mulkan
Dzoliman atau dlm bentuk Ideologi/Faham: Kapitalisme, Sosialisme,
Demokrasi, Nasionalisme, Zionisme, Pluralisme
dll. Inna Hukm 'illa Lillah!
Fase Daulah Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah yg dinanti kaum muslimin
seluruh dunia akan segera datang kembali , InsyaAllah..
Ya Allah, tunjukilah kami, yang haq adalah haq dan berilah kami
kekuatan untuk
mengikutinya
Dan tunjukilah kami, yang bathil adalah bathil dan berilah kami
kekuatan untuk
menjauhinya
Muslim Ummah, Unite!
Akhukum fillah,
Shalih Aziz