25 Kiat Mempengaruhi Akal dan Jiwa Anak
Kiat 19 : Mendengar Reflektif ORANG tua harus menjaga anak-anaknya dari kegagalan, rasa keterpurukan, dan konflik dengan anggota lingkungan tempat dia hidup. Tentu saja kita tidak dapat menempatkan mereka dalam perlindungan kita secara terus menerus. Yang dapat kita lakukan padanya hanyalah memberinya pemahaman, dan merespon perasaannya yang sedang tidak baik serta pengalamannya yang mengganggunya. Dan kita harus memotivasi mereka untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara yang disebut mendengar reflektif {reflektive listening). Mendengar reflektif adalah menyimak secara responsif dan aktif dalam rangka memahami apa yang dikatakan anak dan agar dia mampu mengingat kembali perasaannya serta mampu menjelaskan situasi-situasi yang memuculkan perasaan itu. Itu dimaksudkan agar kita dapat membantunya mengungkapkan perasaan dan segala problem yang dihadapinya. Dari situ kita dapat menghilangkan ketegangan dan sikap reaktif. Komunikasi macam ini dengan anak akan membuat hubungan baik dan mengokohkan jalinan serta membuat dia mandiri dan tabah. Kita dapat menggunakan cara mendengar reflektif ini pada anak dari mulai umur tiga tahun, dengan syarat kita menggunakan bahasa yang mudah dan sederhana. Ada lima hal penting yang harus diperhatikan saat Anda menyelami perasaannya, yakni: a. Hendaknya Anda menghargai perasaannya dan tunjukkan bahwa Anda memahami perasaan itu Itu dapat tercapai dengan cara mendengar secara tenang, penuh perhatian, dan tampillah bukan sebagai sosok yang akan menghakimi. Tentu saia ada kemungkinan Anda tidak dapat menerima semua perilaku dan perbuatannya. Tapi kesankan bahwa Anda dapat memahami perasaannya. Dia akan mengungkapkan kepada Anda tingkat kemarahannya kepada saudaranya. Tapi dalam waktu bersamaan Anda tidak mengizinkannya untuk melampiaskan kemarahannya kepada saudaranya itu dengan melakukan keculasan dan pemukulan. b. Tampakkan bahwa Anda benar-benar menyimak apa yang dikatakan Dengan semata-mata mendengarkan, Anda telah memberikan padanya penghargaan. Karena Anda telah memperkenankan dia untuk mengungkapkan perasa¬annya dan membagi kekesalan dan kemarahan yang berkecamuk dalam dadanya. Dan isyarat-isyarat yang Anda lakukan juga bisa berarti sebagai partispasi Anda, bahkan seringkali isyarat-isyarat itu mewakili omongan. Misalnya mengangguk-anggukkan kepala sebagai bukti bahwa Anda setuju, menerima, dan berempati terhadap ucapannya. c. Ulangi apa yang dia ucapkan dan ekspresikan bahwa Anda sedang memikirkan perasaannya Sangat baik jika Anda merangkum atau menyusun ulang inti sari yang dia katakan tentang perasaannya itu. Tidaklah cukup -sementara kita tengah bicara tentang empati- hanya mendengarkan dan memahami apa yang dikatakan anak. Sebaiknya kita mengulangi perkataan dan ungkapan perasaannya untuk memberikan bukti bahwa kita merespon dan memahami perasaannya. Itulah yang disebut mendengarkan reflektif seperti yang sudah kita jelaskan. Mengulangi apa ucapan anak bukan berarti mengulangi kata-katanya secara persis melainkan menyusun ulang inti omongannya. Misalnya Anda mengatakan kepada puteri Anda yang berumur tiga tahun yang tengah kecewa, "Oh, kamu pasti kecewa dan sedih ya, karena kamu tidak dapat ikut ibu ke pasar." Suatu saat mungkin anak Anda mengungkapkan perasaan yang amat mengganggu dan mengancamnya. Misalnya ia mengatakan, "Tidak ada seorang pun di kelasku yang menyukaiku." Dalam keadaan seperti ini kendalikan diri Anda dan janganlah Anda terbawa emosi dalam mensikapi informasi yang mungkin membuat Anda tersinggung. Jadilah orang tua yang membantu, memberikan motivasi dan mendorong anaknya untuk semakin berterus terang dalam mengemukakan apa yang bergejolak di dalam hatinya betapapun itu menyakitkan Anda. Anak memerlukan bantuan dan pertolongan Anda. Dan melalui "bermain peran" sebagai cermin, Anda merefleksikan apa yang ada dalam hatinya. Dengan cara itu Anda berinteraksi dengan perasaannya. Itu akan membantunya memilih solusi dan langkah-langkah yang paling baik guna mengatasi kesulitan dan problem yang dia hadapi. Tentu ada fenomena umum dalam cara berfikir dan perilaku anak. Yaitu bahwa mereka sering berlebihan dalam mengungkapkan perasaan mereka dan menggambarkan situasi yang melatarbelakanginya. Karenanya orangtua harus membantunya dalam menggambarkan perasaan dan situasi yang melatarbelakanginya agar sesuai dengan realitas. Artinya orangtua harus mengurangi sikap berlebihan dan memproporsionalkan perasaan dengan situasi yang sebenarnya. Apa pun kondisinya, dengan cara menyimak dan menyusun ulang fikiran si anak serta membuatnya menjelaskan perasaannya dengan situasi yang melatarbelakanginya, kita akan tahu kalau dia over acting tanpa harus mengatakannya kepadanya secara langsung. Cara ini bisa digunakan dengan anak dalam segala usia. Karena cara ini memenuhi dua syarat : Pertama, konsentrasi, menyimak dan mendengar reflektif. Kedua, meningkatkan pemahaman anak tentang hakikat perasaannya dan realitas. d. Rumuskan perasaannya Setelah Anda menyimak omongan anak dengan seksama dan mencermati ekspresi wajahnya yang melukiskan perasaannya seperti marah, kecewa, sedih dan Iain-lain, maka sebaiknya Anda mengidentifikasi reaksinya. Misalnya Anda katakan kepada puteri Anda yang berusia sembilan tahun, "Tampaknya kamu kecewa atau kamu sedih karena perlakuan gurumu itu." Jika dugaan Anda -tentang perasaannya- tidak tepat untuk pertama kali, maka coba lagi. Tetaplah anda menghargainya, tenang, dan bicaralah dengan menggunakan jeda-jeda waktu agar Anda menjadi paham. Doronglah puteri Anda itu menilai dugaan anda, benar atau salah. e. Bersikap responsif , berikanlah nasihat dan usulan Kita harus membiarkan anak untuk mencurahkan segala perasaan yang berkecamuk di dalam jiwanya. Terutama jika ia bersikap negatif terhadap kita. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan kita juga tidak membiarkan dia menghina kita. Kita beritahukan bahwa kita memperkenankan dia mengungkapkan perasaannya dan segala gejolak jiwanya tapi dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang menghinakan kita. Jika ia tidak mau menuruti peringatan kita, kita bisa memintanya segera menghentikan pembicaraannya dan memberinya hukuman ringan. Sebab ia juga harus belajar aturan, disiplin, dan adab berbicara dengan ibu-bapaknya atau orang yang lebih tua darinya. Namun untuk itu kita harus menjadi teladan dalam hal tatakrama mengungkapkan perasaan yang kita terapkan pada anak kita. Kita jangan memberi contoh dengan menghinakannya dan melontarkan ungkapan atau julukan yang merusak kejiwaannya. Betul bahwa anak menginginkan kita memahami perasaannya saat dia marah, membangkang, cemburu, sedih, atau takut. Dan saat ia tidak mendapatkan respon maka ia akan berontak kepada kita. Sebab hal terbesar yang menyakitinya adalah bila kita menganggap enteng perasaannya atau kita bersikap masa bodoh. Karenanya kita harus mendekati perasaannya baik dengan cara memahami, berempati, dan mengidentifikasi perasaannya, bila kita ingin masuk ke dalam jiwa dan akalnya. Berikut ini sebuah contoh yang menjelaskan betapa pentingnya mendekati perasaan anak dengan cara memahami dan berempati. Ini ditulis oleh Salwa Al-Muayyad dalam bukunya, Ibnii Laa Yakfii an Uhibbuk (Anakku, Tidak Cukup Aku Mencintaimu). Sarah pulang dari sekolah dalam keadaan marah. Ia mengadukan kepada ibunya perihal perlakuan buruk gurunya terhadap dirinya. "Aku benci guruku. Dia membentakku di depanku karena aku lupa membawa buku catatan matematika." Ibunya berusaha menampung kemarahannya dan berkata," Apakah sikapnya membuat kamu sangat kesal?" katanya. "Memang. Seorang temanku juga lupa tidak bawa buku tulis, tapi guru itu tidak membentaknya seperti yang dia lakukan kepadaku," jawab si anak. "Kamu menganggap perlakuannya tidak adil, bukan?" sahut ibunya. Spontan anak itu menjawab, "Tentu saja. Bahkan saya berfikir untuk menamparnya dan membuangnya ke tempat sampah." Sambil terus berusaha menenangkan puterinya itu ia mengatakan, "Omonganmu menunjukkan bahwa kamu benar-benar marah kepadanya." Sejak itu amarah Sarah mulai reda. Tidak lama kemudian ia pergi keluar untuk bermain sepeda bersama adiknya, setelah ia lupa kemarahannya kepada gurunya. Jadi Sarah menginginkan ibunya memahaminya dan mengakui apa yang ia rasakan terhadap gurunya. Dan ibunya telah memenuhi apa yang dia inginkan. Ia tidak menceramahinya melainkan menampung amarahnya dengan cerdas. Dan semua orang tua bisa melakukannya dengan berlatih dan kesabaran. Reaksi spontan seorang ibu menghadapi situasi seperti itu bisa beberapa sikap. Mungkin ia akan mencela anaknya karena kelalaiannya dan mengatakan bahwa dia memang layak mendapat hukuman seperti itu dari gurunya. Atau mungkin si ibu berdiri di pihak puterinya melawan gurunya. Akan tetapi ibu Sarah tidak melakukan itu. Dia justeru mengakui perasaan anaknya dengan mengatakan, "Kamu menganggap perlakuannya tidak adil, bukan?" Demikian pula saat ia mengatakan, "Omonganmu menunjukkan bahwa kamu benar-benar marah kepadanya." Ibu Sarah juga tidak berusaha menghakimi atau menceramahinya. Karena ia tahu bahwa gurunya telah menjalankan tugas mendidik dan ia tidak ingin mengulangi apa yang dilakukan gurunya di sekolah. Begitulah si ibu sampai kepada hasil positif. Sarah telah keluar untuk bermain sepeda dengan adik-nya setelah memperoleh pelajaran yang semestinya dari gurunya dan mencurahkan kemarahannya yang menggumpal dalam jiwanya melalui curahan hati (curhat) dengan ibunya. Sumber : 25 Kiat Mempengaruhi Akal dan Jiwa Anak (Al Inshat Al In’ikasi Khamsun Wa Isyruna Thariqah Fi Nafsi Ath Thifli Wa ’Aqlihi) Oleh Muhammad Rasyid Dimas
******************************************************** Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP ******************************************************** Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA : http://www.usahamulia.net Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke : [EMAIL PROTECTED] Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke : [EMAIL PROTECTED] ********************************************************