Sebuah Cerita...dari milis sebelah...

----- Original Message ----- 
From: "lex_alimin" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>


Suara-Suara Keramat
Minggu, 16/09/2007

Sejak pindah di perumahan "Pesona Lembah Hijau",Anggoro merasa lega. 
Setelah sekian tahun tinggal nomaden dari satu kontrakan ke 
kontrakan lain, akhirnya dia menemukan juga rumah 'idaman', meski 
agak jauh di pinggir kota.

Anggoro merasa tak salah pilih. Ia merasa perumahan itu aman dan 
nyaman. Akses ke kota lancar, bangunannya kokoh dan yang penting 
lokasinya jauh dari banjir. Airnya juga bening dan udaranya masih 
sejuk.Ang-goro merasa beruntung mengambil rumah di sana, tetangganya 
baik-baik dan anak isterinya betah sekali di rumah barunya.

Tapi satu hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, pada Ramadan 
pertamanya di perumahan itu Anggoro mendapatkan teror yang setiap 
malam mengusik pendengarannya. Ada suarasuara keramat yang menggema 
di menara- menara masjid kampung -penduduk asli- yang membuatnya tak 
bisa tidur semalaman.

Anggoro Resah, gelisah, dan akhirnya bangun dan keluar untuk 
membuang kesalnya. Di sebuah masjid ia dapatkan seorang tua 
berkhidmat melantunkan firman.Tekun dan sungguh-sungguh. Alquran 
terkembang di depannya. Mikrofon tergenggam di tangannya. Khusyu' 
dengan irama usang yang terbata-bata. Irama yang sumbang dan pecah 
di gendang telinga. Mungkin karena ia mengangkat mikrofon terlalu 
dekat ke bibirnya.

Atau juga karena suara tuanya yang sudah tak nyaman lagi untuk 
didengar. Sudah lima hari ini suara tua itu mengisi malam. 
Bersileweran dengan suara-suara keramat lainnya yang menggema di 
puncak-puncak menara. Suara-suara yang mengganggu pendengaran. 
Merusak keheningan. Membuat mata tak terpicing. Anggoro tak tahu 
berapa banyak orang yang terganggu oleh suara-suara itu.

Atau mungkin hanya dia sendiri. Atau semua orang terganggu, tapi tak 
berani mengungkapkannya. Entahlah. Pada hari kelima ini Anggoro 
sudah tak tahan. Ia kumpulkan semua keberanian yang ia miliki.Juga 
semua alasan yang ia punya. Untuk kemudian mendatangi orang tua itu. 
Memberitahukan bahwa suara tuanya sudah mengganggu istirahat orang.

Dengan membawa kesal dan kantuk Anggoro mendatangi masjid tempat 
orang tua itu berkhidmat. Berwudhu kemudian salat dua rakaat. 
Setelah itu duduk sejenak. Menarik nafas, menata emosi, menekan 
amarah, lantas menghadap ke orang tua yang usianya hampir tujuh 
puluh tahun itu.Anggoro mencoba mencari sela untuk menyampaikan 
keluhannya. Namun orang tua itu seakan-akan tak terusik.

Ia terus saja melantunkan firman dengan suaranya yang sumbang. Tak 
jelas entah surat apa dan ayat berapa yang ia baca. Bunyi yang 
keluar dari mulutnya hampir sama. Bunyi sengau yang dibawa ke 
hidung. Saat membalik halaman, orang tua itu melirik pada 
Anggoro. "Alhamdulillah, sudah sepuluh juz." Katanya berbagi 
kebahagiaan. Anggoro hanya tersenyum, mencoba merasakan kebahagiaan 
orang tua itu.

Namun sebelum ia membuka kata,orang tua itu sudah bertekun kembali 
dengan bacaannya, mengangkat mikrofon dan mendengungkan suara yang 
aneh dari makhraj yang tidak jelas. Anggoro mengamati orang tua itu. 
Lamat-lamat. Mencoba menyelami pedalaman hati seorang tua yang sudah 
di ambang tujuh puluhan. Apa yang ia rasakan? Apa yang ia pikirkan? 
Seolaholah ia sedang memburu waktu.

Mengejar ketertinggalan dari masa muda yang telah berlalu. Bertekun 
dalam kekhawatiran. Seperti takkan ada lagi esok, dan seakan-akan 
Alquran hendak ditamatkannya dalam satu malam. Hingga orang tua itu 
membalikkan halaman berikutnya, Anggoro tak juga bicara. Lidahnya 
terasa kelu dan mulutnya seperti terkunci.

"Untuk tabungan akhirat, nak. Mumpung bulan baik.Setiap huruf yang 
kita baca dari Alquran ini akan dilipatgandakan pahalanya oleh 
Allah." Kembali Anggoro tersenyum, dan ia membiarkan orang tua itu 
meneruskan qiro'ahnya.Hingga halaman berikutnya. Hingga berikutnya. 
Tak juga ia menemukan sela. Padahal sekian kata-kata sudah tersusun 
di pikirannya. Namun tak satupun yang terucap. Jangankan untuk 
menyampaikan keluhan, menyampaikan satu kata saja ia tak mampu.

Menyampaikan kalau ia terganggu. Hak istirahatnya terganggu. 
Bukankah tubuh ini juga ada haknya? Akh, orang tua ini.Kenapa ia 
terlalu egois,mengejar amal untuk diri sendiri tanpa pedulikan orang 
lain. Lagi pula yang membuat Anggoro tak habis pikir,kenapa harus 
pakai mikrofon? Membaca Alquran tengah malam begini, saat orang lagi 
istirahat, bukankah lebih baik pelan-pelan saja?

Apakah dengan mikrofon pahala membaca Alqurannya lebih banyak? 
Akh,bahkan Anggoro ingin menyampaikan pada orang tua itu bahwa ia 
tidak akan mendapat pahala apapun dengan membaca Alquran keras-keras 
seperti itu. Malah dosa yang mungkin ia dapatkan. Karena ia sudah 
mengganggu istirahat orang. Puluhan atau mungkin ratusan orang pasti 
memakinya.

Mengumpatinya sepanjang malam. Kalau yang terakhir ini ia sampaikan, 
Anggoro mengira-ngira orang tua itu pasti tersinggung, dan dia akan 
membalas dengan alasan begini. "Kalau ada orang yang terganggu 
dengan bacaan Alquran, berarti dia bukan orang yang beriman. Karena 
orang yang beriman itu akan bergetar hatinya saat mendengat ayat-
ayat Allah. Kapanpun dan di manapun."

Nah, kalau demikian berarti tak ada pilihan baginya selain 
mendengarkan suara berkarat orang tua itu. Meski ia letih, capek, 
dan besok paginya harus kerja lagi? Akh, betapa tersiksanya aku, 
bisik Anggoro dalam hati. Namun dialog-dialog itu hanya terjadi 
dalam pikirannya.Tak pernah menjadi nyata. Buktinya Anggoro hanya 
diam, mengamati kesungguhan dan keikhlasan orang tua itu membaca 
ayat demi ayat dari kitab suci. "Yang mendengarpun ada pahalanya 
dari Allah."

Kata orang tua itu sambil membalik halaman berikutnya. Seperti 
biasa, Anggoro hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Ia mulai merasa 
tak kuasa untuk menyampaikan keluhannya. Suara-suara malam itu 
terlalu keramat untuk dihentikan.Keikhlasan orang tua itu membuatnya 
tak tega. Rasanya lebih baik ia mengalah dan pulang saja. "Mau 
pulang?" tanya orang tua itu saat melihat Anggoro membuka sila. 
Anggoro hanya mengangguk, mengucapkan salam, kemudian menjabat 
tangan orang tua itu.

"Silahkan! Silahkan!, tampaknya anak lelah sekali. Istirahatlah 
dulu.Tidur sejenak. Nanti bangun sahur bisa segar."Katanya dengan 
senyum. "Justru karena tidak bisa tidur saya ke sini, bapak! Suara 
bapak di mikrofon itu telah merenggut hak tidur saya.Apa bapak tidak 
sadar, ha!" gerutu Anggoro dalam hati. ***

Di masjid sebelah utara, suara sekelompok anak muda tak kalah 
berisiknya. Menggilir mikrofon dari mulut ke mulut. Jam satu malam 
mereka sudah meneriakkan, "Sahuuur! Sahuur!" mengimbau ibu-ibu untuk 
bangun dan memasak. Jam satu malam.Bayangkan! Bukan hanya itu. Lewat 
mikrofon masjid itu mereka juga berpuisi, bersajak, menyampaikan 
salam dari seorang pada yang lain.

Dari Wanto pada Laksmi, dari Salim pada Heni, dari Wawan pada Ida. 
Mereka berlaku seperti penyiar radio, membacakan surat cinta, 
membuat janji,dan menyampaikan kata selamat bobok.Semua itu 
disuarakan di mikrofon masjid.Mengaung di puncak menara. Akh, 
sialan. Bagi Anggoro ini jauh lebih mengesalkan dari suara berkarat 
orang tua tadi. Namun sebagaimana yang terjadi pada orang tua itu, 
ia juga tak berdaya.

Saat ia datang, di teras masjid sudah menyambut beberapa anak muda 
dengan keramahan seorang saudara. "Sini Om! Gabung Om! Ngopi-ngopi 
dulu Om! Nih, ada yang anget-anget Om!"semua mereka 
menyapa. "Beginilah kita Om. Tiap malam begadang, ngumpul-ngumpul, 
bangunin orang sahur, kadang-kadang keliling juga.Yaa, daripada 
ngumpul-ngumpul nggak bener Om, mabuk, nyabu, nyimeng, mendingan di 
masjid lah Om.

Mumpung Ramadan,kan ada juga amalnya bagi kita-kita Om, iya nggak 
Om?" "Sialan kalian! Kalian pikir kelakuan kalian ini baik? Aku tak 
bisa tidur karena suara-suara kalian itu, tau!" gerutu Anggoro tak 
pernah terucap. Kemudian setelah menyeruput habis kopi yang 
disuguhkan anak-anak muda itu,Anggoro pamit. "Pulang Om?" "Ya" "Kok 
buru-buru Om? Nyantai dulu Om!" "Nggak ah, ngantuk. Besok kerja. 
Makasih kopinya ya." "Ya Om, hati-hati Om!" ***

Lain lagi di masjid sebelah Selatan, suara cempreng seorang tua tak 
hentihentinya meneror telinga. Menyanyi tak putus-putus sejak malam 
hingga sahur. Kadang ia bershalawat, kadang lagu: Ya thoibah..., ya 
thoibah....! Kadang ia bernyanyi lagu apa saja dengan irama suka-
suka.Seperti artis kehilangan panggung. Akh,sungguh tak tahu diri. 
Masjid ia jadikan ajang penyaluran bakat. ***

Anggoro melewati malam-malam menyiksa itu dengan mata terjaga. Tubuh 
lelah. Pikiran gundah.Sementara suara-suara keramat terus 
meraungraung meneror gendang telinga. Ia pasrah. Sudah mencoba tapi 
tak berdaya. Mungkin sudah begini keadaannya. Di sini, kebiasaan 
mungkin lebih diterima daripada kebaikan.

Mungkin semua terganggu tidurnya, terganggu qiyamul lailnya, 
terganggu zikirnya.Tapi semua mencoba menerima suara-suara keramat 
yang terus menggema. Hanya sekali setahun.Tak apalah. Meski malam 
terasa lama. Tapi akhirnya berlalu juga. Entah kenapa saat menyadari 
Ramadan sebentar lagi akan pergi, diam-diam dalam hatinya Anggoro 
merasa gembira...? Depok, Syakban 1428 H   

Taufiq Sutan Makmur/ Taufiqqurahman
Lahir di Padang, 28 Februari 1975. Cerpencerpennya pernah dimuat di 
berbagai media masa. Tinggal di Ciracas Jakarta Timur.   


______________________________________________________________________
This email has been scanned by the MessageLabs Email Security System.
For more information please visit http://www.messagelabs.com/email 
______________________________________________________________________
********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]
********************************************************

Kirim email ke