Assalamu'alaikum wr.wb
Kalau kondisi seperti itu didiamkan bisa menimbulkan hubungan yang
tidak harmonis bahkan antipatik.kalau ada yang kaya begitu harus
segera dimusyawarahkan sehingga persoalan menjadi lebih cair.

Sedikit sharing...
Saya pernah mengikuti rapat Rt menjelang Ramadhan dan ada masukan
Mengenai terganggunya istirahat oleh orang yang tadarus dgn microfon
dan membangunkan sahur masih tengah malam.Kemudian disepakati
tadarus dgn pengeras suara hanya s/d jam 22.00 Wib dan bangunin
sahur mulai jam 02.30 Wib.semuanya bisa menerima dgn baik.

Kemudian yang saya perhatikan dari adanya kesepatan tsb.orang
menjadi simpatik sama pengurus Mushola dan banyak yang ikut
tadarusan bahkan ada yang bawain konsumsi segala.Selain itu
untuk sholat lima waktu jamaahnya ada peningkatan jumlah.

Sebenarnya masih ada persoalan yang belum clear yaitu adanya
keinginan sebagian masyarakat untuk berqunut saat sholat subuh
dan sebagian yang lain memilih tidak berqunut,akhirnya sebagian
besar pengurus DKM memilih untuk tdk berqunut,dengan tetap
mempersilahkan yang pakai qunut untuk juga menjadi imam.

Alhamdulilah.....
samapai saat ini nikmatnya ukhuwah masih bisa dirasakan

Syukron
Sulaeman
At 10:45 18/09/2007 +0700, noviadie wrote:
Sebuah Cerita...dari milis sebelah...


----- Original Message -----
From: "lex_alimin" <<mailto:[EMAIL PROTECTED]>[EMAIL PROTECTED]>
To: <<mailto:[EMAIL PROTECTED]>[EMAIL PROTECTED]>

Suara-Suara Keramat
Minggu, 16/09/2007

Sejak pindah di perumahan "Pesona Lembah Hijau",Anggoro merasa lega.
Setelah sekian tahun tinggal nomaden dari satu kontrakan ke
kontrakan lain, akhirnya dia menemukan juga rumah 'idaman', meski
agak jauh di pinggir kota.

Anggoro merasa tak salah pilih. Ia merasa perumahan itu aman dan
nyaman. Akses ke kota lancar, bangunannya kokoh dan yang penting
lokasinya jauh dari banjir. Airnya juga bening dan udaranya masih
sejuk.Ang-goro merasa beruntung mengambil rumah di sana, tetangganya
baik-baik dan anak isterinya betah sekali di rumah barunya.

Tapi satu hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, pada Ramadan
pertamanya di perumahan itu Anggoro mendapatkan teror yang setiap
malam mengusik pendengarannya. Ada suarasuara keramat yang menggema
di menara- menara masjid kampung -penduduk asli- yang membuatnya tak
bisa tidur semalaman.

Anggoro Resah, gelisah, dan akhirnya bangun dan keluar untuk
membuang kesalnya. Di sebuah masjid ia dapatkan seorang tua
berkhidmat melantunkan firman.Tekun dan sungguh-sungguh. Alquran
terkembang di depannya. Mikrofon tergenggam di tangannya. Khusyu'
dengan irama usang yang terbata-bata. Irama yang sumbang dan pecah
di gendang telinga. Mungkin karena ia mengangkat mikrofon terlalu
dekat ke bibirnya.

Atau juga karena suara tuanya yang sudah tak nyaman lagi untuk
didengar. Sudah lima hari ini suara tua itu mengisi malam.
Bersileweran dengan suara-suara keramat lainnya yang menggema di
puncak-puncak menara. Suara-suara yang mengganggu pendengaran.
Merusak keheningan. Membuat mata tak terpicing. Anggoro tak tahu
berapa banyak orang yang terganggu oleh suara-suara itu.

Atau mungkin hanya dia sendiri. Atau semua orang terganggu, tapi tak
berani mengungkapkannya. Entahlah. Pada hari kelima ini Anggoro
sudah tak tahan. Ia kumpulkan semua keberanian yang ia miliki.Juga
semua alasan yang ia punya. Untuk kemudian mendatangi orang tua itu.
Memberitahukan bahwa suara tuanya sudah mengganggu istirahat orang.

Dengan membawa kesal dan kantuk Anggoro mendatangi masjid tempat
orang tua itu berkhidmat. Berwudhu kemudian salat dua rakaat.
Setelah itu duduk sejenak. Menarik nafas, menata emosi, menekan
amarah, lantas menghadap ke orang tua yang usianya hampir tujuh
puluh tahun itu.Anggoro mencoba mencari sela untuk menyampaikan
keluhannya. Namun orang tua itu seakan-akan tak terusik.

Ia terus saja melantunkan firman dengan suaranya yang sumbang. Tak
jelas entah surat apa dan ayat berapa yang ia baca. Bunyi yang
keluar dari mulutnya hampir sama. Bunyi sengau yang dibawa ke
hidung. Saat membalik halaman, orang tua itu melirik pada
Anggoro. "Alhamdulillah, sudah sepuluh juz." Katanya berbagi
kebahagiaan. Anggoro hanya tersenyum, mencoba merasakan kebahagiaan
orang tua itu.

Namun sebelum ia membuka kata,orang tua itu sudah bertekun kembali
dengan bacaannya, mengangkat mikrofon dan mendengungkan suara yang
aneh dari makhraj yang tidak jelas. Anggoro mengamati orang tua itu.
Lamat-lamat. Mencoba menyelami pedalaman hati seorang tua yang sudah
di ambang tujuh puluhan. Apa yang ia rasakan? Apa yang ia pikirkan?
Seolaholah ia sedang memburu waktu.

Mengejar ketertinggalan dari masa muda yang telah berlalu. Bertekun
dalam kekhawatiran. Seperti takkan ada lagi esok, dan seakan-akan
Alquran hendak ditamatkannya dalam satu malam. Hingga orang tua itu
membalikkan halaman berikutnya, Anggoro tak juga bicara. Lidahnya
terasa kelu dan mulutnya seperti terkunci.

"Untuk tabungan akhirat, nak. Mumpung bulan baik.Setiap huruf yang
kita baca dari Alquran ini akan dilipatgandakan pahalanya oleh
Allah." Kembali Anggoro tersenyum, dan ia membiarkan orang tua itu
meneruskan qiro'ahnya.Hingga halaman berikutnya. Hingga berikutnya.
Tak juga ia menemukan sela. Padahal sekian kata-kata sudah tersusun
di pikirannya. Namun tak satupun yang terucap. Jangankan untuk
menyampaikan keluhan, menyampaikan satu kata saja ia tak mampu.

Menyampaikan kalau ia terganggu. Hak istirahatnya terganggu.
Bukankah tubuh ini juga ada haknya? Akh, orang tua ini.Kenapa ia
terlalu egois,mengejar amal untuk diri sendiri tanpa pedulikan orang
lain. Lagi pula yang membuat Anggoro tak habis pikir,kenapa harus
pakai mikrofon? Membaca Alquran tengah malam begini, saat orang lagi
istirahat, bukankah lebih baik pelan-pelan saja?

Apakah dengan mikrofon pahala membaca Alqurannya lebih banyak?
Akh,bahkan Anggoro ingin menyampaikan pada orang tua itu bahwa ia
tidak akan mendapat pahala apapun dengan membaca Alquran keras-keras
seperti itu. Malah dosa yang mungkin ia dapatkan. Karena ia sudah
mengganggu istirahat orang. Puluhan atau mungkin ratusan orang pasti
memakinya.

Mengumpatinya sepanjang malam. Kalau yang terakhir ini ia sampaikan,
Anggoro mengira-ngira orang tua itu pasti tersinggung, dan dia akan
membalas dengan alasan begini. "Kalau ada orang yang terganggu
dengan bacaan Alquran, berarti dia bukan orang yang beriman. Karena
orang yang beriman itu akan bergetar hatinya saat mendengat ayat-
ayat Allah. Kapanpun dan di manapun."

Nah, kalau demikian berarti tak ada pilihan baginya selain
mendengarkan suara berkarat orang tua itu. Meski ia letih, capek,
dan besok paginya harus kerja lagi? Akh, betapa tersiksanya aku,
bisik Anggoro dalam hati. Namun dialog-dialog itu hanya terjadi
dalam pikirannya.Tak pernah menjadi nyata. Buktinya Anggoro hanya
diam, mengamati kesungguhan dan keikhlasan orang tua itu membaca
ayat demi ayat dari kitab suci. "Yang mendengarpun ada pahalanya
dari Allah."

Kata orang tua itu sambil membalik halaman berikutnya. Seperti
biasa, Anggoro hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Ia mulai merasa
tak kuasa untuk menyampaikan keluhannya. Suara-suara malam itu
terlalu keramat untuk dihentikan.Keikhlasan orang tua itu membuatnya
tak tega. Rasanya lebih baik ia mengalah dan pulang saja. "Mau
pulang?" tanya orang tua itu saat melihat Anggoro membuka sila.
Anggoro hanya mengangguk, mengucapkan salam, kemudian menjabat
tangan orang tua itu.

"Silahkan! Silahkan!, tampaknya anak lelah sekali. Istirahatlah
dulu.Tidur sejenak. Nanti bangun sahur bisa segar."Katanya dengan
senyum. "Justru karena tidak bisa tidur saya ke sini, bapak! Suara
bapak di mikrofon itu telah merenggut hak tidur saya.Apa bapak tidak
sadar, ha!" gerutu Anggoro dalam hati. ***

Di masjid sebelah utara, suara sekelompok anak muda tak kalah
berisiknya. Menggilir mikrofon dari mulut ke mulut. Jam satu malam
mereka sudah meneriakkan, "Sahuuur! Sahuur!" mengimbau ibu-ibu untuk
bangun dan memasak. Jam satu malam.Bayangkan! Bukan hanya itu. Lewat
mikrofon masjid itu mereka juga berpuisi, bersajak, menyampaikan
salam dari seorang pada yang lain.

Dari Wanto pada Laksmi, dari Salim pada Heni, dari Wawan pada Ida.
Mereka berlaku seperti penyiar radio, membacakan surat cinta,
membuat janji,dan menyampaikan kata selamat bobok.Semua itu
disuarakan di mikrofon masjid.Mengaung di puncak menara. Akh,
sialan. Bagi Anggoro ini jauh lebih mengesalkan dari suara berkarat
orang tua tadi. Namun sebagaimana yang terjadi pada orang tua itu,
ia juga tak berdaya.

Saat ia datang, di teras masjid sudah menyambut beberapa anak muda
dengan keramahan seorang saudara. "Sini Om! Gabung Om! Ngopi-ngopi
dulu Om! Nih, ada yang anget-anget Om!"semua mereka
menyapa. "Beginilah kita Om. Tiap malam begadang, ngumpul-ngumpul,
bangunin orang sahur, kadang-kadang keliling juga.Yaa, daripada
ngumpul-ngumpul nggak bener Om, mabuk, nyabu, nyimeng, mendingan di
masjid lah Om.

Mumpung Ramadan,kan ada juga amalnya bagi kita-kita Om, iya nggak
Om?" "Sialan kalian! Kalian pikir kelakuan kalian ini baik? Aku tak
bisa tidur karena suara-suara kalian itu, tau!" gerutu Anggoro tak
pernah terucap. Kemudian setelah menyeruput habis kopi yang
disuguhkan anak-anak muda itu,Anggoro pamit. "Pulang Om?" "Ya" "Kok
buru-buru Om? Nyantai dulu Om!" "Nggak ah, ngantuk. Besok kerja.
Makasih kopinya ya." "Ya Om, hati-hati Om!" ***

Lain lagi di masjid sebelah Selatan, suara cempreng seorang tua tak
hentihentinya meneror telinga. Menyanyi tak putus-putus sejak malam
hingga sahur. Kadang ia bershalawat, kadang lagu: Ya thoibah..., ya
thoibah....! Kadang ia bernyanyi lagu apa saja dengan irama suka-
suka.Seperti artis kehilangan panggung. Akh,sungguh tak tahu diri.
Masjid ia jadikan ajang penyaluran bakat. ***

Anggoro melewati malam-malam menyiksa itu dengan mata terjaga. Tubuh
lelah. Pikiran gundah.Sementara suara-suara keramat terus
meraungraung meneror gendang telinga. Ia pasrah. Sudah mencoba tapi
tak berdaya. Mungkin sudah begini keadaannya. Di sini, kebiasaan
mungkin lebih diterima daripada kebaikan.

Mungkin semua terganggu tidurnya, terganggu qiyamul lailnya,
terganggu zikirnya.Tapi semua mencoba menerima suara-suara keramat
yang terus menggema. Hanya sekali setahun.Tak apalah. Meski malam
terasa lama. Tapi akhirnya berlalu juga. Entah kenapa saat menyadari
Ramadan sebentar lagi akan pergi, diam-diam dalam hatinya Anggoro
merasa gembira...? Depok, Syakban 1428 H

Taufiq Sutan Makmur/ Taufiqqurahman
Lahir di Padang, 28 Februari 1975. Cerpencerpennya pernah dimuat di
berbagai media masa. Tinggal di Ciracas Jakarta Timur.


______________________________________________________________________
This email has been scanned by the MessageLabs Email Security System.
For more information please visit http://www.messagelabs.com/email
______________________________________________________________________
********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]
********************************************************


********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]
********************************************************

Kirim email ke