kisah Sang Pencari `Lailatul Qadar`

Oleh Debby Hariyanti Mano

Gorontalo (ANTARA News) - Hidup sebatang kara selama sepuluh tahun
terakhir, tak lantas membuat Kasim (57), tunawisma di salah satu sudut
Kota Gorontalo, merasa kesepian dan putus asa menjalani hidup.

Bermodal sepeda tua, sebuntal pakaian serta pasir penggosok, ia
berpindah-pindah tempat seantero kota, demi sekedar mencari tempat
singgah untuk istirahat, menghilangkan kepenatannya seusai bekerja.

Dari rumah ke rumah, Kasim menawarkan jasanya untuk membersihkan wajan
atau alat dapur lainnya dengan upah seribu hingga lima ribu rupiah.

Tak jarang ibu rumah tangga, hatinya tersentuh dan memberi upah yang
lebih besar. Kasim memang tak pernah menetapkan upah yang harus dibayar,
setelah wajan-wajan mereka bersih dari kerak arang berkat "khasiat"
pasir gosoknya.

Sisa-sisa arang yang `menyelinap` di kuku jarinya, cukup untuk menjadi
bukti bahwa pria paruh baya tersebut ikhlas menjalani pekerjaan yang
unik itu.

Kasim memang pantang menjadi seorang peminta-minta dari rumah ke rumah.

"Allah tidak pernah buta, Dia selalu memberi pertolongan sehingga saya
bisa bertahan hidup seperti saat ini," ujarnya, ketika ditemui di
pinggiran kota Gorontalo.

Kepergian istri dan anak kehadirat Allah SWT sepuluh tahun silam,
membuatnya tersadar bahwa ia harus segera membenahi hidupnya. Sebelumnya
Kasim dihabiskan hari-harinya dengan mencuri dan berjudi.

"Mungkin anak dan istri saya sengaja diambil Tuhan, sebagai peringatan
untuk segera bertobat dan meninggalkan dua perbuatan haram itu,"
katanya.

Saat itulah titik balik kehidupan Kasim berubah. Ia kembali ke jalan-Nya
dan berniat membersihkan dosa-dosa hingga hidup selesai dijalaninya.

Perasaan menyesal dan bersalah, membuatnya semakin "melek" agama. Ia
mengawali dengan belajar mengaji pada seorang ustad, dan kemudian
berkelana dari masjid ke masjid.

Bulan Ramadhan seperti saat ini, merupakan saat yang paling
ditunggu-tunggu. Ia selalu menyambutnya dengan suka cita. 

"Aku ingin mendapatkan malam seribu bulan. Aku ingin mengejar
pengampunan di bulan Ramadhan," ujarnya.

Ia selalu teringat kata-kata guru mengajinya, yang mengutip hadist yang
dirawikan Bukhori dan Muslim, "Barang siapa mengerjakan ibadah di malam
Lailatul Qadar karena imannya kepada Allah dan karena mengharapkan
keridhaan-Nya, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu." 


Sepuluh Malam Terakhir

Kitab suci memang menyebutkan Lailatul Qadar adalah malam yang lebih
baik baik dari seribu bulan. Umat Muslim percaya pada malam itu
pintu-pintu langit dibuka, doa-doa bakal dikabulkan dan segala takdir
yang terjadi pada tahun itu ditentukan. 

Karena itu, Kasim terus mencari-cari malam Lailatul Qadar, terutama di
malam-malam ganjil, pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam tiga
tahun belakangan ini, Kasim mengaku tak pernah melewatkan 10 malam
terakhir itu, demi memohon dihapuskan dosa dan dikabulkannya doa.

Akhir Ramadhan tahun ini pun ia telah bersiap-siap menghabiskan waktunya
di 10 malam terakhir dengan beritikaf, atau berdiam diri di masjid
dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari
maksiat.

Pekerjaan membersihkan wajan, yang terkadang harus dilakoninya hingga
malam hari, sengaja diabaikan pada 10 malam terakhir yang telah
dinantikannya.

"Saya berusaha agar sepuluh malam terakhir Ramadhan tak terlewatkan,
sebab tidak seorangpun tahu kapan datangnya Lailatul Qadar diantara
malam-malam tersebut," ujarnya dengan pandangan menerawang.

Ia mengaku telah mempelajari cara mencari Lailatul Qadar dari berbagai
buku yang ia baca saat singgah di beberapa masjid serta penjelasan
sejumlah ustadz yang pernah ia temui di sepanjang perjalanannya.

Ia pun tak pernah bisa memastikan, apakah ia telah mendapatkan Lailatul
Qadar itu, namun yang pasti ia merasa hidupnya jauh lebih tenang, karena
telah bertaubat.

Kasim mengejar Lailatul Qadar dengan melakukan shalat tarawih, tahajud,
beristighfar, berdzikir, membaca Al Quran, serta bersedekah.

Kendatipun penghasilannya dari membersihkan kerak wajan hanya beroleh
rupiah yang tak seberapa, namun ia masih menyisihkan sebagian rezekinya
untuk kaum fakir, seperti dirinya.

"Terima kasih pak, semoga mendapat rezeki yang lebih besar lagi," ucap
seorang pengemis sambil berlalu setelah mendapatkan uang logam 500
rupiah dari Kasim.

Rezeki, kata Kasim, tak hanya sekedar berbentuk rupiah, karena itu tak
pernah mendatangkan kepuasan bagi manusia. Baginya, rezeki terbesar
dalam hidupnya adalah perasaan bersyukur kepada-Nya, sehingga berapapun
upah yang diperoleh, Kasim tak pernah protes, marah, menyesal ataupun
merasa rugi.

Makna berbagi dengan sesama pun bagi Kasim tak hanya sebatas saling
memberi, namun juga saling mendoakan untuk kebaikan hidup di dunia dan
akhirat. (*)
Copyright © 2007 ANTARA
 

No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition. 
Version: 7.5.488 / Virus Database: 269.13.39/1045 - Release Date:
10/2/2007 6:43 PM
 
********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]
********************************************************

Kirim email ke