Cinta Tak Mati-Mati di Daratan Jauh
oleh Martin Aleida

Di antara kaum eksil Indonesia di Eropa Barat dialah yang tertua sekarang ini. 
Usianya 91 tahun. Dan Nugroho adalah satu diantara sedikit eksil yang sejak 
dikejar-kejar Order Baru belum pernah menginjakkan kaki kembali di tanah air. 
Meskipun hanya sebagai turis. Diantara mereka ada yang beranggapan berkunjung 
ke kampung halaman, yang terpaksa ditinggalkan setengah abad lalu, hanya akan 
menjadi perjalanan hampa. Dan menyakitkan. Ayah-ibu, sanak-saudara, dan handai 
tolan sudah tiada, menemukan ajal karena kekerasan yang didukung dan 
dilancarkan oleh militer atau meninggal secara alamiah. Segala sesuatu sudah 
berubah, dan perjalanan semacam itu juga hanya akan membut mereka terasa berada 
di daratan yang asing.
​Musykil untuk menduga seberapa besar cinta seseorang pada tanah airnya. Pada 
Nugroho cinta serupa itu menemukan batasnya yang jelas. Karena kasih sayangnya 
pada istrinya menjadi terlalu penting jika dibandingkan dengan sekedar 
menginjakkan kaki kembali di bumi yang pernah diperjuangkannya. “Dan saya tak 
pernah merasa kehilangan tanah air. Pikiran saya hanya pada dia,” katanya 
bergetar mengarahkan pandangannya kepada istrinya yang duduk di seberang meja 
tamu rumah mereka di Amsterdam.
​Dan dia bercerita tak mungkin melakukan perlawatan ke Indonesia, karena dia 
tak bisa membawa serta istrinya, yang sewaktu-waktu kumat penyakitnya. Istrinya 
gamang dan tegang kalau berpindah pesawat terbang. Berpindah-pidah tempat 
menginap saja sulit. Sekalipun itu di rumah teman lama, kalau saatnya tidur 
matanya tak bisa terpejam karena bau bantal yang lain dibandingkan bantal 
sebelumnya. Dia sulit menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru. “Saya tak 
bisa membawa dia ke Indonesia dalam keadaan dia seperti itu. Kalau dia ngaco, 
bingung saya. Waktu kami pindah ke sini. Di luar sana, di seberang kanal itu,” 
Nugroho menoleh ke luar jendela, “dia melihat tahanan G30S berjejer di situ. 
Waduh bingung saya. Dia suka keluar, dan saya tidak bisa mengerjakan yang lain, 
kecuali harus mengawasi dia.”
​Cinta dan kewajiban, dua sisi dari sekeping kehidupan. Dan Nugroho 
menuntaskannya sampai pun di daratan jauh, daratan di mana dia terdampar. Dia 
tidak pergi dan tidak akan pernah pergi meninggalkan daratan lain, yang telah 
memperkaya hidupnya, yang bernama istri. Dia terkungkung oleh kewajiban menjaga 
sang kekasih sejati yang sudah menemaninya lebih dari enampuluh tahun. 
Melampaui usia pernikahan emas. Sejak dia masih muda sampai kini ketika dia 
sendiri sudah tak bisa lepas dari belenggu sebuah tongkat. 
Dengan lirih, sebagai pernyataan menyesal, sang istri mengatakan semua 
tingkah-lakunya itu berlangsung di luar kesadarannya. Dalam banyak kesempatan 
Nugroho selalu memohon kepada tamu untuk tidak menanyakan masa lalu yang getir 
untuk mencegah kumatnya stress yang diderita istrinya itu sejak mendengar 
kejadian-kejadian yang ngeri dan menyengsarakan ketika rezim Jenderal Suharto 
melancarkan pembinasaan tanpa pandang bulu terhadap orang-orang komunis, 
nasionalis, dan kaum kiri lainnya menyusul G30S.
Dalam sebuah kunjungan kepada keluarga itu, pernah seorang mahasiswa Indonesia 
tingkat doktoral di bidang politik bertanya siapa-siapa saja yang memberikan 
bantuan ketika mereka tiba di Negeri Belanda sebagai pencari suaka politik. 
Nugroho tidak mau menyebutkan nama. Dia hanya menyebutkan tiga orang. Sang 
istri dengan sengit menimpali, “Sudah dijelaskan bagaimana kami sampai ke sini, 
kok nanya-nanya terus, apa kamu mau menangkap saya?” Percakapan jadi 
menegangkan, memang. Apalagi untuk sang istri, tentunya. 
Lupa tanggal persisnya, namun Nugroho ingat dia bersama istri tiba di Berlin 
Timur (ketika itu) bulan Maret 1965 untuk memikul tugas sebagai koresponden 
Harian Rakyat di Jakarta. Dia juga diangkat oleh Comite Central (Komite Pusat) 
PKI sebagai penghubung dengan Partai Komunis Jerman. Di Harian Rakyat dia 
bekerja sebagai karikaturis. Dan goresan-goresan tangan dan pikirannya muncul 
secara tetap pada hari Sabtu di halaman depan bagian bawah koran itu, berupa 
jurnal politik selama sepekan dalam bentuk karikatur. Dia juga acapkali turun 
ke lapangan menuliskan berita atau laporan perjalanan. Di kalangan wartawan di 
Jakarta ketika itu, dia dikenal sebagai pribadi pandai bergaul dan menjadi 
tempat bertanya mengenai berbagai hal. Abang kandungnya, Subekti, adalah 
wartawan harian Sinar Harapan di Jakarta, yang pernah menerima penghargaan 
sebagai reporter pemerhati perkembangan ilmu dan tekonologi dari Badan Pusat 
Penelitian dan Pengembangan Teknologi.
Dia bukanlah sebagaimana orang-orang kiri pada umumnya, apalagi yang mengaku 
komunis, yang terkesan kaku. Dogmatis. Dalam kata-kata dia menunjukkan 
penampilan sebagai sosok yang melihat hidup ini enteng-enteng saja. Penuh tawa. 
Misalnya, ketika menceritakan sang istri tidak bisa tidur kalau mencium bau 
bantal yang lain sewaktu mereka berdua menumpang berpindah-pindah dari rumah 
teman yang satu ke teman yang lain. “Bau bantalnya lain, dia bisa tidak tidur 
semalaman. Tegang. Kalau bau saya dia senang…hahaha.”
Katanya, dia diangkat sebagai koresponden Harian Rakyat dan jadi penghubung PKI 
dengan Partai Komunis Jerman, karena, walaupun Inggris, Belanda, Perancis, dan 
Jermannya, “… tidak begitu lancar, tetapi untuk PKI sayalah yang terbaik…” Dia 
bilang ketika mengurus izin tinggal di Belanda, sementara menemani, menjaga 
istri, dia harus menelepon ke sana-ke sini. “Untung bahasa Belanda yang sudah 
tidak saya gunakan selama limapuluh tahun masih baik, karena telepon di Belanda 
ini baik…”
Agaknya, karena gaya hidupnya yang penuh humor dan terkesan tak pernah serius 
itulah maka dia tampak awet. Tetap sehat. Ingatannya baik, logikanya jalan. 
Hanya menjelang akhir 2015 dia masuk rumahsakit kerena serangan stroke enteng. 
“Memang setelah kena stroke itu saya jadi tidak serius seperti ini hahaha …” 
candanya.Apa yang Bung kerjakan ketika masih berada di Berlin (Timur)?​
Tugas saya waktu itu memberitakan apa saja tentang Jerman Timur. Saya mengirim 
satu feature, tentang pertanian, belum sempta dimuat. peristiwa terjadi. Berita 
ditulis dengan menggunakan mesin ketik, terus dikirim lewat telegram, atau 
express mail. Ketika itu belum ada komputer. Tulisan pada waktu itu bisa 
dikirim dengan menggunakan telex, tetapi saya tak punya. Selama saya di sana 
belum pernah ada pesan khusus antara Partai Komunis Jerman kepada PKI maupun 
dari PKI kepada Jerman.Kapan mendengar berita tentang G30S, apa reaksi Bung?
Saya dengar mengenai peristiwa itu pada 1 Oktober 1965, dari berita radio. 
Reaksi saya? Hidup Aidit dong…! Meskipun saya memiliki banyak pertentangan 
pendapat dengan dia, walau bukan prinsipil. Kalau Aidit bilang begini, oke. 
Ketika terjadi pengejaran terhadap orang komunis saya tetap punya harapan. 
Dalam pertemuan berhadap-hadapan dengan orang dari Partai Komunis Jerman Timur 
mereka mengkritik, “Kok berbuat begitu?” Mereka mau menyalah-nyalahkan PKI. 
Mereka meminta penjelasan. Saya jawab, saya tidak punya hubungan dan tak 
mengerti apa yang sedang terjadi. Saya cuma tahu partai saya benar hahaha…
​Saya lebih banyak mengurus istri daripada mengerjakan pekerjaan lain setelah 
pecahnya G30S. Dia sakit di Berlin dan kami berangkat ke Peking tahun 1967. 
Langsung tanpa transit. Kami berada di Tiongkok sampai tahun 1990, lantas masuk 
ke Belanda. Waktu melapor pada polisi di Belanda pakai bahasa Inggris, tapi 
kemudian setelah tahu saya bisa Belanda, lantas bahasa Belanda.Ada hambatan 
ketika memasuki Belanda?
Kami masu ke Belanda sebagai turis untuk jangka waktu tiga bulan.Pakai paspor 
apa? Palsu atau yang sudah tak berlaku sebagaimana kawan-kawan lain 
melalukannya?
Tamu agung yang datang dari RRT kok … hahaha. Tak ada paspor palsu. Dari Peking 
kami memperoleh semacam surat jalan. Ditanggung oleh Tiongkok. Mereka 
memberikan laisser passer. Artinya orang ini orang baik, biarkan dia lewat. 
Mendarat di Jerman Timur, wah diperiksa, padahal saya pernah di situ. Loh, 
orang ini ‘kan pernah di sini! kata yang memeriksa. Lantas kami jadi tanggungan 
Jerman Timur. Menginap di Jerman, paginya ke Belanda menumpang pesawat Belanda. 
Waktu itu tidak bisa langsung ke Amsterdam harus berhenti dulu di Moskow. 
Sampai di sini, surat keterangan dari RRT itu dirampas untuk kemudian diganti 
dengan surat keterangan Belanda, padahal saya mau pakai lagi sebagai turis 
…hahaha.Berapa lama urusannya?
Empat bulan kemudian dapat izin tinggal di Belanda.Selama menunggu ditempatkan 
di mana?
Kami menumpang di rumah kawan-kawan. Kami mereka terima dengan resmi. Tuanrumah 
melaporkan bahwa kami tiggal pada mereka dan pemerintah membayar mereka sebagai 
pemberi tumpangan. [Kita juga dapat uang, kata istrinya menimpali]. Waktu itu 
belum dapat paspor, baru izin tinggal. Sebagai pencari suaka, untuk satu bulan 
pada waktu itu, kami sudah dapat 1.000 gulden. Di tempat kami tingal, di rumah 
kawan itu, disediakan satu kamar untuk kami berdua, dan dia dibayar 200 gulden 
perbulan. Yang 800 untuk makan kami. Sering juga uang untuk sewa kamar itu 
tidak diterima kawan yang menjadi tuan rumah. Selama empat bulan itu kami 
menginap di tiga tempat. Dan kami pilih-pilih tempat. Kami pilih yang lebih 
kaya jadi lebh enak ….
.
Boleh tahu siapa saja kawan itu?
Yang itu nggak boleh tahu. Tetapi, mereka masih ada, tetapi tertutup. Kami ikut 
membantu kalau mereka sakit. Ikatan persahabatan yang dulu itu nggak hilang. 
Mereka membanu, dan ada yang malah memberikan bantuan uang. Ada seorang yang 
flat-nya dia kosongkan dan kami tinggal di situ. Kalau ditanya hubungan kami 
sebagai satu komunitas, kami selalu baik. Diantara mereka ada yang ganteng ada 
yang cantik. Sampai sekarang tak pernah bertengkar.
Apa pekerjaan Bung yang pertama?
Begitu sampai di sini umur saya sudah 65 tahun. Jadi, diberikan pensiun oleh 
negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku di sini. Tua, sudah tak ada 
yang mau mempekerjakan orang setua saya.Tapi, jumlah uang pensiun yang saya 
terima diperkecil karema saya bertempattinggal di negeri ini tidak lama. 
Pokoknya dapat pensiun dari negara.Bagaimana perasaan Bung ketika itu?
Saya harus memikirkan dia. Rumah belum dapat. Masih nebeng di tempat kawan. Dia 
harus diurus. Saya cari keterangan. Nelpon pakai bahasa Belanda yang masih 
baik, karena telepon di Belanda ini baik … hahaha. Perawatan kesehatannya saya 
harus urus. Kalau dia ditangani di tempat perawatan, penterjemahnya saya juga. 
Jadi keadaannya payah banget … Selain itu, di tempat saya menginap saya juga 
harus membantu, karena orang itu sendiri bahasa Belandanya harus saya bantu 
setiap waktu. Begitulah kegiatan setiap hari. Selain itu, seminggu sekali saya 
harus lapor kepada polisi, sebelum dapat izin tinggal. Tak boleh ke mana-mana, 
harus tetap di Amsterdam.Kalau ada, apa penyesalan Bung dalam menjalani hidup 
yang panjang ini?
Sayang bahwa saya tidak sempat tamat sekolah SMP di Yogya pada zaman Belanda. 
Padahal, saya termasuk murid yang pintar. Saya dapat beasiswa. Jadi, pikiran 
saya tidak ada pikiran proletar toh? Famili saya termasuk penindas rakyat, 
tetapi tidak saya rasakan. Waktu itu yang saya rasakan adanya Indonesia itu 
adalah karena adanya orang-orang pergerakan. Seandainya saya seperti abang 
saya, yang bisa tamat SMA zaman Belanda, yang waktu itu dianggap sudah tinggi 
sekali. Dia bekerja di bidang keuangan. Enak hidupnya sampai dia meninggal. 
Waktu saya di sini dia masih mengirimi saya duit. Famili saya, kalau ke sini, 
pada memberikan duit, termasuk salah seorang jaksa pada International People’s 
Tribunal di Den Haag tahun lalu. Dia menikah dengan putri dari keluarga saya. 
Kemarin dia tidak datang, hanya kirim salam.
​Saya jadi begini, jadi karikaturis, karena tak bisa sekolah lagi. Macet. 
Pengetahuan saya cari sendiri, dengan membaca sendiri. Masuknya Jepang membuat 
sekolah terhenti. Bahasa Belanda tak boleh, bahasa saya sendiri belum tahu. 
Dengan famili bahasa Jawa halus macet. Ketika di Jakarta ngomong Betawi bisa, 
karena di ‘luar kan tak ada yang berbahasa Belanda. Ketika Jepang masuk 
menyerang, sekolah-sekolah Belanda tutup. Baru kemudian sekolah-sekolah 
Indonesia dibuka. Saya membaca buku bahasa Melayu dengan bahasa pengantar 
Belanda. Di sekolah saya jadi tertawaan, “Ini apa?” tanya guru. Kuping, jawab 
saya. Terman-teman tertawa, mestinya “Telinga.” Bilang “bisa”, tak boleh, harus 
“dapat.”
Setelah terjun ke dalam masyarakat, ikut latihan militer di bawah Jepang, saya 
tetap beranggapan otak saya itu rendah. Jepang di mata saya tetap rendah. 
Bangsa saya juga. Saya tetap beranggapan sekolah Belanda itu lebih baik. 
Pikiran saya kok kolonial ya …?
Kakek saya jadi pangreh praja di Jawa Tengah. Adamiral Nogi adalah panglima 
perang Jepang ketika mengalahkan Rusia tahun 1905. Kakek saya itu memberi nama 
anaknya Nogi, sebagai penghormatan untuk Asia yang untuk pertama kali 
mengalahkan Eropa. Di bawah Belanda dia begitu benci terhadap kolonialisme, 
tetapi toh dia menjadi wedana. Dia menindas ke bawah, tetapi Belanda dia benci 
sekali. Anaknya yang kedua, Ibu saya, diberi nama Caroline, pulau di mana 
tentara Rusia dikalahkan. Saya pikir, kakek itu ‘kan sudah nasionalis toh… 
Tapi, toh saya masih merasa rendah. Saya menyesal kok saya tak mengenal Mbah 
saya dengan baik. Memang, kalau Lebaran saya sungkem padanya.
Saya pikir, saya ini nasionalis nggak, komunis juga nggak hahaha... Setelah 
saya pelajari betul ‘kan PKI belum pernah menjadi komunis sungguhan? Semua 
pikirinnya nasionalis, sampai jatuh pun nasionalis. Hanya sebentar, pada waktu 
Muso di Madiun itu komunis, tetapi rakyat tidak mengerti. Jadi, percuma juga. 
Muso terlalu maju. PKI salah teori. Bukan Aidit saja, seluruh PKI. Yang betul 
cuma satu: saya… hahaha…
Saya terkenang pada Zamzamir Hamzah, wartawan HR ketika itu. Dia bilang, 
sekarang kita dipimpin oleh KOM dari NASAKOM. Bung Nug. Nugroho. Minta duit 
bisa lewat dia, ngebon. Saya sendiri juga ngebon. Zamzamir tidak bilang kepada 
saya secara langsung. Dia ucapkan kepada istri saya, karena mereka satu kelas 
di Akademi Jurnalistik Dr Rivai di Jakarta ketika itu. [Seingat istrinya, di 
akademi tersebut Jawoto, pemimpin redaksi kantor berita Antara yang kemudian 
jadi duta besar RI di Peking dan meninggal di sana, tidak ikut mengajar. Hanya 
beberapa wartawan senior lain yang memberikan kuliah. Kalau dia tak salah 
ingat, Ina Slamet, dosen antropologi di Universitas Indonesia, juga mengajar di 
situ.)Kapan bergabung dengan Harian Rakyat?
Sebagai karikaturis saya bergabung sejak 1958. Datang seminggu sekali. 
Celakanya ketika itu yang dicari ‘kan yang murah, jadi lakunya karya saya pada 
waktu itu ‘kan di PKI. Waktu muda saya kesasar, masuk Pemuda Pathuk, kelompok 
pemuda Partai Sosialis Indonesia di Yogya.Sempat berkenalan dengan Syam 
Kamaruzzaman di situ?
Ya, kenal. Dia, seperti saya, berusia sekitar 20. Dia lebih muda setahun dari 
saya. Dia bersama saya. Pandainya cuma bedil. Kalau mencari-cari musuh. Tak ada 
diskusi khusus di Pathuk itu, yang ada propaganda mengenai tulisan Syahrir, 
“Perjuangan Kita.” Brosur itu harus dibaca. Nggak pernah didiskusikan. Di situ 
ada pelajaran bahasa Inggris. Yang banyak, ya avonturir-avonturir. Saya besama 
Syam di situ. Syam itu orang pemberani. Saya cerita tentang dia ya… Waktu itu 
kami sudah di atas gunung, Gurkha yang jadi tentara Inggris di bawah. Waktu itu 
tentara Ingris yang masuk lebih dulu, tentara Belanda belum ada. Suasana nggak 
karuan. Lapar. Syam kena malaria lagi. Dapat kiriman makanan, tapi sudah bau, 
basi. Moril sudah hancur dah... Terdengar bunyi tembakan dari bawah. Orang desa 
naik ke atas melaporkan serdadu Cungking datang. Mereka bilang begitu, karena 
Gurkha ‘kan pakai kuncir rambut. Cungking pada bakar-bakar, kata penduduk 
melapor. Komandan kami bekas KNIL. Dia bilang siapkan. Kita siap. Tak ada yang 
bergerak. Syam yang bergerak, padahal dia sedang malaria. Di situlah kelihatan 
keberaniannya. Yang lain tidak. Jadi hilang malarianya. Hebat dia … Saya hormat 
pada dia.Bung bilang komandan tertinggi pasukan di mana Bung tergabung adalah 
Suharto. Pernah ketemu?
Nggak, dia kan naik kuda.Perkenalan dengan Syam berkepanjangan?
Sampai 1958. Sesudah itu saya sibuk sendri.Bisa diceritakan pengalaman dalam 
Peristiwa Madiun?
Tentang Madiun jangan tanya saya. Saya hanya tukang gambar. Dan ketika mereka 
lari, saya ditinggalkan karena bukan orang mereka. Saya tidak melihat banyak 
orang yang dibunuhi. Di Madiun itu ada badan kongres pemuda, lembaga di mana 
pemudanya terdiri dari banyak utusan yang dikirim dari berbagai daerah, 
berbagai oranganisasi, untuk kampannye anti-Belanda. Issue-nya adalah 
nasionalisme. Saya yang bikin gambarnya, pakai gambar wayang, saya yang bikin. 
Saya ‘kan bukan PKI.
Ada tokoh PKI yang berpidato di gelora pemuda Madiun. Pada suatu hari dia 
berhalangan. Lantas saya yang diminta menggantikannya, padahal saya hanya 
tukang gambar. Sombongnya saya pada waktu itu, permintaan itu saya terima. Saya 
tuliskan pidatonya, tapi bukan saya yang pidato, karena suara saya tidak enak. 
Dan dipuji! Ini bukan sombong loh nih…. Isinya baik, kata orang-orang, dan yang 
membacakan mengatakan enak dibacakannya. Yang saya gantikan betemu dengan saya 
kemudian. Ternyata dia tidak senang pada saya. Dia merasa lebih rendah dari 
saya. Sesudah itu saya tak mau lagi.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Bung jadi tukang gambar. Dengan gambar juga 
berjuang. Kenal Soedjojono?
Tidak. Tidak kenal secara pribadi. Dengan Haryadi saya kenal baik.

Kirim email ke