Tampilkan pesan asli     Pada Senin, 23 Januari 2017 5:07, "'Chan CT' 
sa...@netvigator.com [nasional-list]" <nasional-l...@yahoogroups.com> menulis:
 

     Kuda Troya CIA di Ranah Budaya Selama 50 tahun lebih CIA menerapkan 
strategi untuk mempengaruhi masyarakat dunia ketiga lewat produk-produk 
kebudayaan. Di Indonesia strategi itu berjalan sukses, bersama dengan kejatuhan 
Bung Karno 20 Januari 
2017http://koransulindo.com/kuda-troya-cia-di-ranah-budaya/  Finks: How the CIA 
Tricked the World’s Best Writers [Foto: istimewa] Koran Sulindo – Munculnya 
sebuah buku Finks: How the CIA Tricked the World’s Best Writers yang ditulis 
Joel Whitney menandai 50 tahun badan intelijen Amerika Serikat (AS) menyusup ke 
ranah sastra dan kebudayaan. Kendati bukan pertama yang menguak hal itu, buku 
yang diterbitkan akhir tahun lalu mengungkap bagaimana CIA merekrut sastrawan 
Eropa dan di berbagai belahan dunia untuk melawan pengaruh komunisme. Kali 
pertama fakta ini terungkap lewat reportase wartawan New York Times Tom Wicker 
pada April 1966. Kemudian, dilanjutkan oleh majalah Ramparts melalui reportase 
wartawannya bernama Warren Hinckle. Selanjutnya, Frances Stonor Saunders 
meneliti dokumen-dokumen yang termasuk “deklasifikasi” menemukan hubungan CIA 
dengan Congress for Cultural Freedom (CCF) yang kemudian dibukukan sebagai Who 
Paid the Piper? CIA and the Cultural Cold War pada 1999. Jejak CIA melalui CCF 
dapat ditemui di berbagai negara termasuk Indonesia. Setidaknya lembaga ini 
disebut memiliki kantor perwakilan di 35 negara. Mereka juga menerbitkan lebih 
dari 20 majalah bergengsi dan mendanai penulis serta sastrawan ternama yang 
anti-komunis. Dalam buku itu, Whitney merinci bagaimana CIA merancang operasi 
budaya semasa Perang Dingin. Salah satunya membongkar karya-karya sastra yang 
dimuat dalam majalahThe Paris Review. Di majalah itu kerap memuat wawancara 
beberapa nama sastrawan dunia seperti Ernest Hemingway, William Faulkner, T S 
Eliot, Thornton Wilder dan Vladimir Nabokov. Juga menerbitkan karya fiksi dan 
puisi seperti Jean Genet, Samuel Beckett, Philip Larkin, V S Naipaul dan Philip 
Roth. Ketika majalah tersebut diluncurkan pada 1953, salah satu dari tiga 
pendirinya yaitu novelis Peter Matthiessen diketahui bekerja untuk CIA. Majalah 
itu rupanya hanya dijadikan sebagai kedok. Pendiri lainnya, George Plimpton 
menyadari sumber dana majalah berasal dari CCF yang didanai CIA. Di buku yang 
sama, CIA disebut terlibat langsung dalam usaha menerbitkan karya klasik 
sastrawan Rusia Boris Pasternak. Karyanya yang terkenal berjudul Doctor 
Zhivago. Ia sosok yang mengaku independen ketika Revolusi Rusia berkecamuk pada 
1917. Pemerintah Uni Soviet kala itu berusaha menekannya karena karyanya itu. 
CIA melakukan berbagai cara untuk mempromosikan Doctor Zhivago. Bahkan lembaga 
tersebut memborong ribuan bukunya agar masuk dalam daftar best-seller. Dari 
situ kemudian, CIA melobi panitia Nobel agar sosok Paternak mendapatkan Nobel 
Sastra. Meski akhirnya Paternak mendapatkan Nobel Sastra, ia kemudian 
menolaknya. Selain di Eropa, dalam bukunya itu, Whitney juga menuliskan secara 
gamblang bagaimana CIA menyusup ke Amerika Latin lewat majalah del Congreso por 
la Libertad de la Culturaatau sering disebut sebagai Cuadernos. Ini dimaksudkan 
untuk menangkal pengaruh Revolusi Kuba yang dilandasi semangat marxisme. 
Majalah ini pada akhirnya mampu membujuk kelompok kiri radikal agar yakin bahwa 
AS pernah melakukan sejumlah kebaikan di Amerika Latin. Tampaknya, wacana di 
publikasi mampu meredam kebencian orang-orang kiri moderat terhadap AS. Memang, 
orang-orang kiri moderat ini secara praksis tidak terlalu komunis. Setelah 
Revolusi Kuba, orang-orang seperti inilah yang menjadi target CIA. Ketimbang 
berhadapan langsung dengan kiri radikal, CIA justru memilih “bersekutu” dengan 
kelompok penulis “kiri” moderat yang dapat menjangkau lebih banyak orang. “Itu 
sebabnya, kenapa operasi kebudayaan penuh kerahasiaan. Tanpa diskusi publik 
mengenai tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya, tidak akan ada akuntabilitas, 
dan kamu bisa leluasa mengganti-ganti targetnya,” kata Whitney dalam sebuah 
wawancara divice.com pada awal tahun ini. Whitney mengatakan, alasan CIA 
merekrut penulis “kiri’ seperti Gabriel Marquez karena mereka ingin menjadi 
wasit dari berbagai perdebatan intelektual antara kiri progresif dan kiri 
moderat terutama di bidang sastra dan kebudayaan. Majalah yang mereka bangun 
itu kemudian menjadi wasit yang selalu memenangkan salah satu pihak. Maka, 
tidak usah heran ketika kiri moderat selalu menguasai pemberitaan media massa 
ketimbang kiri progresif yang anti-perang justru terpinggirkan. Kata Whitney, 
ini mirip semacam trik Kuda Troya, ketika mereka menggunakan figur Garcia 
Márquez, peraih Nobel dengan karyanya One Hundred Years of Solitude itu. 
Sastrawan yang dibina CIA selalu menguasai debat kebudayaan, semisal selama 
Revolusi Kuba. Tentu hal ini terkesan alamiah. Tapi, tentu saja ini tidak 
demokratis dan tidak dapat dipertanggunggjawabkan. Ketika para sastrawan ini 
menyadari mereka dimanfaatkan CIA, posisinya tentu saja tidak enak. Terkadang 
untuk menutupi kedoknya, kritikus asal Uruguay, Emir Rodríguez Monegal – 
pengelola majalah Mundo Nuevo (Dunia Baru) setelah Cuadernos disudahi pada 1963 
– menerbitkan esai anti-perang Vietnam. Itu sekadar meyakinkan publik bahwa ia 
bukanlah antek CIA. Jalan Keras Kebudayaan
Buku serupa yang ditulis Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan  Budaya Pasca 
1965 menemukan jejak CIA melalui CCF di Indonesia. Untuk menelusuri jejaknya, 
mau tidak mau, kita harus menelusuri sejarah pembentukan kelompok Manifes 
Kebudayaan (Manikebu). Lewat buku terjemahan yang diterbitkan kali pertama pada 
2013 itu, Wijaya membuka mata kita bahwa pendirian lembaga tersebut tidaklah 
murni untuk kebudayaan. Manikebu dibentuk sesungguhnya untuk memberangus paham 
komunisme di Indonesia, pemberangusan yang menjadi bagian politik kapitalisme 
global AS. Jauh sebelum Manikebu dideklarasikan, untuk mempromosikan 
liberalisme sebagai upaya melawan komunisme di bidang kebudayaan, pemerintah AS 
mendirikan CCF di Berlin pada 1950 melalui agen CIA Michael Josselson. Misinya 
jelas. Agar para seniman dan intelektual di seluruh dunia lepas dari komunisme. 
CCF dikendalikan oleh unit khusus CIA  dengan nama Office of Policy 
Coordination yang dikepalai Frank Wisner. Mochtar Lubis sebagai pemimpin harian 
Indonesia Raya (1949-1974) dikenal cukup dekat dengan pemimpin Partai Sosialis 
Indonesia seperti Sjahrir dan Sumitro Djojohadikusumo dan juga berpengaruh 
membangun jaringan dengan Barat. Pada tahun 1951 Mochtar merupakan anggota 
lembaga International Press Institute yang yang dibiayai AS dan bermarkas di 
Zurich. Ia juga dekat dengan diplomat AS seperti Willard Hanna, ahli sejarah, 
budaya, dan politik Indonesia. Bersama dengan elite PSI itu, Mochtar menjadi 
akrab dengan CCF dan akhirnya menjadi anggota pada 1954, setahun sebelum 
kongres pertama CCF di Asia. Mochtar bersama Sutan Takdir Alisjahbana 
menghadiri kongres itu. Sedangkan Sumitro ditunjuk sebagai ketua kehormatan 
konferensi CCF di Asia. Dari sinilah bermula terjalin kedekatan Mochtar Lubis 
dengan Ivan Kats, perwakilan CCF untuk Asia. Bahkan kedekatan hubungan tersebut 
berlanjut hingga generasi setelahnya, yakni Goenawan Mohammad. Lewat Ivan Kats 
itulah Mochtar Lubis dan kawan-kawan memperoleh banyak karya yang disponsori 
CCF dengan gagasan liberalisme seperti majalah, pamflet, dan karya sastra. 
Misalnya, karya-karya penulis antikomunis seperti Albert Camus dan Miguel de 
Unamuno. Goenawan Mohammad malah mengakui ketika itu mereka sangat antusias 
membaca buku-buku CCF dan menjualnya kembali. Seperti di negara lain, Wijaya 
juga mencatat salah satu media yang begitu antusias menyambut diplomasi 
kebudayaan AS pada masa Perang Dingin. Jurnal kebudayaanKonfrontasi, namanya. 
Sejak berdiri pada 1954, Konfrontasi secara reguler menerbitkan terjemahan esai 
dan sastra dari sumber-sumber internasional. Redakturnya merupakan para 
simpatisan PSI seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Beb Vuyk dan Hazil Tanzil. 
Konfrontasi kemudian disebutkan sebagai media lalu lintas kebudayaan antara 
Indonesia dan Barat dalam kaitannya dengan pencarian identitas kebudayaan 
Indonesia dalam konteks nasionalisme pasca-perang. Sutan Takdir dan juga Emir 
Rodríguez Monegal sama-sama menyatakan media yang mereka kelola independen dari 
pengaruh asing seperti CCF dan AS. Akan tetapi, justru sikap ketidakberpihakan 
mereka itu yang terasa janggal. Monegal melalui Mundo Nuevo, misalnya, 
jelas-jelas bertujuan menandingi pengaruh jurnal kebudayaan Kuba de las 
Americas yang merayakan pembebasan negara-negara Dunia Ketiga, gerakan Black 
Power di AS, perjuangan gerilya dan tradisi anti-imperiliasme Amerika Latin. 
Sementara Konfrontasi yang dikelola Sutan Takdir, menurut Wijaya, justru 
sejalan dengan tujuan diplomasi kebudayaan AS. Kendati kerap mengeluarkan 
pernyataan bahwa tidak mewakili pandangan redakturnya, jurnal tersebut secara 
implisit dan konsisten merefleksikan pandangan internasionalisme yang 
berorientasi Barat sesuai dengan sikap partisan PSI. Pengaruh CCF ini membuat 
kelompok Mochtar Lubis menemukan tempat untuk melawan langsung praktik 
kebudayaan kiri progresif di Indonesia yang ketika itu didominasi kaum kiri 
progresif. Seniman kiri yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) 
juga memperkuat komitmen politik mereka di bidang seni dan sastra sejalan 
dengan politik revolusioner Sukarno. Melihat itu, kelompok Goenawan pada 
Agustus 1963 mendeklarasikan Manifes Kebudayaan. Dari semua itu, lewat 
kebudayaan, AS melalui CIA ingin mengontrol dunia. Dan AS tidak peduli apakah 
itu harus mengeluarkan biaya miliaran dolar atau mengorbankan jutaan nyawa umat 
manusia. Taktik demikian, kata Whitney, untuk saat ini bukanlah sesuatu yang 
baru. Tapi, jangan lupa kesadaran ini muncul karena maraknya pengungkapan 
operasi terselubung semacam CCF selama Perang Dingin. Sementara di Indonesia, 
Wijaya melihat produk kebudayaan setelah Perang Dingin justru digunakan untuk 
membenarkan kekerasan-kekerasan terhadap umat manusia terutama kasus 
pembantaian 1965 hingga 1966. Celakanya, produk kebudayaan yang membenarkan 
kejahatan kemanusiaan itu digagas oleh mereka yang menamakan diri pendukung 
humanisme universal. Hal penting lainnya yang dikemukakan Wijaya lewat bukunya 
bahwa kekerasan tidak melulu soal fisik dan pembunuhan. Kekerasan bisa lebih 
mengerikan lewat kebudayaan karena membenarkan pembantaian berjuta umat manusia 
menjadi lumrah dan lazim. Sejak pembantaian 1965-1966 itu kebudayaan menjadi 
produk yang efektif untuk melanggengkan ideologi anti-komunis. Itu sebabnya 
masyarakat umum bahkan melihat komunisme sebagai horor. Mereka selalu mengangap 
komunisme adalah hal yang menakutkan dan harus diberangus. Bahkan karena 
anggapan itu, masyarakat kini mengidap penyakit ketakutan yang parah soal 
komunisme. Ideologi itu dianggap menjadi jelmaan iblis yang selalu siap 
menghantam mereka yang menantangnya. Itu pula sebabnya bagi sebagian orang, 
membunuh manusia lain yang berbeda paham, semisal komunisme, adalah kewajaran, 
bahkan keharusan. Karena itu, kekerasan lewat kebudayaan lebih mengerikan 
ketimbang tindakan fisik. Karena membekas hingga berpuluh tahun dan tidak tahu 
kapan akan berakhir. [Kristian Ginting]   #yiv9709183422 #yiv9709183422 -- 
#yiv9709183422ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 
0;padding:0 10px;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mkp hr {border:1px solid 
#d8d8d8;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mkp #yiv9709183422hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mkp #yiv9709183422ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mkp .yiv9709183422ad 
{padding:0 0;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mkp .yiv9709183422ad p 
{margin:0;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mkp .yiv9709183422ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-sponsor 
#yiv9709183422ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-sponsor #yiv9709183422ygrp-lc #yiv9709183422hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-sponsor #yiv9709183422ygrp-lc .yiv9709183422ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv9709183422 #yiv9709183422actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv9709183422
 #yiv9709183422activity span {font-weight:700;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv9709183422 #yiv9709183422activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv9709183422 #yiv9709183422activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv9709183422 #yiv9709183422activity span 
.yiv9709183422underline {text-decoration:underline;}#yiv9709183422 
.yiv9709183422attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv9709183422 .yiv9709183422attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv9709183422 .yiv9709183422attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv9709183422 .yiv9709183422attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv9709183422 .yiv9709183422attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv9709183422 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv9709183422 .yiv9709183422bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv9709183422 
.yiv9709183422bold a {text-decoration:none;}#yiv9709183422 dd.yiv9709183422last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv9709183422 dd.yiv9709183422last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv9709183422 
dd.yiv9709183422last p span.yiv9709183422yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv9709183422 div.yiv9709183422attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv9709183422 div.yiv9709183422attach-table 
{width:400px;}#yiv9709183422 div.yiv9709183422file-title a, #yiv9709183422 
div.yiv9709183422file-title a:active, #yiv9709183422 
div.yiv9709183422file-title a:hover, #yiv9709183422 div.yiv9709183422file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv9709183422 div.yiv9709183422photo-title a, 
#yiv9709183422 div.yiv9709183422photo-title a:active, #yiv9709183422 
div.yiv9709183422photo-title a:hover, #yiv9709183422 
div.yiv9709183422photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv9709183422 
div#yiv9709183422ygrp-mlmsg #yiv9709183422ygrp-msg p a 
span.yiv9709183422yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv9709183422 
.yiv9709183422green {color:#628c2a;}#yiv9709183422 .yiv9709183422MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv9709183422 o {font-size:0;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422photos div {float:left;width:72px;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422photos div div {border:1px solid 
#666666;height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv9709183422
 #yiv9709183422reco-category {font-size:77%;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422reco-desc {font-size:77%;}#yiv9709183422 .yiv9709183422replbq 
{margin:4px;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-mlmsg select, #yiv9709183422 input, #yiv9709183422 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-mlmsg pre, #yiv9709183422 code {font:115% 
monospace;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-mlmsg #yiv9709183422logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-msg 
p#yiv9709183422attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-reco #yiv9709183422reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-sponsor 
#yiv9709183422ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-sponsor #yiv9709183422ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-sponsor #yiv9709183422ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv9709183422 #yiv9709183422ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv9709183422 
#yiv9709183422ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv9709183422 

   

Kirim email ke