Social Justiceand Globalization: Are they Compatible? by Sam Gindin
Topics: Imperialism Ina speech in 1999, Henry Kissinger, secretary of state under Presidents Nixonand Ford, candidlyremarked that “globalization” is another term for U.S. domination.1 Such clarity tends, initself, to negatively answer the question posed in the title of this talk. How can anyone argue that U.S.domination—or using the less polite term, “U.S. imperialism”—is compatible withsocial justice? Similarly,if we agree that a minimumprecondition for any notion of social justice is the extension of people’sdemocratic ability to shape their lives, that too might reinforce skepticismabout globalization’s compatibility with social justice. Especially ifwe see globalization as being largely about establishing global rules that act as aconstitution for investor rights, and which are beyond any parliamentarychallenges. And if we went further and defined a socially just world as one that supported thefull and mutual development of the potential capacities of every individual, Iimagine that many—if not most of us—would judge globalization to beinconsistent with that ideal. Tatiana: Walaupun Kissinger sendiri sebagai pejabat dan alat kekuatan Imperialisnomer satu di dunia sudah dengan jujurmengakui bahwa Globalisasi berarti Dominasi AS (dan AS berarti Imperialisme), toh masih ada saja orang yanghanya melihat arti “teknis” tapi tidak mampu melihat hakekat ideologi, politik,ekonomi dan kebudayaan dari Globalisasi. Kalau orang mengakui bahwa dominasi ASberarti dominasi Imperialis, logisnya adalah sulit sekali orang dapat membantah bahwa keadilan sosial TIDAK dapathidup berdampingan secara harmonis dengan Imperialisme AS. Artinya Keadilan Sosialtidak kompatibel dengan Globalisasi. Apalagi kalau orang mempertimbangkan juga bahwa prasyarat minimum untuk terciptanyakeadilan sosial adalah perluasan atau ekstensi dari kapasitas demokratik rakyatuntuk membentuk kehidupannya. Artinya keadilan sosial tidak mungkin terciptakalau kapasitas rakyat (dan kapasitas ini adalah hak demokratisnya) untukmembentuk kehidupannya dikebiri atau dimatikan. Dan inilah yang terjadi dengankaum tani yang dirampas tanahnya atau nelayan yang lautnya diuruk atau kaumburuh yang terus ditekan upahnya. Bagaimana orang yang dihilangkan matapencahariannya dapat membentuk kehidupannya dengan baik? Semakin besar jurang antara Globalisme dengan keadilan sosial kalau kitamendefinisi dunia berkeadilan social sebagai dunia yang mendukung perkembangansepenuhnya dari kapasitas potensial semua individu. Dalam kenyataan dan prakteknya Globalisme berarti menetapkan hukum danperaturan yang diterapkan secara global untuk melindungi hak-hak kaum pemodal/investoryang sepenuhnya di luar kekuasaan dan wewenang Parlemen negeri manapun. Kitatahu lembaga finansial dan perdagangan dunia utama yang mengatur sepenuhnyaekonomi dan perdagangan dunia, seperti Bank Dunia, FMI, WTO, ada di bawahkekuasaan dan dominasi AS. Ingat Indonesia dihukum oleh WTO karena diangapmenerapkan “proteksionisme”??? Andyet things refuse to stay that simple or clear. Even if Kissinger has helped ussee the obvious, aren’t many countries, and citizens of those countries, anxious for U.S. investment?Isn’t it true that the Canadian government, far from being forced intothe free trade agreement, begged for that integration into the United States?Is China wrong when it argues that access to U.S. markets, technology, andcapital will facilitate its development and that such development is a criticalbase for social justice? Would we disagree with the World Bank when it arguesthat countries that have either rejected globalization, or are now beingignored by globalization, do not seem better off for that fact? Tatiana:Ironisnya hampir semua negeri AA dan AL berebut untuk menarik penanamanmodal AS dan negara-negara imperialis lainnya. Mitos yang disebarkan justruoleh Globalisme bahwa tanpa modal asing, tidak mungkin negeri-negeriterbelakang itu dapat maju dan mencapai kesejahteraan, masih terus melekat dibenak tidak saja kaum oligarki yang menguasai mayoritas Negara di AA dan AL,tapi juga kaum intelektual yang menganggap dirinya “kiri”. Dan sebagai hasildari propaganda anti komunis dan anti sosialis yang memojokkan hasil nyata daripembangunan sosialis di Soviet Unie di bawah Lenin dan Stalin dan Tiongkok dibawah Mao, kaum revisionis modern dan reformis terus menjajakan ide-ide palsuyang menyesatkan seperti “tidak mungkinsebuah negeri Dunia Ketiga mengatasi keterbelakangannya dan mengembangkanekonomi nasionalnya dengan BERDIKARI”, serta pemalsuan dan interpretasi salah atas faktasejarah dengan teori seolah-olah “Sosialisme sama dengan atau berarti ‘pemerataankemiskinan”’ dsb. Part of the confusion lies inambiguities about what we mean by globalization and how we think about socialjustice.But it is more than that: it is also that our sense of social justice is affected by what webelieve is possible. In the absence of alternatives to the U.S. Empire,and in the absence of the political capacity to put such alternatives on theagenda, our dreams aretrimmed to fit the bed of “reality.” Social justice is made compatible with globalization, notby transforming society, but by shrinking our ideals. Tatiana: kaum revisionis modern berkepentingan untuk menyebarkankebohongan dan menyembunyikan arti sebenarnya dari Globalisasi dari segi ideologi,politik, ekonomi dan kebudayaan. Tanpa argumentasi apapun, dan dengan gampang-gampangan menghilangkanImperialisme yang sebenarnya ada di belakang globalisme. Pengertian atas ‘keadilansosial’ juga berbeda sesuai dengan posisi kelas setiap orang. Orang-orangrevisionis dan reaksioner seperti Chan selalu menganggap di jaman sekarang inisatu-satunya sistim yang mungkin adalah kapitalisme atau “Sosialisme dengan ciri Tkk” di manapenghisapan dihalalkan. Karena penghisapan TIDAK MUNGKIN dihapuskan di jaman sekarang ini maka Chan menganggap kitasemua harus menerimanya dan mengijinkan para tuan tanah, kabir dan kompradorberlomba-lomba membangun kerajaan dan kekayaannya. Seperti kata Sam Gindin diatas, pengertian kita tentang keadilan social dipengaruhi oleh apayang kita percaya mungkin direalisasi. Orang-orang seperti Chan bertolak daripandangan tidak mungkin penghisapan dihapuskan, tidak mungkin sosialismedirealisasi, maka pengertiannya tentang keadilan social berlainan bahkanbertentangan dengan mereka yang berpendapat bahwa penghisapan tidak sajamungkin tapi juga dapat dihapuskan melalui perjuangan jangka panjang yang sudahbisa dimulai sejak sekarang. Maka orang-orang seperti Chan tidak punya “dream” ataucita-cita akan sebuah masyarakat adil dan makmur tanpa penghisapan manusia atasmanusia seperti dulu Siauw Giok Tjhan. Kalaupun Chan mempunyai “dream”, “dream”nyaitu dipangkas atau dikebiri untuk menyesuaikan dirinya dengan apa yang diaanggap “kenyataan”. Sudah tentu apa yang Chan anggap “kenyataan” juga tidaksama dengan “kenyataan” yang dilihat oleh mereka yang mempunyai “dream” ataubercita-cita membangun masyarakat berkeadilan sosial tanpa penghisapan. MakanyaChan dan orang-orang revisionis dan pro-kapitalisme lainnya sering mengatakan “situasi sekarangsudah berubah sehingga teori Marxis harus disesuaikan (baca direvisi)” danorang seperti saya dicap “tidak realis” karena terus berpegang padaprinsip-prinsip dasar Marxis. Sedangkan saya melihat, dari segi kemiskinan,penghisapan, penderitaan manusia, krisisfinans dan ekonomi, agresi imperialis yang membuat perang dan meningkatkan ketegangandi mana-mana justru semakin gawat yang menuntut rakyat mencari senjatapembimbing ampuh untuk melawan semua ketidak adilan dan kepincangan ini. Dansenjata ampuh itu tidak bisa lain kecuali Marxisme-Leninisme-FMTT. Jadi, orang-orang remo, reformis pro-kapitalissejati lainnya membuat Globalisme kompatibel dengan keadilan sosial bukannyadengan melalui perubahan terhadap masyarakat atau sistim tapi dengan memotongatau menurunkan cita-citanya. Thislimiting of hope was perhaps the main measure of the world-wide defeat of thelast generation. In spite of the inspiration of Seattle and its aftermath, thatsense of defeat is still pervasive. Social justice demands reviving the determination to dream. Its notjust that dreaming is essential for maintaining any resistance, but becausetoday, if we do not think big—as big as the globalizers themselves think—wewill not even win small. Tatiana: Orang-orang pembela Globalismesudah tentu melupakan kenyataan bahwa di dunia terjadi berkali-kali manifestasibesar-besaran rakyat (karena mereka mengerti apa arti sebenarnya dariGlobalisasi) menentang Globalisasi, seperti yang terjadi di Seattle tahun 1999 dantiap kali penyelenggaraan KTT G-8, atau KTT WTO, atau Forum Ekonomi Dunia diberbagai tempat (seperti Genoa, Praha, Hongkong, Bali etc), massa rakyat selaluberkumpul di situ untuk menyatakan penolakkannya. Sam Gindin berpendapat untukmemperjuangkan keadilan social orang harus menghidupkan kembali “dream” (bukan “mimpidi tengah hari bolong” tapi mimpi dalam arti cita-cita). Karena bercita-citaatau “dream” sangat penting sekali untuk mempertahankan perlawanan. Karenakalau kita tidak mendambakan sesuatu yang BESAR, kita tidak akan pernah dapatmencapai kemenangan yang kecil.