http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2355
<http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2355>  
 
 
SIARAN PERS
 
Surat Terbuka: Pengaduan atas Dugaan Maladministrasi Kemenkopolhukam serta 
Komnas HAM
dalam Penanganan Kasus HAM Berat Masa Lalu 
 
Tgl terbit: Kamis, 02 Februari 2017
Hal       : Pengaduan atas Dugaan Maladministrasi Kementerian Koordinator 
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 
Dalam Penanganan Kasus HAM Berat Masa Lalu
 
Kepada Yang Terhormat,
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
Bapak Amzulian Rifai
Di tempat
 
Dengan hormat,
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, 
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Setara Institute, serta 
individu pegiat HAM dan demokrasi, bersama dengan korban pelanggaran Hak 
Asasi Manusia (HAM) dengan ini melaporkan Kementerian Koordinator Bidang 
Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan Komisi Nasional Hak 
Asasi Manusia (Komnas HAM) kepada Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan 
telah terjadi tindakan Maladministrasi oleh kedua lembaga negara tersebut 
dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.
Bahwa dugaan tindakan Maladministrasi tersebut berkenaan dengan kesepakatan 
sepihak Kemenko Polhukam dan Komnas HAM untuk menempuh Rekonsiliasi atau 
non-judisial sebagai pilihan politik pemerintah dalam penyelesaian perkara 
pelanggaran HAM berat.
Langkah tersebut akan dilakukan dengan alasan Jaksa Agung tidak bisa 
bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil Penyelidikan Komnas HAM, seperti 
disampaikan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat (30/1/2017) sebagaimana 
dilansir dari laman
http://nasional.kompas.com/read/2017/01/30/22270351/pemerintah.putuskan.penyelesaian.kasus.trisakti.dan.semanggi.melalui.jalur.rekonsiliasi
<http://nasional.kompas.com/read/2017/01/30/22270351/pemerintah.putuskan.penyelesaian.kasus.trisakti.dan.semanggi.melalui.jalur.rekonsiliasi>
 
.
Langkah tersebut juga secara gencar diungkapkan oleh Menkopolhukam Wiranto 
(30/1/2017) bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat akan dilakukan melalui 
jalur rekonsiliasi dengan alasan kasus-kasus pelanggaran HAM telah lama 
terjadi, sebagaimana ia sampaikan dalam laman
http://kbr.id/berita/nasional/012017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html
<http://kbr.id/berita/nasional/01-2017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html>
Bahwa dugaan tindakan Maladministrasi tersebut merujuk  pada:  Pasal 1 
angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman:“Maladministrasi adalah 
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan 
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, 
termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan 
pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan 
yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan 
orang perseorangan”.
Berdasarkan peraturan perundangan-undangan tersebut, kami menduga telah 
terjadi Maladministrasi dalam bentuk:
   1. Dugaan perbuatan melawan hukum dalam bentuk lahirnya kebijakan yang
      bertentangan dengan hukum;
   2. Dugaan perbuatan yang melampaui wewenang dan menggunakan wewenang
      untuk tujuan lain; serta
   3. Dugaan pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaran pelayanan
      publik hingga menimbulkan kerugian.
 
Hal-hal tersebut sebagaimana kami uraikan sebagai berikut:
I. Rencana Rekonsiliasi oleh Kemenko Polhukam dan Komnas HAM Bertentangan 
dengan Kewajiban Hukum Negara dalam Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM 
Berat
   1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat
      Tahun 2002 menyatakan“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal
      28I ayat (4) juga menegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan,
      penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
      negara, terutama pemerintah.” Begitu pula Pasal 28I ayat (5) yang
      menegaskan cita-cita bangsa Indonesia yakni “Untuk menegakkan dan
      melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
      demokratis.”
   2. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan hak atas
      pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
      “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
      kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
      hukum."
   3. Bahwa mekanisme hukum penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat
      diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
      HAM. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU tersebut, Komnas HAM bertugas
      melakukan penyelidikan perkara pelanggaran HAM berat untuk menemukan
      ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM
      berat.
   4. Bahwa Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justisia untuk 8
      (delapan) perkara pelanggaran HAM berat, yakni Peristiwa Trisakti,
      Semanggi I 1998 dan II 1999; Peristiwa Mei 1998; Penghilangan Orang
      Secara Paksa Periode 1997-1998; Peristiwa Talangsari Lampung 1989;
      Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa 1965-1966;
      Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2002 Papua (non-retroaktif);
      Peristiwa Simpang KKA 1999 dan Jambo Keupok 2003 Aceh
      (non-retroaktif).
   5. Bahwa hasil Penyelidikan tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh
      Jaksa Agung dengan melakukan Penyidikan dan Penuntutan (Pasal 21 dan
      23 UU No. 26 Tahun 2000). Faktanya, sejak tahun 2002 Jaksa Agung
      menolak menindaklanjuti hasil Penyelidikan Komnas HAM ke tahap
      Penyidikan dan Penuntutan melalui Pengadilan HAM dengan sejumlah
      alasan yang tidak konsisten seperti ketidaklengkapan syarat formil
      dan materil atau alasan politis seperti belum adanya rekomendasi DPR
      dan Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc 
      (Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).
   6. Bahwa meskipun telah ada rekomendasi DPR RI dalam kasus Penghilangan
      Orang Secara Paksa Periode 1997-1998 Jaksa Agung tetap tidak
      melakukan Penyidikan dan Presiden tidak mengeluarkan Keppres
      Pembentukan Pengadilan HAM. Pada kasus Wasior-Wamena yang terjadi
      tahun 2002 (non-retroaktif) dan tidak membutuhkan rekomendasi DPR
      maupun Keppres, Jaksa Agung juga tetap menolak melakukan Penyidikan.
   7. Bahwa meskipun telah ada rekomendasi DPR RI kepada dan Presiden RI
      (tahun 2009) untuk penyelesaian Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa
      agar Presiden mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad Hoc, melakukan
      pencarian korban yang masih hilang, melakukan tindakan pemulihan dan
      meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan
      Paksa tidak juga dijalankan Presiden.
   8. Bahwa berdasarkan uraian di atas, mandeknya penyelesaian Pelanggaran
      HAM Berat Masa Lalu tidak berkenaan dengan alasan legal formal semata
      tetapi lebih karena hambatan politik, yakni ketiadaan kemauan politik
      pemerintah menyelesaikan masalah ini sesuai dengan aturan hukum dan
      prinsip-prinsip hak korban (Kebenaran; Keadilan; Pemulihan dan
      Jaminan Ketidakberulangan) sebagaimana diatur dalam Basic Principles
      and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation dan 
      Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
      Abuse of Power (Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban
      Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan), Resolusi Majelis Umum PBB
      40/34, 29 November 1985.
   9. Bahwa berdasarkan uraian di atas, mandeknya penyelesaian pelanggaran
      HAM berat lebih karena tidak bekerja institusi hukum dan politik,
      dalam hal ini Jaksa Agung, DPR dan Presiden, bukan semata disebabkan
      kasus sudah lama terjadi sebagaimana pernyataan Komnas HAM dan
      Kemenko Polhukam.
  10. Bahwa sebagai negara hukum, pemerintah seharusnya memastikan,
      mendorong dan menjamin penegakan hukum serta kebijakan politik yang
      dapat menyelesaian perkara pelanggaran HAM secara berkeadilan, bukan
      sebaliknya justru Kemenko Polhukam dan Komnas HAM mengambil kebijakan
      yang yang dapat menutup hak-hak para korban.
  11. Bahwa berdasarkan uraian di atas, sikap Komnas HAM dan Kemenko
      Polhukam memutuskan secara sepihak menempuh cara Rekonsiliasi telah
      bertentangan dengan kewajiban penegakan hukum, jaminan kepastian
      hukum, dan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
      berat.
 
II. Tindakan Kemenko Polhukam dan Komnas HAM Melampaui Wewenangnya dan 
Menggunakan Wewenang untuk Tujuan Lain
   1. Bahwa kewenangan Kemenko Polhukam diatur dalam Peraturan Presiden No.
      7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara dan Peraturan
      Presiden No. 43 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang
      Politik, Hukum, dan Keamanan.
   2. Bahwa berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan dalam poin 12,
      Kemenko Polhukam memiliki kewenangan bersifat koordinasi, dan oleh
      karenanya tidak dapat merumuskan kebijakan terkait penyelesaian
      pelanggaran hak asasi manusia.
   3. Bahwa Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat diatur dalam UU No.
      26 Tahun 2000, dimana Undang-Undang tersebut tidak mengatur
      kewenangan Kemenko Polhukam dalam penyelesaian Pelanggaran HAM berat.
   4. Bahwa UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengatur tugas Komnas HAM sebagai
      Penyelidik untuk untuk menemukan peristiwa yang diduga pelanggaran
      HAM berat (Pasal 18 ayat (1) UU a quo), Jaksa Agung sebagai Penyidik
      dan Penuntut (Pasal 21 dan 23), DPR RI memberikan usulan atau
      rekomendasi kepada Presiden dan kemudian Presiden mengeluarkan
      Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc (Pasal 43 ayat (2)).
   5. Bahwa sebagai penyelidik, segala praktik politik—dengan alasan
      apapun: kurang alat bukti dan sebagainya—adalah diluar kewenangan
      hukum Komnas HAM dan mengingkari dasar hukum kewenangan kerja lembaga
      tersebut dalam perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat.
   6. Bahwa berdasarkan hal tersebut Kemenko Polhukam dan Komnas HAM tidak
      berwenang memutuskan secara sepihak pendekatan Rekonsiliasi dalam
      penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki
      secara hukum melalui Penyelidikan Pro-Justisia.
   7. Bahwa Jenderal TNI (Purn.) Wiranto adalah salah satu aktor yang
      diduga bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat
      masa lalu. Nama Wiranto disebutkan di dalam laporan Komnas HAM
      sendiri: seperti peristiwa penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti,
      Semanggi I-II, Mei 1998, Penculikan dan penghilangan aktivis
      1997/1998, dan Biak Berdarah. Tidak kalah penting adalah ketika
      namanya disebut-sebut di dalam laporan khusus setebal 92 halaman yang
      dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat 
      Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa “Wiranto gagal untuk
      mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua
      kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya
      kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum
      para pelaku.” Pernyataan lantang ini pula yang akhirnya menyulitkan
      Wiranto bergerak masuk dalam yurisdiksi internasional, salah satunya
      adalah Amerika Serikat (US Visa Watch List) di tahun 2003. Selain itu
      pada masa Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Wiranto juga
      dipecat dari jabatan Menko Polhukam, karena dugaan keterlibatan
      Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
   8. Bahwa berdasarkan sejumlah laporan di atas, patut diduga kebijakan
      politik yang dipimpin oleh Kemenko Polhukam dalam hal ini merupakan
      agenda cuci tangan, melanggengkan impunitas dan menghindari
      pertanggungjawaban hukum atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
   9. Bahwa berdasarkan uraian di atas maka patut diduga kebijakan
      pendekatan Rekonsiliasi yang digagas oleh Kemenko Polhukam adalah
      bentuk penggunaan kewenangan yang digunakan untuk kepentingan atau
      tujuan lain. Dalam hal ini kebijakan yang diambil oleh Kemenko
      Polhukam tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
      (AUPB) dalam UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014. Terutama
      asas “tidak menyalahgunakan kewenangan” untuk kepentingan pribadi
      atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian
      kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau
      tidak mencampuradukkan kewenangan.
  10. Bahwa dalam berdasarkan uraian diatas secara hukum dan politik posisi
      Menko Polhukam tidak cakap untuk mengambil kebijakan terkait
      penyelesaian pelanggaran HAM berat
 
III. Pendekatan Rekonsiliasi Sepihak Oleh Menkopolhukam dan Komnas HAM 
Menimbulkan Kerugian
   1. Bahwa kebijakan rekonsiliasi sepihak dengan konsep yang tidak jelas
      memunculkan banyak pertanyaan apa yang akan direkonsiliasikan, siapa
      yang dimaafkan dan memaafkan apabila tidak ada mekanisme hukum
      pengungkapan kebenaran yang bekerja terlebih dahulu.
   2. Model Rekonsiliasi yang tidak jelas dan tidak didasarkan pada
      pemenuhan hak korban akan keadilan, kebenaran dan pemulihan akan
      merugikan korban dan keluarga korban yang telah berjuang selama 13
      tahun terahir. Upaya mendapatkan hak para korban atas kepastian hukum
      serta mengetahui kebenaran yang telah dilakukan justru berpotensi
      ditutup dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap impunitas dengan
      cara-cara pendekatan Rekonsiliasi yang tidak jelas alas hukum, arah
      dan cara bekerjanya.
 
IV. Rekomendasi kepada Ombudsman
Bahwa berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan tugas dan kewenangan 
Ombudsman, kami mendorong Ombudsman untuk segera:
Pertama, menindaklanjuti laporan ini dengan dengan memberikan rekomendasi 
evaluatif terhadap Kemenko Polhukam dan Komnas HAM terhadap pendekatan 
Rekonsiliasi sepihak yang berpotensi bertentangan secara hukum, melampaui 
wewenang dan merugikan korban dan keluarga korban.
Kedua, merekomendasikan kedua lembaga tersebut untuk mematuhi seluruh 
mekanisme hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat, mendorong 
lahirnya keputusan atau kebijakan politik yang akuntabel, transparan dan 
pro terhadap keadilan, pengungkapan kebenaran dan pemulihan bagi korban.
Ketiga, menghitung biaya yang dikeluarkan untuk rangkaian tindakan yang 
diduga Maladministrasi a quo dengan asumsi telah terjadi pemborosan atau 
penggunaan uang negara secara tidak layak.
Keempat, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi Ombudsman 
kepada publik.
 
 
Jakarta, 2 Februari 2017
 
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Imparsial
Setara Institute
Koalisi Seni Indonesia
iLab


Kirim email ke