Bagus. Artinya sebagai unit terkecil (keluarga) sudah punya daya saing. 
Tinggal tularkan ke lingkungan sekitar supaya juga punya daya beli, 
sukur-sukur punya daya saing. Semoga kemakmuran Anda tidak kalah 
bersaing dengan Inul, Soimah, Via dll. sehingga ikut bermanfaat di skala 
unit lebih besar (negara).

--- inengahk@... wrote:
Di ISI denpasar sekarang sudah didominasi oleh orang bule. Dari 400 mahasiswa 
yang diterima, 150 orang bule.
 Mungkin di ITB dan UI pun belum tentu ada bule sebanyak itu kuliah disana.
 Saya sangat percaya dengan istilah ini, Karena saya yang iseng iseng buka 
sanggar tari dan butik, lumayan bisa untuk menguliahkan anak 2 orang.
 Malah anak saya yang cewek sambil kulih diterima menjadi duta wisata 
balikpapan, jurnalis kampus di balikpapan. Tanggal 16 nopember dia berangkat 
kejakarta, jika lolos test seleksi berikutnya diliputan 6 nanti dia akan magang 
3 bulan
 Maaf dibalikpapan sanggar kami sampai kwalahan melayani orderan, baik melayani 
sekolah TK, SD, SM SMA malah sampai mahasiswa dan pegawai perusahaaan 2 (PLN, 
Telkom, pertamina, total dll).
From: ajeg
Boleh juga tuh, "jika kita menguasai seni niscaya tidak kalah bersaing".
Faktanya, Indonesia yang kaya-raya dengan kesenian jangankan menang,
bersaing saja kok loyo.
Apa sebab? Ya pendidikanlah biang keroknya.
Pendidikan seni misalnya, sarjana seni Indonesia itu sangat luarbiasa.
Main musiknya pun masih di atas Philipina yang disanjung Barat sebagai
mengalahkan Jepang di Asia. Ya itu sih karena keterbatasan pengetahuan
Barat saja. Lihat dong permainan musisi Indonesia. Teknisnya sejajar
dengan musisi Barat itu sendiri. Lalu kenapa musik Indonesia tetap keok?
Ya karena nggak ada isinya.

Kita tahu, segala macam kesenian di Indonesia sangat bersahabat dengan
teknik apa pun. Dari klasik hingga kontemporer semua dikulik. Bukan
cuma dilahap lalu ditelan. Singkatnya, seniman/wati Indonesia sudah khatam
secara teknis (terimakasih untuk ITB-IKJ-ISI dll). Sayangnya, ya berkat
pendidikan yang struktural imperialistik itu segala teknis seni cuma berhenti
sebagai seni. Tidak, atau belum, menjadi wadah bagi jiwa si seniman.
Tidak, atau belum, menjadi simbol ekspresi spiritual sang seniman, yang
di teman-teman senirupa maupun tari dikenal sebagai 'jebrut'; 'jebretan'; bahkan
'seni mak crot'. Tumpah ruah.

Untungnya, di luar anak sekolahan itu kita masih bisa melihat 'jiwa' 
padakumpulan yang terjaring dalam Jaker maupun Punk, dan sudah barang tentu
sanggar-sanggar semacam Bumi Tarung di komunitas seniornya. Teknissudah bukan 
persoalan lagi bagi mereka yang bermain di tataran konsep, ide,berdasarkan 
prinsip yang jelas & lugas. Lantas, mana kerja pemerintah untukmerangkul, 
melindungi, dan mengangkat tinggi-tinggi kesenian bernyawa ini?Mosok kalah sama 
Soeharto yang sontoloyo tapi berani mempertahankanPatung Pak Tani tetap berdiri.
Via Vallen, menurut saya, ada di wilayah ini walau barangkali dia sendiri 
tidakmenyadari. Dan, apabolehbuat, ini masih versi yang sangat lembut.Yang 
jelas, dia sukses menapaki jalannya. Sendirian. Tanpa bantuan 
pemerintah.Setidaknya, membuktikan bahwa tidak ada alasan bagi seniman 
berprinsipuntuk tetap kere.
--- inengahk@... wrote:
Dalam cerita mahaberata ada kisah arjuna pergi kesorga untuk mencari srnjata 
sakti.
Setelah Arjuna mendapat senjata Bramastra dewa indra berkata lagi pada Arjuna. 
Wahai kau arjuna sudahkah kau mendapat pejaran seni.

Arjuna menolak untuk belajar seni, untuk apa seorang kesatria harus belajar 
seni. Lalu dewa indra berkata Seni adalah senjata yang paling sakti.
Dalam hal ini Jika kita menguasai seni baik itu seni suara, seni musik, lukis 
dll niscaya kita tidak kalah bersaing dalam kehidupan
From: ajeg
Di jamanreformasi ini ada dua jalur cepat untuk menjadi kaya di Indonesia.
Pertama, menjadipejabat / penguasa. Kedua, menjadi artis pop. Di jalurpenguasa 
tidak diperlukanketrampilan apa-apa selain antimalu dalammelipatgandakan gaji 
dari Rakyat. Takada cerita jerih payah penguasa untukmenjadi orang kaya. Begitu 
dapat kursidan gaji, mereka otomatis jadi kaya.Belum lagi kalau pintar 
menyalahgunakan kedudukannya.Kaya-raya sudah.
Lain dengan yang di jalur seni semisal seni peran atau seni suara / 
musik.Sekalipunrelatif lebih singkat dari bidang lain mereka tidak langsung 
jadi kayahanya denganberpredikat artis. Tetap ada proses yang harus dijalani, 
terlebihyang berangkatdari hobi maupun keterpaksaan. Itu pun tidak ada jaminan 
berhasilmengingatjalan berlikunya penuh juga dengan rekan senasib. Ya, ada 
banyakfaktoryang ikut menentukan sukses berkesenian di samping modal 
ketrampilandankepribadian.
Contohpelaku seni yang sedang menikmati keberhasilan saat ini adalah Via 
Vallen.Sebelumnyadia hanya dikenal sebagai penyanyi dangdut di kawasan Pantura 
setelahjadipengamen keliling bersama sang ayah. Boleh jadi tidak ada 
buruh-petani-nelayanyang tidak mengenal gadis bernama asli Maulidia Oktavia 
ini, karena diamemangkerap tampil di acara-acara pabrik maupun pesta Rakyat di 
berbagaipelosok Jawahingga pulau seberang.
Waktu pertamakalimelihat Via sekitar 4-5 tahun lalu cukup seru juga. Siang 
terikdi lapanganbola kota kecil dia manggung dengan dandanan hitam-hitam 
macamlady rocker dihadapan penggemar dangdut yang berjubel bahagia. Dari 
segipertunjukan, cuacadan suasananya jelas kurang mendukung. Tapi toh kuping 
inibenar-benar harus berdiridan pandangan lurus ke panggung seiring 
menggilanyakhalayak di lapangan begitumendengar panggung mendangdutkan Sunset 
di 
Tanah Anarki. Wow, kejutan di siangbolong. Ternyata penonton yang 
berbahagiahafal lirik lagu yang aslinya bukan lagu dangdut ini.
Rupanya betul, Via punya perbendaharaan lagu non-dangdut yang cukupbervariasi.
Menariknya,di setiap penampilan Via pasti "menerjemahkan" satu-dua lagu 
popataurock untuk telinga penggemar dangdut. Via memang bukan yang 
pertamamelakukanini tapi paling berhasil dalam meramu lagu apa pun ke irama 
dangdut.Uniknya, dia punya suara kadang suka meleset ketika menyanyikan lagu 
berbahasaIndonesia, tetapi begitu merdu saat mendendangkan lagu berbahasa 
daerah,bahasa Inggris,atau Spanyolan (sedang ditekuni).
Sekarang, gadisyang menjadi tulang punggung keluarga ini bisa tersenyum 
lebarmengenang rumahmereka yang ikut kelelep lumpur Lapindo. Tidak 
tampakkekecewaan atau kemarahanatas hilangnya masa kecil di rumah lama. Juga 
tidakterlihat kegembiraan berlebihatas kemakmuran hasil kerja keras 
bertahun-tahun.Yang ada cuma senyum ikhlas yangmencerahkan sekitar. Intensitas 
cahayanya stabil,kendati setahun belakangan namaVia Vallen bukan saja menggema 
di radio & televisitapi juga menggetarkan barisan biduanita dangdut papan atas.
Okelah, rejeki pasti mengalir semakinderas. Panggungnya Via pun bukan 
lagiseputar panggung terbuka di sepanjangPantura. Pada titikini, yang paling 
menarikadalah (selain tambah pandai menyesuaikan tampilandengan tempat 
manggung),Via seolah menugaskan dirinya untuk memperkenalkan kehidupan 
masyarakatbawahke saudara-saudarinya di gedongan. Giliran Via “menerjemahkan” 
keresahan arus bawahuntuk telinga non-dangdut. Sayangnya, penonton beginian 
banyak yang belumhafallirik keresahan Rakyat.
Dunia Viaboleh saja berobah, tapi kepribadiannya seperti tetap di jiwa yang 
sama.Semoga bisa terus dipertahankan. Begitu juga kemakmurannya - serta kulit 
pundaknyayang, it makes mecry... kalau kata Radiohead.
:)
M a l u


(salahsatulagu wajib TKI / BMI)


   
  • [GELORA45] ... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
    • Re: [G... 'Lusi D.' lus...@rantar.de [GELORA45]
    • [GELOR... 'Karma, I Nengah [PT. BI-POS]' ineng...@chevron.com [GELORA45]
    • Re: [G... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
    • Re: [G... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELOR... 'Karma, I Nengah [PT. BI-POS]' ineng...@chevron.com [GELORA45]
    • Re: [G... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke