Pernyataan Sikap 

Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
*Impor Beras, Kegagalan Jokowi Megatasi Masalah Pangan Nasional* 

Tolak Kebijakan Impor Beras, Wujudkan Kedaulatan Pangan!Kebijakan Pemerintah 
Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang akan melakukan impor beras 500.000 ton 
pada akhir bulan Januari 2018, dengan alasan menipisnya stok cadangan beras dan 
untuk antisipasi lonjakan harga di pasaran adalah alasan yang mengada-ngada. 
Kebijakan impor beras adalah bukti kegagalan pemerintahan Jokowi-JK dalam 
mengatasi masalah pangan Nasional, terlebih sudah memasuki tahun akhir 
kekuasaanya.Lebih jauh, kebijakan impor beras menunjukan berbagai program 
pangan yang dijalankan seperti, Upsus Pajale atau program upaya khusus padi 
jagung kedelai, program serap gabah petani (SERGAP) dan penetapan harga eceran 
tertinggi beras di pasaran termasuk operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog 
telah gagal total alias GATOT karena tidak mampu mengatasi krisis pangan di 
dalam Negeri.Aliansi Gerakan Reforma Agraria menilai kebijakan Impor beras 
hanya merugikan petani produsen, terlebih akan memasuki musim panen raya. Tentu 
saja impor beras akan mengancam anjloknya harga di tingkat petani. Selama ini 
Petani belum menikmati kebijakan yang menguntungkan terkait dengan harga gabah. 
Kebijakan SERGAP selama ini justru merugikan petani, sebab penetapan harga 
pembelian Rp. 3.700 dibawah rata-rata harga di pasaran yang berkisar Rp. 
4.500/kg.Kebijakan impor oleh pemerintah dengan alasan untuk menjaga 
melonjaknya harga karena menipisnya stok beras nasional juga tidak masuk akal, 
Produksi padi secara nasional dilaporkan terus mengalami peningkatan setiap 
tahunnya mulai dari tahun 2014 hingga 2017. Pada tahun 2014 produksi gabah 
70.846.465 ton, di tahun 2015 naik menjadi 75.397.841 ton, pada tahun 2016 
produksi naik mencapai 79.354.767 ton, dan sampai akhir 2017 produksi nasional 
mencapai 81.382.451 ton.Jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi nasional 
sebesar 28 juta ton per tahun, semestinya kita sudah mengalami surplus beras, 
sebab susut gabah kering giling menjadi beras hanya 38% maksimal. Dengan kata 
lain, 62% gabah kering giling menjadi beras. Hal ini juga dikuatkan dengan data 
BPS dan pernyataan Menteri Pertanian. Menjadi aneh dan tidak masuk akal 
kemudian jika Pemerintah Jokowi-JK terus melakukan Impor beras.Dalam catatan 
sepanjang pemerintah Jokowi-JK, Impor mengalami kenaikan bersamaan dengan 
naiknya produksi padi nasional. Pada tahun 2014 impor beras sebesar 503 ribu 
ton dan pada tahun 2015 naik menjadi 861 ribu ton. Kemudian pada tahun 2016 
naik 1,2 juta ton dan sampai bulan Mei 2017 Pemerintah Jokowi sudah melakukan 
impor sebesar 94 ribu ton.Kebijakan impor selama ini terbukti gagal mengatasi 
masalah tingginya harga beras di pasaran. Faktanya harga beras terus mangalami 
kenaikan dari tahun ke tahun, bahkan harga beras di pasar sebagian lebih tinggi 
dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebesar Rp. 
9.450/kg untuk beras medium dan Rp. 12.800/kg untuk beras premium. Hal ini 
membuktikan ketidak berdayaan pemerintah menghadapai pemonopoli beras yang 
melakukan spekulan harga di pasaran, meskipun pemerintah juga melakukan operasi 
pasar melalui Bulog dari waktu ke waktu. Kenyataan ini tentu saja terus 
membebani rakyat karena tingkat pendapatan yang terus merosot akibat harga 
kebutuhan hidup semakin tinggi.Berdasarkan data dan fakta yang ada, Aliansi 
Gerakan Reforma Agraria menilai kebijakan pemerintah melakukan impor 500.000 
ton beras dari Vietnam dan Thailand, adalah kebijakan untuk melayani 
kepentingan Imperiliasme (Kapitalis monopoli asing). Hal ini dikuatkan oleh 
desakan dari pemerintah pengekspor beras. Selain itu, kebijakan impor beras 
hanyalah untuk mengejar keuntungan yang lebih besar bagi pemerintah. Dengan 
melakukan impor beras, pemerintah mendapat keuntungan yang jauh lebih besar 
dari pada membeli beras petani dalam negeri. Karena harga ekspor beras Vietnam 
hanya Rp.. 5.200/kg sedangkan harga beras ekspor Thailand Rp. 5.300/kg.Oleh 
karena itu, Aliansi Gerakan Reforma Agraria menyatakan sikap mengecam dan 
menolak keras kebijakan impor beras yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi-JK. 
Karena kebijakan itu merugikan petani dan rakyat Indonesia. Pemerintah 
seharusnya fokus dalam peningkatan produksi pertanian dan kedaulatan pangan 
dengan menjalankan program reforma agraria sejati, serta konsisten memutus 
ketergantungan pertanian kita atas bibit, pupuk, obat, dan teknologi dari asing 
yang menjadi sebab utama tingginya biaya produksi pertanian di Indonesia.

Jakarta, 13 januari 2018Rahmat                                     Mohamad Ali
Ketua Umum                          Sekretaris Jenderal
Senin , 15 January 2018, 17:42 WIB
Kelompok Tani Lebak Tolak Kebijakan Impor Beras
[ilustrasi] Pekerja melaukan bongkar muat karung berisi beras impor asal 
Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/11). (Republika/Agung 
Supriyanto)
REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK --  Sejumlah kelompok tani di Kabupaten Lebak, Provinsi 
Banten, menolak beras impor dari Vietnam dan Thailand yang direncanakan oleh 
Pemerintah Pusat. Mereka khawatir harga gabah di pasaran anjlok akibat impor 
beras itu.

"Kita prediksikan Februari mendatang akan tiba panen raya di berbagai daerah di 
Tanah Air," kata Ketua Kelompok Tani Sukabungah, Desa Tambakbaya, Kecamatan 
Cibadak, Kabupaten Lebak Ruhyana saat dihubungi di Lebak, Senin (15/1).

Selama ini, persediaan beras untuk kebutuhan konsumsi masyarakat di Tanah Air 
selama dua bulan ke depan mencukupinya. Saat ini, di beberapa daerah memasuki 
musim panen, termasuk di Kabupaten Lebak dan Pandeglang.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak Kementerian Perdagangan tidak mendatangkan 
beras impor. Apabila, beras impor sebanyak 500 ribu ton masuk ke Indonesia 
tentu akan berdampak terhadap pendapatan petani.

Sebab, pada Februari 2018 akan terjadi panen raya secara serentak di Tanah Air. 
"Kami yakin jika beras impor membanjiri pasar dipastikan petani merugi karena 
harga gabah merosot," katanya menjelaskan.

Menurut Ruhyana, selama ini harga beras berbagai jenis di pasaran mengalami 
kenaikan sekitar Rp 500 sampai Rp1.500 per kilogram. Namun, kenaikkan itu masih 
dinilai wajar dan tidak perlu impor.

Petani di wilayahnya juga Februari 2018 memasuki panen serentak seluas 250 
hektare.

"Mereka petani bingung jika harga anjlok dan tidak sebanding dengan biaya 
produksi, terlebih harga pupuk, benih dan pestisida cenderung naik," ujarnya, 
menambahkan.

Begitu juga Ketua Kelompok Tani Tebu Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, H 
Didin mengatakan, petani di sini menolak beras impor sehubungan di wilayahnya 
tengah memasuki musim panenan padi. Penolakan beras impor itu tentu akan 
berdampak terhadap pendapatan petani karena jika beras impor melimpah dipasaran 
dipastikan harga gabah anjlok dan tidak menguntungkan.

Alasannya, Februari mendatang akan memasuki musim panen raya dari tanam pada 
Oktober 2017. "Kami berharap pemerintah tidak mendatangkan beras impor karena 
bisa merugikan petani," katanya menjelaskan.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Lebak Dede Supriatna mengatakan 
di sejumlah kecamatan di daerah ini mulai panen padi dari tanam Oktober 2017 
seluas 20 ribu hektare. Selanjutnya, Februari mendatang panen raya seluas 55 
ribu hektare.

"Kami menjamin persediaan beras lokal mencukupi untuk kebutuhan konsumsi 
masyarakat dan tidak perlu beras impor," katanya menjelaskan.
LeukMeer reacties weergevenOpmerking plaatsen
  • [GELORA45] *Impor Beras,... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke