DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum.
Dokter
Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.
Gizi, Vaksinasi, Edukasi: Tiga Pilar Membangun GenerasiDR.DR.TAN SHOT 
YEN,M..HUM.
Kompas.com - 04/02/2018, 08:05 WIB
Ilustrasi imunisasi(Jovanmandic)
KOMPAS.com - Lebih dari dua minggu mengisi topik utama hampir seluruh media 
cetak dan elektronik, kasus gizi buruk Asmat menyedot perhatian semua orang.

Mendadak sontak tiket pesawat jurusan Papua habis terjual, walaupun tidak semua 
komunitas masyarakat ikut menggalang dana apalagi siap berjihad seperti waktu 
Palestina dan Rohingya didera politik agama.

Yang pasti, banyak pihak lebih gencar melemparkan kritik atas kinerja 
pemerintah atau mempertanyakan ke mana larinya dana pembangunan daerah.

Tak elak profesi dokter menuai hujatan, seakan-akan sekolah hanya demi gengsi, 
bukan untuk mengabdi pada negri.

Iming-iming 14 juta rupiah gaji per bulan tak digubris membuat Pak Bupati 
terheran-heran. Padahal, lebih mengherankan lagi jika beliau tidak menyadari 
bahwa ini bukan perkara uang. Bahkan, jumlah ‘segitu’ dalam waktu singkat habis 
hanya untuk kompensasi bahan bakar speedboat puskesmas keliling atau menghantar 
pasien ke rumah sakit.

Kengerian seorang dokter bukan karena menghadapi kasus gawat darurat di meja 
operasi, melainkan saat dia tidak berdaya menghadapi anak kelaparan setiap hari 
dan perempuan meregang nyawa saat melahirkan tanpa fasilitas bedah sesar.

[Baca juga : Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya]

Yang ingin saya tarik sebagai sudut pandang, justru cara-cara orang yang hidup 
di luar kantong-kantong kemiskinan kesehatan, ‘menolong’ masyarakat yang 
dianggap butuh bantuan.

Impulsivitas sesaat karena rasa iba, bila tidak terarah justru akan menjadi 
bumerang.

Tak usah jauh-jauh ke Papua, hanya dua jam sedikit bermobil keluar dari 
Jakarta, masih ada seorang ibu yang menggendong anak tulang berbungkus kulit 
menunggu kedatangan ‘sinterklas berkala’ – yang selalu disambutnya dengan mata 
berbinar, karena dibawakan beberapa kotak susu bermerek, amplop berisi uang, 
sekarung kecil beras, ditambah gula, minyak goreng dan teh.

Padahal, anaknya menderita TBC dan kurang darah akibat gangguan gizi yang 
dideritanya.

Tenaga puskesmas bukanlah satu-satunya penggerak mobilisasi kesehatan. Jika 
begitu banyak sektor usaha dan upaya penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan 
bernegara juga dipegang unsur swasta, maka kontribusi publik dan masyarakat 
umum di ranah kesehatan juga memegang andil besar akan terciptanya kondisi 
hidup sehat yang diinginkan.

Sayangnya, sinkronisasi tindakan dan kontribusi itu tidak terjadi, sehingga 
pelbagai aksi dan kegiatan memberi dampak yang bukan hanya tidak signifikan, 
tapi justru berbalik sebagai ‘counter effect’.

Memang lebih mudah menyisihkan sejumlah uang donasi atau membeli makanan 
kemasan termasuk susu bubuk untuk disumbangkan, sekadar mengobati rasa bersalah 
jika sama sekali tidak tergerak melakukan apa pun.

Tapi adakah yang berpikir, bahwa barang-barang itu hanyalah produk konsumsi 
yang akan habis sesaat – sedangkan hidup manusia berjalan terus?

Lebih parah lagi, penerima donasi membentuk persepsi: seakan-akan barang-barang 
tersebutlah yang dianggap terbaik, tercepat mengatasi rasa lapar dan 
penderitaan fisik.

Tak heran di gubuk-gubuk penduduk Asmat lebih banyak ditemukan rokok dan mi 
instan. Bisa jadi, merupakan kelanjutan imbas dari ‘perkenalan pertama’ mereka 
beberapa saat yang lalu, saat bencana diberi ‘produk pangan’ berdus-dus.

Sangat memilukan untuk mengajarkan manusia kembali mengonsumsi hasil kebun dan 
menanamnya kembali.

Bukankah tragedi bila lahir di atas rawa, besar di tengah rawa, tapi tak mampu 
menangkap ikan, bahkan tidak tahu mau makan apa?

Cukup banyak rakyat kita melihat ikan, sayur, buah dan hasil bumi hanya sebagai 
barang dagangan, yang dijual demi uang. Bukan sebagai barang konsumsi, yang 
membuat mereka bertahan hidup sehat.

[Baca juga : Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis]

Program penyelamatan generasi jangka panjang tidak boleh kalah pamor dari 
gerakan cepat tanggap yang barangkali hanya berlangsung satu-dua bulan.

Angka cakupan vaksinasi yang tinggi, tanpa disertai kondisi gizi anak yang baik 
pun akan menuai kesia-siaan.

Bakteri yang dilemahkan dengan harapan mengulik kekebalan aktif yang dihasilkan 
tubuh tidak akan terjadi.

Saat gizi buruk, jangankan membuat sel darah putih untuk menangkal penyakit, 
menumbuhkan otot dan merajut syaraf otak saja tubuh tidak mampu.

Begitu pula sawar selaput lendir (mucosal barrier) di sepanjang saluran cerna, 
tidak terbentuk sempurna pada kasus gangguan gizi kronik, sehingga infeksi 
mudah menyerang.

Tindakan pro aktif penyedia layanan kesehatan, jika tidak berjalan sinergis 
bersamaan dengan edukasi sesuai taraf kebutuhan lokal, juga akan menimbulkan 
masalah baru yang tidak kalah mengerikannya.

Penyesuaian konten materi edukasi pun wajib selaras dengan kondisi demografis 
dengan harapan tidak akan terjadi ‘culture shock’.

Sudah cukup satu contoh miris: orang Papua lebih lahap makan nasi bungkus 
ketimbang menyantap papeda dengan ikan.

Edukasi yang benar tidak akan mencerabut suatu budaya dari akarnya. Apalagi, 
mengganti keseluruhan warna kehidupan.

Edukasi tidak pernah bertujuan seperti itu. Edukasi yang baik dan benar membuat 
mereka tetap makan papeda berlauk ikan – hanya sebelum bersantap, ritual cuci 
tangan dilakukan. Sisa sampah makanan dibuang, diangkut, dikumpulkan sesuai 
syarat sanitasi.

Pendidikan gaya hidup tidak boleh membuat orang menjadi terbeban atau malah 
hanya dilakukan jika ‘polisi’nya masih mengawasi.

Yang dididik perlu merasakan manfaatnya, sekaligus ingin mempertahankan manfaat 
itu. Celakanya, untuk bisa sampai menikmati manfaat dan rasa memiliki, butuh 
perjalanan yang tidak singkat.

[Baca juga : Melulu di Ilmu, Lupa Hakikat dan Akibat]

Asmat dan banyak kabupaten lain barangkali sudah kehilangan satu generasi – 
yang tidak lagi bercocok tanam, apalagi punya keterampilan menangkap ikan. 
Semua sudah tergantikan dengan membeli makanan jadi atau bahkan makanan siap 
saji.

Pendidikan, edukasi, tidak hanya melatih orang mempunyai keterampilan dan 
menemukan makna hidup – justru beroleh pencerahan spiritual yang tidak melulu 
berarti menjalankan ritual agama saja.

Teredukasi menjadikan manusia bertemu dengan identitas, berdaya menapak menuju 
tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi.

Makan tidak hanya untuk kenyang, tapi demi kesehatan. Punya pasangan hidup 
bukan lagi sekadar pemuas secara seksual, tapi karena kebutuhan kasih sayang 
dan rasa aman.

Punya jabatan bukan soal kekuasaan demi kerakusan harta, melainkan amanah untuk 
mengayomi dan memberdayakan lebih banyak orang.

Alangkah baiknya, jika kontributor pilar pembangunan generasi bukan berwujud 
sinterklas yang hanya muncul sesaat, membawa berkarung-karung donasi. Kita 
butuh sinergi membangun negeri.

[Baca juga : Mengapa Banyak Orang Sangat Suka Bakso?]

Kirim email ke