Bagaimana dengan yang membiarkan bahkan menikmati penghinaan terhadap kemanusiaan & akal sehat ini?
Warga Berebut Air Bekas Cucian Kaki Jokowi | | Warga Berebut Air Bekas Cucian Kaki Jok... | | PENDUKUNG PDIP & JOKOWI DUKUNG MINUM AIR BEKAS | | Pendukung PDIP & Jokowi Dukung Minu... | | --- roeslan12@... wrote: KUTIPAN Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan partainya mendukung pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal itu dianggap penting untuk menjaga marwah presiden sebagai simbol negara agar tak mudah dilecehkan oleh masyarakat.(huruf merah dari saya) "Tentu saja kita harus menempatkan marwah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat itu juga untuk mendapatkan tempat yang harus kita jaga bersama posisi politiknya," kata Hasto di kantor The Wahid Institute, Jakarta, Senin (5/2).(kutipan selesai.)REFLEKSI: Menurut pengamatan saya sikap Sekjen PDIP Hasto Kritiyanto ini muncul kareana adanya penomena Kartu kuning yang di keluarkan olah BEM UI. Menurut pengamatan saya, dalam konteks ini : Hasto kurang memahami bahwa adanya Presiden disuatu Negara itu adalah dikarenakan adanya Rakyat, artinya anatara Presiden dan Rakyat itu mempunyai hubungan saling timbal balik; sayangnya dalam konteks ini Hasto telah melakukan kesalahan persepsi, karena Hasto hanya menggunakan Persepsi selektif, yaitu suatu istilah, yang di aplikasikan pada kecenderungan persepsi manusia yang dipengaruhi oleh keingnan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, sikap-sikap, dan faktor-faktor psikologi lainnya. Yang dalam konteks ini tercermin dalam arahan Hasto untuk mengasolutkan seorang presiden, ini tercermin dalam tekanan yang di sangkutkan pada KUHP Pasal 239 ayat 1: Disitu disebutkan: Setiap orang yang menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana penjara paling lama lima tahun. Menurut Hasto ayat ini penting karena Presiden di pandangnya sebagai simbul Negara. Presiden sebagai Simbol yang di tekankan oleh Sekjen PDIP Hasto Kritiyanto itu adalah Pemikiran Feodal. Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal. Untuk maksud itu harap dipahami bahwa kita bangsa Indonesia tidak lagi hidup di zaman Feodal. Disini nampak jelas bahwa Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP telah keblinger jika memandang bahwa kita bangsa Indonesia masih hidup di zamam Feodal; Suka atau tidak suka harus menyadari bahwa kita bangsa Indonesia sudah hidup dalam zaman kemerdekaan, yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tangga 17 Agustus 1945. Justru proklamasi kemerdekaan kita mengharuskan kita bangsa Indonesia harus melawan feodalisme!!!Jadi tidak heran jika Hasto Kritiyanto mengabaikan keberadaan Rakyat, yang juga harus dijaga (dijamin) kesejahteraan hidupnyanya, dan keadilannya. Untuk maksud itu maka dimuncul kannyalah Ayat 2 KUHP 239, yang bunyinya : Tindakan bukan penghinaan jika dilakukan demi kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.Jadi sikap kritis Rakyat yang tercermin dalam bentuk Kartu kuning BEM UI, adalah bukan penghinaan, kartu kuning adalah merupakan simbul peringatan kepada Presiden, di maksud hanyalah untuk menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan, atau kelaian-kelaian sang Presiden Jokowi dalam menglola kesejahteraan seluruh Rahyat Indonesia; Yang secara simbolik ditunjukkan dengan Kartu kuning, yang isinya adalah keluhan Rakyat yang tercermin dalam bentuk karttu kuning; dengan maksud agar supaya Presiden Jokowi kritis tehadap dirinbeliau sendiri; kartu kuning secara iklas membrikan kesempatan kepada pak Jokowi untuk memperbaikinya. Sikap BEM UI saya tanggapi bukan sebagai manusia-manusia Yes Man,Mereka adalah manusia-manusia yang kritis dan berpendidikan tinggi – Mahasiswa-mahasiswa yang sudah teruji kapatriotismenya dalam melawan Orde Baru dan menbela kepentingan Rakyat tanpa pamrih apapun.Karema kita bangsa Indonesia sudah berada di zamam kemerdekaan dan menganut demokrasi Pancasila, maka kartu kuning BEM UI tidak dapat di tafsirkan dengan polapikir Feodal, yang pelakukna dijerat dengan hukuman 5 tahun Penjara. Sungguh menyedihkan sikap elite politik PDIP ini!!!Baca juga artikel dibawah dengan judul : Jimly: Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal Roeslan. Von: Chalik Hamid----- Pesan yang Diteruskan -----Dari: ajegilelu@... Ke mana Budiman Sudjatmiko? PDIP Dukung Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Kembali RZR, CNN Indonesia | Senin, 05/02/2018 19:59 WIB Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai pasal itu penting untuk menjaga marwah dan nama baik presiden. Presiden sebagai simbol negara dinilai kerap dilecehkan pihak tak bertanggung jawab. (CNN Indonesia/Andry Novelino). Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan partainya mendukung pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal itu dianggap penting untuk menjaga marwah presiden sebagai simbol negara agar tak mudah dilecehkan oleh masyarakat. "Tentu saja kita harus menempatkan marwah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat itu juga untuk mendapatkan tempat yang harus kita jaga bersama posisi politiknya," kata Hasto di kantor The Wahid Institute, Jakarta, Senin (5/2). Hasto menilai proses demokrasi di Indonesia saat ini sudah masuk kategori 'kebablasan'. Pasalnya, presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan seringkali dilecehkan oleh masyarakat yang tak bertanggung jawab. Ia mengatakan sudah sepatutnya negara membutuhkan peraturan hukum untuk melindungi nama baik presiden. "Tetapi dengan melihat demokrasi yang kebablasan yang simbol-simbol negara pun seringkali dilecehkan, maka kalau kita melihat hal tersebut perlu dilakukan pengaturan," tambah Hasto. Hasto juga menilai pasal penghinaan presiden sudah sesuai dengan budaya di Indonesia yang mengedepankan asas kekeluargaan. Baginya, budaya Indonesia yang ketimuran telah sesuai dalam menempatkan posisi pemimpin dalam masyarakat berada di kedudukan yang terhormat. "Itu bagian dari kebudayaan kita, bukan hanya presiden, kepala desa, kepala RT pun kita hormati," kata Hasto.. Meski begitu, Hasto menepis anggapan tentang kekhawatiran Jokowi menimbulkan kembali pemerintah yang otoriter saat pasal itu berlaku. Baginya, pemerintah di bawah Jokowi tak akan berbuat demikian meskipun pasal tersebut diberlakukan. "Pemerintahan Jokowi pemerintahan yang demokratis, tak akan berbuat represif (diberlakukannya pasal penghinaan presiden)," kata dia. Anggota DPR di parlemen saat ini tengah menggodok revisi KUHP. Pasal penghinaan terhadap presiden rencananya akan diberlakukan kembali. Salah satu opsi yang diwacanakan adalah menyematkan delik aduan dalam pasal yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. (osc)______________ Jimly: Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran FeodalSABRINA ASRILKompas.com - 04/08/2015, 20:46 WIB Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie(Icha Rastika/KOMPAS.com)JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie tidak sepakat dengan rencana pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal yang tak lagi relevan dengan era demokrasi."Mereka anggap presiden itu simbol suatu negara. Itu teori feodal yang anggap presiden itu lambang negara," ujar Jimly di Istana Kepresidenan, Selasa (4/8/2015).Menurut dia, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah "Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika", dan bukan presiden.Jimly menceritakan, pada tahun 2006 lalu, MK yang dipimpinnya memutuskan menghapus pasal penghinaan kepada presiden karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang dibawa pada era demokrasi. Saat itu, lanjut dia, Indonesia dipuji oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).Indonesia bahkan dianggap telah melampaui peradaban di negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan Belanda, yang masih menerapkan pasal penghinaan terhadap presiden. Jimly menuturkan, meski di negara-negara itu masih ada pasal penghinaan kepala negara, namun tidak pernah digunakan karena peradaban yang semakin maju."Ngapain seorang presiden urusin fotonya diinjak? Enggak usah diurusin! Masa diinjek foto sendiri sedikit saja tersinggung," kata Jimly.Jimly khawatir apabila pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan lagi, maka budaya feodal yang ada di Indonesia akan kembali hidup. Kekhawatiran itu timbul manakala penegak hukum menjadi terlalu sensitif pada setiap penentangan terhadap kepala negara yang masih dianggap sebagai simbol negara itu."Begitu dia lihat fotonya presiden, 'wah presiden saya marah nih, langsung lah'. Nah itu merusak kebebasan berpendapat. Kalau jadi presiden, harus siap dikritik. Kalau nggak, ya jangan," ujar Jimly.