https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-
di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085
Selasa 13 Februari 2018, 15:06 WIB
Sentilan Iqbal Aji Daryono
Tentang Ibu Muslimah Penyapu Gereja dan
Virus Dengki di Atas Kasus Intoleransi
Iqbal Aji Daryono - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
Iqbal Aji Daryono
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
31 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
Tentang Ibu Muslimah Penyapu Gereja dan Virus Dengki di Atas Kasus
Intoleransi Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3865069/tentang-ibu-muslimah-penyapu-gereja-dan-virus-dengki-di-atas-kasus-intoleransi?_ga=2.38770148.697008542.1518535085-663793591.1518535085#>
*Jakarta* - Baru saja terjadi peristiwa geger di Gereja St. Lidwina,
Sleman, Jogja. Seorang lelaki muda membacok jemaat gereja yang sedang
beribadah. Memang belum ada keterangan resmi dari polisi tentang siapa
pelakunya. Namun sudah tersebar ke khalayak dari para saksi di sekitar,
bahwa si pembacok melakukan itu dengan motif keyakinannya, dan membenci
umat yang berbeda agama dengan dirinya.
Mendengar peristiwa itu, seorang dokter yang aktivis Muhammadiyah datang
ke TKP bersama istrinya. Dokter Ahmad Muttaqin Alim namanya, datang
untuk menyatakan simpati dan belasungkawa. Kebetulan Pak Dokter datang
masih berkain sarung, karena rumah mereka cuma sepelemparan molotov dari
gereja. Sebagai keluarga muslim yang taat, istri Pak Dokter juga memang
berjilbab.
Maka, ketika dalam kunjungan mereka Bu Alim ikut bebersih lantai gereja
yang masih berdebu karena remah-remah patung Yesus yang dihancurkan si
penyerang, Pak Dokter gatal memotretnya. Foto itu tersebar cepat. Saya
sendiri ikut menyebarkannya di akun /Facebook/ saya, dan ada ribuan
orang yang ikut membaginya.
Inilah visualisasi foto itu: Seorang ibu berjilbab memegang sapu dan
pengki, membersihkan lantai gereja. Di hadapannya ada salib besar, dan
di sebelahnya ada patung Yesus yang wajahnya sudah hancur. Adakah
pemandangan yang lebih dramatis dari ini?
Bayangkan saja. Dada ribuan orang tengah dagdigdug karena ada kabar
buruk tersebar tentang seorang pemuda muslim yang menyerang gereja dan
menyabetkan parang ke beberapa jemaat termasuk ke pasturnya. Maka, foto
ibu penyapu itu ibarat hydrant yang disemprotkan ke tumpukan bara. Ia
setara dengan segelas es teh yang disuguhkan saat Anda megap-megap
karena saking hausnya.
Adakah yang buruk dari pesan perdamaian yang tersebar lewat foto itu?
Saya kira tidak sama sekali. Ia bukan ajakan kepada umat muslim untuk
murtad pindah keyakinan. Ia tidak menunjukkan seorang muslimah yang ikut
beribadah dengan cara Katolik. Ia juga tidak membawa secuil pun pesan
agar penonton foto itu membenci Islam, membenci umat Islam,
mendiskreditkan kaum muslimin, atau saling berkonspirasi untuk
melemahkan /ghirah/ keislaman yang berkobar-kobar. Sama sekali tidak.
Yang saya bayangkan akan muncul sebagai efek dari foto itu sesederhana
mekanisme komunikasi publik dalam logika marketing-informasi yang paling
gampang. Pertama, umat Katolik jadi percaya bahwa si pembacok bukan
representasi umat Islam, dan tidak semua orang Islam berpandangan sama
dengan si pembacok. Kedua, umat Islam dari kalangan awam jadi paham
bahwa agamanya bukan agama yang mendukung tindakan si pembacok, dengan
bukti bahwa seorang muslimah bersimpati kepada korban pembacokan.
Ketiga, secara lebih luas foto itu membela kehormatan Islam dan umat
Islam. Apa yang sekilas terkesan buruk dari perilaku berislam seorang
oknum muslim dengan segera dinetralisasi oleh citra dalam foto itu.
Namun malang sekali, ternyata tak semua orang mengambil kesan positif
seperti itu. Banyak di antara kerumunan itu yang lebih suka mengambil
buruknya (entah dari warung mana mereka mengambilnya), dan justru
mengekspresikan sikap-sikap dengki yang jauh dari proporsional. Saya
heran luar biasa.
Lalu kenapa banyak orang Islam sendiri yang konon mengaku pencinta damai
justru tidak suka dengan tersebarnya foto ibu muslimah penyapu gereja?
Apakah mereka ingin proses netralisasi citra dalam benak publik awam
tidak berjalan, sehingga nantinya secara "hukum marketing informasi" si
tukang bacok bisa-bisa malah menjadi representasi tunggal atas Islam?
Simak saja beberapa tulisan yang tersebar luas di media sosial. Di situ
dikatakan bahwa umat Islam juga korban, terbukti dari dua kasus yang
terjadi di Jawa Barat beberapa waktu lalu, tentang ulama yang dipukuli
dan dibunuh. Dengan kenyataan itu, kenapa para pejabat dan tokoh seperti
Buya Syafii Maarif hanya mendatangi Gereja St. Lidwina? Begitu mereka
menggugat, sembari mengatakan bahwa semua itu merupakan sikap tidak adil
kepada umat Islam.
Lebih /nyelekit/ lagi ketika tak kalah banyaknya orang membagi unggahan
dangkal di /Facebook/ yang secara spesifik menghujat Buya Syafii Maarif.
Buya digugat karena mengunjungi Gereja St. Lidwina untuk menyatakan
prihatin, padahal beliau tidak mendatangi para ulama yang dianiaya.
"Ulama dianiaya dan dibunuh /ente/ diam saja. Tapi begitu ada yang
nyerang gereja, /ente/ ribut!"
Suara-suara dengki seperti itu menyebar dengan cepat, gampang, diiringi
umpatan-umpatan. Saya berdecak kagum dan tak habis pikir. Betulkah
segampang itu umat Islam mendengki? Apa iya mereka tidak berpikir
sebentaaaar saja, lalu secara lebih cermat mengukur porsi masalahnya?
Begini/lho/, Mas, Mbak. Membandingkan antara dua kasus di Bandung
kemarin hari dengan peristiwa di Gereja St. Lidwina Jogja itu ngawur dan
/waton suloyo/. Kiai Umar Basri alias Mama Sentiong dipukuli, Ustaz
Prawoto dianiaya hingga akhirnya meninggal. Siapa pelaku-pelakunya?
Tidak ada kabar jelas tentang itu, selain keterangan resmi bahwa salah
satu pelakunya gila (kabar terakhir, penganiaya Ustaz Prawoto tidak gila
dan bisa diproses hukum). Artinya, tidak ada isu benturan antara dua
agama yang berbeda pada kedua kasus tersebut. Sekali lagi: tidak ada
potensi isu benturan antaragama.
Bandingkan dengan peristiwa di Jogja. Korbannya jelas jemaat gereja
Katolik, identitas pelakunya sudah tersebar di masyarakat sebagai muslim
dan motifnya juga terkait dengan keyakinan dia. Iya, iya, saya paham,
belum ada keterangan resmi dari polisi. Tapi kita sedang bicara tentang
komunikasi publik dan mekanisme riil persebaran informasi di zaman
medsos, bukan? Artinya apa? Jelas sekali, kasus di Jogja membawa potensi
gesekan, potensi kecurigaan, potensi prasangka, dan potensi remuknya
kohesi sosial karena melibatkan dua agama yang berbeda.
Maka, kedatangan para pamong masyarakat ke Gereja St. Lidwina adalah
upaya meredam potensi konflik yang lebih besar. Saya mendukung-mendukung
saja jika para pejabat dan Buya Syafii datang ke Bandung. Tapi skala
persoalannya beda jauh, /Bro/. Kalaulah datang ke Bandung, yang akan
dijalankan adalah ekspresi simpati berbelasungkawa. Tidak ada misi
peredaman potensi konflik antaragama di sana. Dengan istilah lain, dalam
kacamata skala prioritas, tidak ada yang keliru ketika kehadiran ke
Jogja lebih diprioritaskan daripada ke Bandung.
Akan beda kasusnya ketika yang terjadi adalah seorang radikalis Kristen
menghajar seorang mubaligh di sebuah masjid. Itu baru perbandingan kasus
yang setara. Nah, jika itu terjadi (semoga itu tidak pernah terjadi),
/haqqul yaqin/ kasus itu pun akan menjadi prioritas dalam upaya
komunikasi publik dalam meredam potensi konflik.
Maka pertanyaannya, rasa dianaktirikan dan imajinasi bahwa umat Islam
mengalami ketidakadilan itu datang dari mana? Saya bantu menjawabnya:
dari rasa dengki yang muncul dari kacamata yang buram dalam melihat
persoalan.
Yang lebih parah lagi sebenarnya ketika kedatangan Buya Syafii ke St.
Lidwina dipersoalkan. Sebab ada faktor teknis yang tidak diketahui
publik luas terkait itu, yakni fakta keras bahwa memang rumah Buya
Syafii di bilangan Nogotirto hanya sejarak lima menit perjalanan dari
lokasi Gereja St. Lidwina hahaha! Anda juga pasti baru tahu sekarang,
/to/? Mereka memang tetanggaan. Dan kalau Buya bertetangga dengan Ustaz
Prawoto, dengan jarak rumah yang sama-sama lima menit perjalanan,
mustahil beliau tidak datang melayat.
/Hufff/. Ya sudah. Mungkin sikap-sikap dengki semacam itu akan selalu
muncul sebagai fitrah dalam sebuah negeri yang penuh keragaman. Entah,
apakah ajakan untuk menalar persoalan secara lebih proporsional akan
bermanfaat ataukah tidak, di saat imajinasi dan teori konspirasi
menguasai alam pikiran kita sehari-hari. Namun saya sendiri lebih suka
berdiri bersama Bu Alim yang menyapu lantai Gereja St. Lidwina, bersama
Haji Bambang di Kuta Legian, bersama bapak-bapak Relawan Pembersih
Masjid at-Taqwa yang ikut memperbaiki Gereja Oikumene Samarinda.
Dengan cara-cara merekalah, Islam menemukan pembelaannya yang sangat nyata.
*Iqbal Aji Daryono* /esais, tinggal di kampung sejarak 30 menit
perjalanan dari Gereja St. Lidwina/
*(mmu/mmu)
*