From: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] 
Sent: Thursday, February 15, 2018 1:11 AM
  

http://koransulindo.com/aliarcham-tokoh-pki-yang-belajar-dari-samin/

Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin
Meski menjalani periode pergerakan yang sangat singkat, Aliarcham sempat 
menjadi musuh utama pemerintah kolonial sekaligus masuk daftar orang-orang yang 
harus segera disingkirkan. 

5 hari lalu 



Koran Sulindo – Batuk yang semula dianggapnya hanya biasa bertambah hari 
ternyata kondisinya makin parah. Wajah makin pucat sementara matanya juga makin 
cekung. Bujukan teman-temannya agar mau berobat dianggap angin lalu. Ia bahkan 
punya keyakinan, alih-alih mengobatinya pemerintah pasti bakal membunuhnya.

Belakangan ketika akhirnya mau berobat ke Tanah Merah, hal itu dilakukannya 
semata untuk membuat kawan-kawannya senang. Nyatanya, toh tak lama kemudian ia 
kembali lagi.

“Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di 
hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini,” jawabnya 
ketika dituntut penjelasan seperti ditulis Aliarcham, Sedikit tentang riwayat 
dan perjuangannya.

Ya, Aliarcham memang kepala batu meski ia tahu tanpa pengobatan memadahi 
penyakit paru-paru cuma memastikan satu hal. Kematian!.

Ketika keadaannya makin payah, pada tanggal 1 Juli 1933 kawan-kawan 
sepembuangan memaksanya melanjutkan pengobatan ke Tanah Merah. Ia bahkan harus 
dipapah untuk naik kapal yang digunakan untuk menghilir mengikuti Sungai Digul..

Di tengah deru motor kapal dan disaksikan teman-temannya itulah akhirnya 
Aliarcham menutup mata untuk selamanya. Ia masih sangat muda, baru 32 tahun. 
Tanah Merah tempatnya mencari pengobatan akhirnya justru menjadi kuburnya.

Mengenang keteguhan hatinya selama itu, kawan-kawan Aliarcham menulis sebuah 
sajak Henriette Roland Holst di nisannya yang sederhana.

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami 
yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh 
harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut

Lahir 1901 dari keluarga penghulu dan tokoh agama di Asemlegi, Juwana, Pati, 
Aliarcham sempat menikmati pendidikan pesantren. Tujuannya jelas, kelak ia 
mesti mengikuti jejak sang ayah.

Namun, dari guru-guru agama itulah Aliarcham justru berkenalan dengan paham 
Samin yang mengajarkan persamaan, persaudaraan manusia dan gotong-royong tanpa 
penindasan yang dianggapnya sebagai sosialisme model Jawa. Ketika Samin 
Surosentiko ditangkap Belanda dan dibuang ke Sawahlunto hingga akhirnya 
meninggal tahun 1914, di benak Aliarcham kecil tertanam kuat kebencian dan 
perlawanan terhadap penjajah Belanda yang tamak.

Selain pendidikan tradisional, karena orang tuanya lahir dari keluarga 
terkemuka Aliarcham juga dibolehkan bersekolah di Hollands Inlandse School 
(HIS). Di sekolah itu, ia segera tampil sebagai salah satu murid yang paling 
cerdas dan rajin.

Ketika para penerus gerakan Samin melanjutkan ‘perlawanan sipil’ yang berpuncak 
di tahun  1917, Aliarcham sudah duduk di sekolah calon guru bumiputera atau 
Kweekschool voor Inlands Onderwijs di Ungaran.

Di sekolah guru Aliarcham mulai membaca koran-koran seperti Sinar Hindia, Suara 
Rakyat hingga de Express yang membawanya berkenalan dengan Sosialisme ilmiah. 
Ia juga kemudian mendaftar sebagai anggota Sarekat Islam di Salatiga yang 
berubah menjadi Sarekat Islam Merah. Di SI Merah inilah Aliarcham secara 
pribadi berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan kiri kala itu seperti Semaun 
atau Sneevliet.

Ia juga dengan cermat mengikuti semua peristiwa seperti Revolusi Sosialis 
Oktober Besar tahun 1917 di Rusia, pemberontakan tani di Garut, pemberontakan 
Kelambit di Jambi, pemberontakan Sarekat Abang di Palembang hingga 
pemberontakan tani di Pontianak dan Ternate.

Benang merah yang dipahami Aliarcham pada semua pemberontakan itu cuma satu, 
penindasan!

Belajar dari bacaan, ia mulai mendebat gurunya dan mulai mendidik kawan-kawan 
dekatnya agar memusuhi sikap merendahkan diri atau membungkuk pada atasan atau 
orang Belanda. Tak hanya mendidik, Aliarcham menunjukkannya langsung dalam 
sikap sehari-hari.

Belakangan sikapnya itu memicu reaksi balasan para guru yang jelas-jelas pro 
pemerintah. Ia tak dizinkan ikut ujian akhir sebelum meninggalkan propaganda 
politiknya. Menganggap ancaman hanya angin lalu, Aliarcham cuek dan akibatnya 
ia kembali dipanggil untuk dinasihati kepala sekolahnya.

Meski sepanjang sesi nasihat itu tetap bungkam, kegeraman Aliarcham baru 
ditunjukkan ketika keluar ruang kepala sekolah. Pintu ruang kepala sekolah 
dibantingnya keras-keras, jedeer! Merasa disepelekan sang kepala sekolah itu 
benar-benar muntab, Aliarcham dipanggilnya kembali dan berkata sejak hari itu 
ia resmi dikeluarkan dari sekolah.

Aliarcham yang cuek dengan dingin hanya berkata, “tuan takkan dapat mematikan 
semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawan penjajahan Belanda.”

Dipecat dari sekolah guru, ternyata adalah berkah Aliarcham. Tertutup pintu 
menjadi guru, peluang-peluang lain justru terbuka. Di bidang politik masa 
depannya justru  membentang dan langsung menuju Semarang bergabung dengan 
kantor Pengurus Besar PKI dan SI Merah.

Di Semarang, latar belakang sebagai calon guru justru membuat Aliarcham merasa 
menemukan dunianya dengan aktif mengajar Marxisme untuk anggota-anggota PKI dan 
SI Merah. Sebagai intelektual, berkali-kali yang ditegaskan Aliarcham adalah 
kebenciannya pada intelektual yang bersikap masa bodoh terhadap nasib rakyat 
yang terjajah.

“Ada kaum intelektual yang tidak suka campur dengan pergerakan kita karena 
merasa malu, tetapi mereka juga akan berhubungan dengan pihak sana juga tidak 
laku, paling-paling jadi orang suruhan. Jadinya lalu berdiri jadi kelas 
menengah,” tuding Aliarcham.

Menurutnya, intelektual proletar harus berjuang untuk mendirikan kultur baru 
tempat di mana tak ada lagi orang ‘minum darah’ orang lain. Kultur itu harus 
dimulai dari pendidikan di sekolah-sekolah rendahan untuk anak-anak rakyat 
kebanyakan. “Di sekolah ini bukannya mengajar orang takut sama pemerintah tapi 
mendidik rasa merdeka dan rasa berkumpul dan nafsu berjuang melawan 
pemerintahan,” kata Aliarcham melanjutkan.

Semarang di era Aliarcham mengajar di sekolah-sekolah PKI awal awal-awal 
1920-an, adalah pusat gerakan buruh revolusioner yang Berjaya dengan aksi-aksi 
pemogokan. Di sisi lain, pertentangan antar faksi di Serekat Islam memuncak 
antara SI Putih di Yogyakarta dan SI Merah di Semarang. Perpecahan itu makin 
tak terjembatani setelah pemberlakuan disiplin partai yang diusung SI 
Yogyakarta.

Belakangan, atas usul Aliarcham SI Merah berganti nama menjadi Sarekat Rakyat 
untuk menarik batas tegas dengan golongan kolaborator yang bergerak menjauhi 
massa rakyat. Ia juga sekaligus ditunjuk sebagai ketua SR.

Tak cuma aksi mogok dan boikot, masa-masa itu juga ditandai dengan gelombang 
penangkapan pemimpin-pemimpin gerakan seperti Haji Misbach. Aliarcham akhirnya 
ditangkap tanggal 20 Oktober 1923 atas tuduhan menghina alat-alat negara 
pamongpraja yaitu para priyayi yang disebutnya sebagai Togog.

Ketika kasusnya disidangkan, Aliarcham menggunakan pembelaannya untuk menangkis 
tuduhan-tuduhan jaksa sekaligus meledek bahwa bukan dia biang keladi semua 
kekacauan itu. Aliarcham justru balik menunjuk hidung pemerintah kolonial 
sebagai pihak yang bersalah dan harus bertanggung jawab atas kemelaratan 
penghidupan rakyat.

“Pergerakan buruh tidak dibikin-bikin tetapi timbul sendiri dari penindasan. 
Pihak reaksi berkata, yang orang Jawa bodoh dan sabar hati. Sesuka Belanda 
menghina kita dan dipandang kita seperti binatang yang menurut saja buat 
dikerjakan. Dimana ada penindasan di situ timbul satu pergerakan yang hendak 
menghilangkan penindasan itu,” kata Aliarcham.

Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis selama 4 bulan penjara dan diperberat 
menjadi 6 bulan ketika Aliarcham naik Appel ke pengadilan tinggi.

Seolah hendak mengejek pemerintah, segera tak lama setelah keluar penjara 
Aliarcham langsung aktif di pergerakan. Ia bahkan ditunjuk sebagai ketua 
presidium Kongres PKI ke-2 di Jakarta yang digelar bulan Juni 1924.

Selain mengubah anggaran dasar, kongres juga memutuskan untuk memindahkan 
kantor pimpinan Central PKI dari Semarang ke Jakarta sekaligus menujuk Winanta 
sebagai ketua dan Budisucipto sebagai sekretaris. Kongres juga menunjuk Alimin 
dan Aliarcham sebagai komisaris daerah Jakarta.

Ketika pemerintah makin kuat menindas pergerakan, secara rahasia pimpinan 
central PKI dipindahkan ke Bandungan sementara kegiatan revolusioner 
sehari-hari di Jakarta langsung di bawah pimpinan Aliarcham dan Alimin.

Sayangnya, hanya berselam lima bulan setelah kongres ke-2, pemerintah menangkap 
Winanta pada tanggal 29 November 1924 yang memaksa PKI menggelar Kongres ke-3 
di Yogyakarta yang memilih Sarjono sebagai pengganti Winanta.

Dalam kongres itu, Aliarcham kembali menekankan pentingnya pendidikan dan 
semangat untuk berkuasa kepada massa. Pidato itu langsung disambut peserta 
kongres dengan hunjan interupsi, “Berontak saja. Praktische daad … revolusi”.

Menjawab seruan itu, Aliarcham mendesak agar pemberontakan jangan untuk 
dipermain-mainkan. Pemberontakan memerlukan kepimpinan partai kelas buruh yang 
kuat, selain sebagai sebagai pelopor partai, PKI harus bersih dari elemen non 
proletar dan setengah proletar yang ragu-ragu dan bimbang.

“Kelas buruh tidak saja harus berdisiplin tetapi ia wajib berdisiplin lebih 
kuat dan lebih keras daripada musuhnya. Sebab kaum kerja boleh dikata sama 
sekali tidak bersenjata, sedang pembela kapitalisme bersenjata lengkap, mulai 
dari kaki sampai ke rambut,” kata Aliarcham.

“Oleh sebab itu kita Komunisten sebagai pasukan armada kaum kerja yang 
terkemuka, yang harus mendidik berdisiplin itu di kalangan angkatan proletar 
wajiblah menundukkan diri kita sendiri di bawah disiplin besi,” kata Aliarcham.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa sebelum pemberontakan dimulai 
diperlukan melatih massa dalam aksi ekonomi, yang harus ditingkatkan pada 
aksi-aksi politik. Aksi ekonomi seperti mogok akan menarik sekaligus 
membangkitkan massa rakyat ke dalam kehidupan politik.

Sebagai petinggi partai, belakangan gerak-gerik Aliarcham terus dipantau 
alat-alat pemerintah dan berkali-kali harus menghadap polisi kolonial atau 
pemerintah setempat. Suatu kali ia mendatangi panggilan kontroleur dengan 
memakai pakaian rakyat yang melarat. Pakaian itu memicu kemarahan sang 
kontroleur karena merasa tak dihargai. Ia memaki-maki dan bahkan mengusir 
Aliarcham ke luar ruangan.

“Tuan ketakutan kepada rakyat. Pakaian yang seperti ini terhitung pakaian 
rakyat yang terbaik. Dan beginilah kemelaratan rakyat sekarang,” kata Aliarcham 
mengejek. “Saya tidak punya pakaian putih-putih. Itu pakaian buruh halus, buruh 
ningrat, priyayi-priyayi yang menjadi togog menjilat gubernemen”.

Dengan enteng Aliarcham pergi dan meninggalkan tuan kontroleur itu begitu saja.

Menyusul meluasnya pemogokan di Jawa Timur pada bulan November 1925, agar tak 
menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Barat, pemerintah pada tanggal 5 Desember 
memutuskan menangkap Aliarcham di Solo ketika tengah mengikuti kongres 
Organisasi Perguruan dan Pendidikan Indonesia.

Meski mengalami siksaan selama penahanan, Aliarcham memilih sikap bungkam dan 
tak menjawab satupun pertanyaan untuk proses verbal. Ia hanya berkata sekali 
ketika menjelaskan pendiriannya. “Tuan-tuan sudah mengetahui siapa saya ini. 
Proses verbal ini dilakukan hanya secara formil saja, karena toh saya akan 
dihukum juga.”

Jika dihitung keterlibatan Aliarcham di dunia pergerakan sejak dipecat dari 
sekolah guru hingga masa pembuangan hanya selama 3,5 tahun. Meski menjalani 
periode yang sangat singkat, Aliarcham sempat menjadi musuh utama pemerintah 
kolonial sekaligus masuk daftar orang-orang yang harus segera disingkirkan.

Berpacu dengan waktu, pemerintah buru-buru memutuskan membuang Aliarcham ke 
Merauke di Papua menggunakan kapal van der Wijck. Seminggu di Merauke, ia 
dipindah ke Okaba selama 1,5 tahun. Dari tempat itulah Aliarcham dipindah ke 
Tanah Merah.

Tiga bulan di tempat itu,  ia kembali dipindah ke Gudang Arang sebuah tempat di 
tengah rawa tak jauh dari Tanah Merah. Hingga akhirnya pada bulan Januari 1928 
Aliarcham dipindah ke pedalaman di Tanah Tinggi, sebuah tempat enam jam 
perjalanan menyusuri sungai dari Tanah Merah. Di tempat inilah hidup Aliarcham 
berakhir, tetap dengan keteguhannya. [Teguh Usia]





Kirim email ke