From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Monday, February 19, 2018 10:48 PM



http://nasional.kompas.com/read/2018/02/19/20124491/kampanye-dan-pilkada-demokratis-mungkinkah-terwujud


Kampanye dan Pilkada Demokratis, 

Mungkinkah Terwujud?
Neni Nur Hayati
Kompas.com - 19/02/2018, 20:12 WIB

Ilustrasi(KOMPAS/DIDIE SW)


PEMILIHAN kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak tahun 2018, yang 
diikuti 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, sudah memasuki tahapan 
kampanye. Tahap ini dimulai  pada 15 Februari sampai dengan 23 Juni 2018.

Calon kepala daerah yang sudah ditetapkan oleh KPU harus mematuhi seluruh 
aturan perundang-undangan yang berlaku selama masa kampanye. 

Kampanye merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan 
dengan penuh rasa tanggung jawab, berlandaskan prinsip jujur, terbuka dan 
dialogis. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan 
Umum Nomor 4 Tahun 2017 Pasal 4 (empat).

Sejatinya, proses kampanye yang akan berlangsung selama 4 bulan lebih itu mampu 
memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat untuk meningkatkan 
partisipasi pemilih. 

Namun sayang, fakta dari pilkada ke pilkada menunjukkan bahwa kampanye selalu 
dijadikan ajang kontestasi yang tidak sehat.

Kontestasi politik yang terjadi pada pilkada sebelumnya selalu diwarnai dengan 
temuan berbagai macam hal pelanggaran di antaranya kampanye hitam (black 
campaign), politisasi SARA, netralitas aparatur sipil negara, dan politik uang 
( money politics).

Para calon kepala daerah kerap menggunakan dan menghalalkan segala cara untuk 
meraih kemenangan.

Hal ini tentu sangat mencederai hakikat negara Indonesia sebagai negara 
demokrasi yang berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan 
adil.

Padahal, prinsip ini seharusnya menjadi pijakan kuat dalam membangun sistem 
demokrasi dan memberikan fasilitas kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan 
tertinggi yang memiliki hak pilih pada suasana yang kondusif melalui kampanye 
sehat dan damai. 

Money politics

Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2016  Pasal 71 ayat 1 sudah sangat jelas 
menyebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau 
memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan 
dan/atau pemilih.

Jika money politik dilakukan, berdasarkan putusan Badan Pengawas Pemilu 
(Bawaslu), pelakunya dapat dikenai sanksi administrasi sebagai calon dan 
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap dikenai sanksi 
pidana sesuai dengan ketentuan perundang–undangan.

Akan tetapi, aturan ini acapkali dilanggar oleh calon untuk memengaruhi dan 
menggiring pilihan serta opini masyarakat dalam memilih calon tertentu.

Pada Pilkada 2015, tercatat ada pelanggaran money politics pada tahapan 
kampanye di urutan tertinggi dibandingkan dengan pelanggaran yang lainnya.

Fakta hari ini membuktikan bahwa dari calon gubernur, bupatim dan wali kota 
pada 2004–2017, sudah ada 313 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus 
korupsi.

Yang lebih memilukan lagi, ada beberapa calon kepala daerah, yang sudah 
ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 12 Februari 2018, terjerat operasi 
tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Apabila kita set back pada tahapan pencalonan, publik diramaikan dengan 
pemberitaan isu "mahar politik" yang terjadi di beberapa daerah.

Hal ini yang harus kita waspadai karena jika sedari awal proses penjaringan 
bakal calon saja sudah menggunakan politik uang, maka tentu pada tahapan 
kampanye serta pemungutan dan penghitungan suara tidak menutup kemungkinan ada 
upaya meraih kekuasaan dengan cara-cara kotor. 

Politik uang tidak hanya diartikan dalam bentuk uang, tetapi juga materi lain 
yang berupa bingkisan misalnya atau suvenir bahan kampanye lain yang jumlahnya 
melebihi Rp 25.000.

Hal ini biasanya dinilai efektif untuk mempengaruhi calon pemilih. Kadangkala 
masyarakat yang awam tidak mengenal bahwa hal ini adalah politik uang. Sehingga 
mereka menerima saja apa yang diberikan. Pemilu sebelumnya ada jargon "ambil 
uangnya, jangan pilih orangnya".

Namun, regulasi sekarang tentunya berbeda, bahwa yang menerima dan yang memberi 
akan dikenai sanksi. Sanksi tersebut akan diberikan tergantung pada pemenuhan 
unsur formil dan materiilnya.











Kirim email ke