PK Ahok dan Kasus Buni Yani

| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
PK Ahok dan Kasus Buni Yani – VIVA

PT. VIVA MEDIA BARU - VIVA

Kasus Ahok memasuki babak baru. – VIVA
 |

 |

 |



Selasa, 27 Februari 2018 | 06:03 WIB


P





















hoto :
   
   - ANTARA FOTO/Ubaidillah
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

VIVA – Perkara penodaan agama, dengan terpidana Basuki Tjahaja Purnama, 
memasuki babak baru. Hal itu lantaran Ahok, sapaan Basuki, mengajukan 
permohonan peninjauan kembali (PK) kasus yang membelitnya ke Mahkamah Agung. 
Permohonan dilayangkan pada 2 Februari 2018.

Sekitar 20 hari kemudian, sidang perdana PK tersebut digelar di ruang Koesoema 
Atmadja, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. 
Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Mulyadi, dengan anggota Salman Alfaris 
dan Tugianto itu hanya berlangsung sekitar 10 menit.

Dalam sidang itu, tim pengacara mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut 
menyampaikan berkas memori PK kepada hakim. Majelis hakim akan memberikan 
berita acara pendapat untuk segera dikirim kepada Mahkamah Agung, Senin, 5 
Maret 2018. “Tidak perlu mengadakan sidang kembali," ujar hakim ketua Mulyadi, 
di ruang sidang, Senin, 26 Februari 2018. 



Sementara Ahok tak bisa hadir dalam sidang PK itu karena tengah menjalani 
hukuman. Dia divonis dua tahun penjara lantaran dinyatakan bersalah menistakan 
agama Islam terkait Surat Al Maidah ayat 51.

Ada sejumlah alasan Ahok mengajukan PK tersebut. Salah satunya, menurut 
Josefina, kuasa hukum Ahok, karena ada putusan kasus Buni Yani. “Kami melihat 
bahwa di dalam putusan itu sendiri dasar Buni Yani ditetapkan jadi tersangka 
dan dipidana karena dia edit di videonya Pak Ahok," ujarnya.

Buni Yani divonis 18 bulan penjara dalam perkara pelanggaran  Undang-undang 
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), di  Pengadilan Negeri Bandung, Jawa 
Barat, Selasa, 14 November 2017. 

Majelis hakim menilai, Buni Yani bersalah atas perbuatannya mengunggah video 
pidato Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, disertai dengan 
mencantumkan keterangan transkrip video pidato yang tidak sesuai dengan 
transkrip aslinya. 

Video tersebut merupakan rekaman saat Ahok pidato di depan masyarakat Kepulauan 
Seribu, pada 27 September 2017. Video dan transkrip itu diunggah di laman 
Facebook Buni Yani.



Bukan hanya karena kasus Buni Yani, Ahok layangkan PK. Dugaan kekhilafan hakim 
juga menjadi alasan lainnya. Tim pengacara mengaku memiliki bukti baru atau 
novum tentang adanya kekhilafan majelis hakim yang memutus perkara Ahok. 

Namun, mereka tak menjelaskan secara rinci. Fifi Lety Indra, kuasa hukum Ahok 
lainnya, hanya mencontohkan, ketika Ahok diputuskan ditahan langsung, misalnya. 
Padahal, di sisi lain, hakim memberikan pertimbangan bahwa Ahok kooperatif.

“Itu enggak diuraikan, kenapa Ahok langsung ditahan seketika, padahal langsung 
nyatakan banding. Kedua, Ahok tidak pernah ditahan karena sangat koperatif,” 
ujar Fifi yang juga adik Ahok ini.



Adapun jaksa penuntut umum (JPU) punya pandangan lain. Menurut Sapto Subroto, 
jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, tidak ditemukan ada bukti baru dalam 
PK Ahok.  Alasan pemohon mengaitkan antara kasus Buni Yani dengan perkara Ahok 
tidak bisa dihubungkan. "Jadi, delik berbeda sama sekali antara Ahok dan Buni 
Yani. Jadi,  ini tidak ada kaitannya, karena bukti-buktinya juga berbeda," ujar 
Sapto.

Segendang sepenarian. Ardito Muwardi, JPU lainnya, mengungkapkan   pembuktian 
dan bukti, serta delik masing-masing kasus itu tidak terkait dan tidak 
memengaruhi pembuktian masing-masing perkara.

Syarat pengajuan PK itu, menurut Ardito, berdasarkan Pasal 263 ayat 2 huruf b 
KUHAP itu apabila ada dua putusan saling meniadakan atau saling memengaruhi. 
“Misalnya, di salah satu putusan Buni Yani mengganggu pembuktian di Ahok atau 
sebaliknya, nah itu bisa jadi alasan PK. Ini tidak ada," ujar Ardito.

Kontroversi PK 

Hal senada dikemukakan Abdul Chair Ramadhan, pakar hukum pidana. Menurut dia, 
dalil novum sebagai dasar permohonan PK yang diajukan oleh Ahok terkesan hanya 
berupa “tafsiran” belaka. “Konsekuensi novum yang hanya berupa tafsiran belaka 
tentu lah tidak dapat diterima,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Islam 
As-Syafiiyah itu dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA, Senin, 26 
Februari 2018. 

Pria yang pernah menjadi saksi ahli pidana Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat 
dalam perkara Ahok itu, mengemukakan antara putusan Buni Yani dengan putusan 
Ahok adalah dua perkara yang berbeda. Dengan demikian, tidak memiliki hubungan 
yuridis dalam kaitannya dengan permohonan PK Ahok. Buni Yani divonis dengan 
Pasal 32 ayat 1 jo Pasal 48 ayat 1 UU ITE. Sedangkan Ahok divonis dengan Pasal 
156a huruf a KUHP.



Pengajuan PK tersebut juga dipersoalkan lantaran Ahok dinilai tak melakukan 
banding dan kasasi, tapi langsung mengajukan PK. Salah satu kritik datang dari 
Imam Besar Front Pembela Islam Rizieq Shihab. Ahok, menurut Habib Rizieq, tidak 
bisa mengajukan PK karena telah menerima putusan di persidangan dan tidak 
mengajukan banding. 

"Aturan Mahkamah Agung sudah jelas bahwa suatu kasus yang tidak melalui proses 
banding dan kasasi tidak bisa dan tidak boleh diajukan PK. Ingat, Ahok tidak 
pernah banding maupun kasasi sehingga PK-nya wajib ditolak demi tegaknya 
hukum," ujarnya lewat rekaman pembicaraan melalui telepon yang diperdengarkan 
di Masjid Baitul Amal, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu, 21 Februari 2018.

Pendapat tak sama disampaikan Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari 
Universitas Trisakti. Menurut dia, tidak ada masalah dengan PK yang diajukan 
Ahok. Sebab, PK itu untuk semua putusan yang berkekuatan hukum tetap.. “Makanya 
saya bilang yang berpendapat (Ahok tak bisa ajukan PK) seperti itu lebai. 
Kurang paham apa gimana,” ujarnya saat dihubungi VIVA, Senin, 26 Februari 2018.

Menurut dia, hal terpenting ada salah satu alasan pengajuan PK itu yang 
dipenuhi. Pertama, ada bukti baru. Kedua, ada kekeliruan dalam putusan pertama. 
Abdul pun menilai tak ada masalah jika alasan PK itu lantaran melihat putusan 
Buni Yani. Sebab, meski itu dua perkara berbeda tapi ada korelasinya. “Walaupun 
dua perkara itu berbeda tapi korelasi,” katanya.



Tim pengacara Ahok juga tak ambil pusing jika ada pihak-pihak tertentu tak 
menginginkan kliennya itu mengajukan PK. Sebab, PK itu merupakan salah satu hak 
yang dapat ditempuh seorang warga negara yang tersandung masalah hukum. 

Soal banding, kuasa hukum sudah pernah mendaftarkannya. Namun kemudian Ahok tak 
mau dan meminta kuasa hukum mencabutnya.  “Bahwa sekarang ke PK, pasti ada 
pembicaraan," ujar Josefina, kuasa hukum Ahok.

Menurut dia, tak ada niatan lain dalam mengajukan permohonan PK itu, selain 
bisa membebaskan Ahok dari segala putusan pidana yang telah menyeretnya ke 
balik jeruji besi. Ada dua tuntutan diajukan jika PK itu dikabulkan, yaitu 
pembebasan Ahok dan membersihkan lagi nama Basuki Tjahaja Purnama. "Harapan 
tertinggi bebas dan direhabilitasi namanya," ujar Josefina. (one)





  • [GELORA45] PK Ahok dan K... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke