https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?
_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965
Jumat 09 Maret 2018, 13:56 WIB
Menuju Pendidikan Yang Memerdekakan
Abdul Rahim - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/abdulrahim09bi>
Abdul Rahim <https://connect.detik.com/dashboard/public/abdulrahim09bi>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan?_ga=2.166465785.633128687.1520793966-477105323.1520793965#>
Menuju Pendidikan Yang Memerdekakan sumber: 4bp.blogspot.com
*Jakarta* -
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya lebih
tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan
cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik
pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka.
Sekolah adalah salah satu penyebab hierarki sosial yang terjadi di
masyarakat. Kira-kira begitulah ungkapan Bourdieu tentang perbedaan
status sosial masyarakat berkaitan dengan modal sosial dan simbolik yang
terbentuk setelah seseorang mengenyam pendidikan. Siapa sangka dengan
pendidikan tersebut justru menjadikan seseorang seolah merasa lebih
perlu dihargai dari orang lain dalam konteks bermasyarakat.
Tak jarang terdapat hal sederhana yang terjadi di institusi pendidikan
kita dan bisa membuat gelak tawa jika mengingatnya. Suatu waktu salah
seorang kawan yang akan meminta tanda tangan dosen pengujinya tidak mau
tanda tangan hanya karena gelarnya lupa ditulis, atau salah seorang
pengajar geram ketika mengetahui tugas /paper /mahasiswanya satu pun
tidak mengutip buku karangannya, padahal sesuai dengan mata kuliah yang
diampu. Dan, masih banyak sederet kisah yang tidak substansial dengan
konsepsi pendidikan yang memerdekakan.
Ini artinya, ketika seseorang mendapat pendidikan lebih tinggi, secara
tidak langsung berharap kapital budaya dan kapital simbolik itu melekat
pada mereka yang secara serta merta menuntut masyarakat sekitar untuk
mengamininya pula. Karakter seperti ini cukup banyak bergentayangan di
kalangan mahasiswa kita dengan lingkup borjuisitas di kalangan mereka.
Lalu karakter yang melekat itu pun seakan menjadi kebiasaan yang terus
direproduksi dan akhirnya mengakar secara turun temurun.
Contoh kecil yang terjadi ketika Indonesia saat ini diberitakan sedang
krisis petani, justru sarjana-sarjana pertanian kita malah sibuk dengan
urusan kantor, dengan menjaga diri untuk selalu tampil rapi dan tak
tersentuh kotoran sedikit pun. Pendidikan yang didapatkan sarjana
pertanian kita bisa dikatakan belum berbasis untuk pengembangan keilmuan
yang bermanfaat untuk masyarakat, namun masih sebatas ambang aman untuk
mereka mendapatkan pekerjaan --syukur-syukur jika sesuai dengan bidang
keilmuan yang telah mereka dapatkan.
Jika menelusuri tentang kutipan di awal, apa yang diungkapkan Tan Malaka
bukan hanya terjadi dalam konteks ketika zamannya para kaum terdidik
mencari aman dengan diberikan posisi di pemerintahan kolonial, namun hal
ini sering terjadi juga dalam konteks kehidupan modern saat ini. Kaum
terdidik lebih banyak terpusat di satu titik dengan alibi
ketidaktersediaan lapangan kerja ketika kembali ke kampung halaman.
Jadilah mereka menjadi tenaga yang dieksploitasi meski dengan bekerja
tidak sesuai dengan kompetensi yang pernah digeluti.
Lalu ketika berbicara tentang sederet problematika pendidikan kita saat
ini, jika para mahasiswa kita masih tertanam dalam pikiran mereka bahwa
pendidikan yang tinggi adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak
nantinya, maka dikotomi antara layak dan tidak layak tersebut perlu
didefinisikan secara tuntas. Misalnya, ketika seorang sarjana peternakan
yang notabenenya akan bergelut dengan ternak dan kandang, lebih memilih
untuk sekedar sebagai tenaga penyuluh yang hanya berkoar-koar tentang
kesehatan ternak dan pakan yang baik dari pada mempraktikkan langsung
sebagai peternak. Dan itu menurut mereka hal layak dengan status mereka
yang lebih mengetahui tentang peternakan.
Sementara masyarakat yang memang pekerjaan mereka sebagai peternak,
mencari rumput, atau memberi makan ternak dan membersihkan kandang, itu
hal yang wajar mereka lakukan, dengan alasan mereka yang terikat dan
bertanggung jawab atas itu. Seolah para sarjana terdidik tidak layak
untuk melakukan apa yang dilakukan masyarakat kita yang tidak mengenyam
pendidikan tinggi. Layak dan tidak layak menjadi hal yang tidak
substansial jika merujuk pada kiprah yang bisa dilakukan dalam konteks
bermasyarakat. Tentu saja sebab masih adanya gengsi yang menjadi
barikade untuk seorang terdidik melakukan pekerjaan yang menurut
definisi relatif mereka antara layak dan tidak layak tersebut.
Jika seseorang masih berpikir ketika mendapatkan pendidikan tinggi
supaya mendapatkan pekerjaan yang layak, maka pendidikan yang
memerdekakan hanyalah slogan mati yang belum dipahami secara filosofis.
Mereka yang mendapatkan pendidikan tinggi, lalu sekedar mencari aman
dengan gelar dari pendidikan yang telah mereka dapatkan (dalam hal
pekerjaan) dan tidak berupaya untuk memerdekakan masyarakat, inilah yang
disebut dengan kaum /lamisan/.
Meminjam ungkapan dari Haji Misbach, seorang muslim kiri revolusioner,
kaum /lamisan/ tidak lebih hanyalah budak yang hanya berorientasi harta
dan posisi aman dalam kehidupan mereka. Mereka tidak peduli dengan
masyarakat sekitarnya juga yang butuh untuk dimerdekakan, baik merdeka
dalam hal pengetahuan, ekonomi, lebih-lebih merdeka dalam kesetaraan
status sosial dalam masyarakat.
Pendidikan yang memerdekakan bukan pula sebatas membebaskan diri
berpikir melewati batas-batas yang distandarkan masyarakat secara umum.
Namun juga memerdekakan akal budi untuk berperilaku sosial positif yang
persuasif dan emansipatoris terhadap masyarakat sekitarnya. Misalnya,
seorang terdidik harus berupaya melawan batas-batas sistem yang selama
ini menjadikan masyarakatnya tertindas, dan menjadi pelopor untuk sebuah
perubahan yang berorientasi pada pembebasan masyarakat untuk tidak terus
menerus terkungkung dalam pemikiran yang terkotak-kotak dan cari aman
sendiri. Akan tetapi mendobrak kesadaran mereka untuk berpikir bagaimana
sebuah tatanan sosial yang setara untuk kesejahteraan bersama menjadi
hal penting untuk diwujudkan.
Lalu terkait dengan upaya memerdekakan masyarakat dalam hal
intelektualitas, banyak hal yang bisa dilakukan para kaum terdidik kita
untuk sekitar mereka dengan kompetensi keilmuan yang telah mereka
dapatkan. Salah satunya menjadi pegiat pendidikan untuk generasi bangsa
di sekitar mereka, tidak mesti bergelut dalam situasi formal, pendidikan
secara non formal pun merupakan hal yang cukup luar biasa untuk mereka
mau meluangkan waktu membagikan ilmu kepada orang lain. Bahkan di
beberapa daerah, pegiat pendidikan atau pegiat literasi bukan dari orang
yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, akan tetapi mereka yang
mempunyai kepedulian tinggi untuk memerdekakan generasi bangsa agar
berwawasan luas.
Contohnya, Bemo Pustaka; seorang supir bemo paruh baya yang sore harinya
menjadikan bemo miliknya diisi buku-buku bacaan lalu berkeliling
kampungnya untuk menjajakan buku tersebut agar dibaca orang lain, dengan
sasaran utamanya anak-anak yang berkumpul di suatu tempat yang telah
disepakati. Ada pula Jamu Pustaka; seorang pedagang jamu yang nyambi
membawa buku bacaan bagi pembeli jamunya. Begitu juga dengan Lumbung
Pustaka, yang digagas oleh seorang buruh bangunan yang merasa prihatin
dengan kondisi generasi bangsa yang perlu mendapatkan perhatian dalam
dunia literasi.
Hal tersebut seharusnya menjadi lecutan bagi kaum terdidik yang
notabenenya menjadi agen untuk menjadikan orang lain terdidik juga,
alih-alih sekedar mencari aman dengan status ketinggian pendidikan yang
telah mereka dapatkan. Maka hal pokok yang mesti juga dibangun dalam
pendidikan kita bukan hanya soal kognisi dan kompetensi dalam bidang
keilmuan yang mereka geluti, melainkan kognisi sosial untuk sebuah
kepedulian dengan mata dan hati terbuka untuk sekitarnya sangat vital
untuk ditanamkan sejak dini.
Begitu pula dengan memerdekakan masyarakat secara ekonomi, banyak hal
yang bisa dilakukan kaum terdidik sebagai pelopor untuk kesejahteraan
bersama, seperti menggiatkan usaha-usaha kerakyatan dengan modal
bersama, koperasi usaha, kelompok tani, kelompok ternak, dan lainnya.
Akan tetapi satu hal yang kembali mesti diingat, memerdekakan masyarakat
bukan hanya untuk mengejar status sosial agar semakin dihormati dalam
masyarakat, atau semata-mata mendapatkan penghargaan, namun keikhlasan
dan ketulusan untuk terwujudnya kehidupan sosial itu lebih utama menjadi
semangat untuk memulai hal tersebut.
*Abdul Rahim* /mahasiswa Pascasarjana Departemen Media & Cultural
Studies UGM
/
*(mmu/mmu)
*