From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Monday, March 12, 2018 2:52 AM
  



https://news.detik.com/kolom/d-3907301/menuju-pendidikan-yang-memerdekakan

Jumat 09 Maret 2018, 13:56 WIB
Menuju Pendidikan Yang Memerdekakan
Abdul Rahim - detikNews
Abdul Rahim 
..
 sumber: 4bp.blogspot.com 

Jakarta - 
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya lebih tinggi 
dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan 
hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak 
diberikan sama sekali" - Tan Malaka.

Sekolah adalah salah satu penyebab hierarki sosial yang terjadi di masyarakat. 
Kira-kira begitulah ungkapan Bourdieu tentang perbedaan status sosial 
masyarakat berkaitan dengan modal sosial dan simbolik yang terbentuk setelah 
seseorang mengenyam pendidikan. Siapa sangka dengan pendidikan tersebut justru 
menjadikan seseorang seolah merasa lebih perlu dihargai dari orang lain dalam 
konteks bermasyarakat. 

Tak jarang terdapat hal sederhana yang terjadi di institusi pendidikan kita dan 
bisa membuat gelak tawa jika mengingatnya. Suatu waktu salah seorang kawan yang 
akan meminta tanda tangan dosen pengujinya tidak mau tanda tangan hanya karena 
gelarnya lupa ditulis, atau salah seorang pengajar geram ketika mengetahui 
tugas paper mahasiswanya satu pun tidak mengutip buku karangannya, padahal 
sesuai dengan mata kuliah yang diampu. Dan, masih banyak sederet kisah yang 
tidak substansial dengan konsepsi pendidikan yang memerdekakan.

Ini artinya, ketika seseorang mendapat pendidikan lebih tinggi, secara tidak 
langsung berharap kapital budaya dan kapital simbolik itu melekat pada mereka 
yang secara serta merta menuntut masyarakat sekitar untuk mengamininya pula. 
Karakter seperti ini cukup banyak bergentayangan di kalangan mahasiswa kita 
dengan lingkup borjuisitas di kalangan mereka. Lalu karakter yang melekat itu 
pun seakan menjadi kebiasaan yang terus direproduksi dan akhirnya mengakar 
secara turun temurun.

Contoh kecil yang terjadi ketika Indonesia saat ini diberitakan sedang krisis 
petani, justru sarjana-sarjana pertanian kita malah sibuk dengan urusan kantor, 
dengan menjaga diri untuk selalu tampil rapi dan tak tersentuh kotoran sedikit 
pun. Pendidikan yang didapatkan sarjana pertanian kita bisa dikatakan belum 
berbasis untuk pengembangan keilmuan yang bermanfaat untuk masyarakat, namun 
masih sebatas ambang aman untuk mereka mendapatkan pekerjaan --syukur-syukur 
jika sesuai dengan bidang keilmuan yang telah mereka dapatkan.

Jika menelusuri tentang kutipan di awal, apa yang diungkapkan Tan Malaka bukan 
hanya terjadi dalam konteks ketika zamannya para kaum terdidik mencari aman 
dengan diberikan posisi di pemerintahan kolonial, namun hal ini sering terjadi 
juga dalam konteks kehidupan modern saat ini. Kaum terdidik lebih banyak 
terpusat di satu titik dengan alibi ketidaktersediaan lapangan kerja ketika 
kembali ke kampung halaman. Jadilah mereka menjadi tenaga yang dieksploitasi 
meski dengan bekerja tidak sesuai dengan kompetensi yang pernah digeluti.

Lalu ketika berbicara tentang sederet problematika pendidikan kita saat ini, 
jika para mahasiswa kita masih tertanam dalam pikiran mereka bahwa pendidikan 
yang tinggi adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya, maka 
dikotomi antara layak dan tidak layak tersebut perlu didefinisikan secara 
tuntas. Misalnya, ketika seorang sarjana peternakan yang notabenenya akan 
bergelut dengan ternak dan kandang, lebih memilih untuk sekedar sebagai tenaga 
penyuluh yang hanya berkoar-koar tentang kesehatan ternak dan pakan yang baik 
dari pada mempraktikkan langsung sebagai peternak. Dan itu menurut mereka hal 
layak dengan status mereka yang lebih mengetahui tentang peternakan.

Sementara masyarakat yang memang pekerjaan mereka sebagai peternak, mencari 
rumput, atau memberi makan ternak dan membersihkan kandang, itu hal yang wajar 
mereka lakukan, dengan alasan mereka yang terikat dan bertanggung jawab atas 
itu. Seolah para sarjana terdidik tidak layak untuk melakukan apa yang 
dilakukan masyarakat kita yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Layak dan 
tidak layak menjadi hal yang tidak substansial jika merujuk pada kiprah yang 
bisa dilakukan dalam konteks bermasyarakat. Tentu saja sebab masih adanya 
gengsi yang menjadi barikade untuk seorang terdidik melakukan pekerjaan yang 
menurut definisi relatif mereka antara layak dan tidak layak tersebut.

Jika seseorang masih berpikir ketika mendapatkan pendidikan tinggi supaya 
mendapatkan pekerjaan yang layak, maka pendidikan yang memerdekakan hanyalah 
slogan mati yang belum dipahami secara filosofis. Mereka yang mendapatkan 
pendidikan tinggi, lalu sekedar mencari aman dengan gelar dari pendidikan yang 
telah mereka dapatkan (dalam hal pekerjaan) dan tidak berupaya untuk 
memerdekakan masyarakat, inilah yang disebut dengan kaum lamisan. 

Meminjam ungkapan dari Haji Misbach, seorang muslim kiri revolusioner, kaum 
lamisan tidak lebih hanyalah budak yang hanya berorientasi harta dan posisi 
aman dalam kehidupan mereka. Mereka tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya 
juga yang butuh untuk dimerdekakan, baik merdeka dalam hal pengetahuan, 
ekonomi, lebih-lebih merdeka dalam kesetaraan status sosial dalam masyarakat.

Pendidikan yang memerdekakan bukan pula sebatas membebaskan diri berpikir 
melewati batas-batas yang distandarkan masyarakat secara umum. Namun juga 
memerdekakan akal budi untuk berperilaku sosial positif yang persuasif dan 
emansipatoris terhadap masyarakat sekitarnya. Misalnya, seorang terdidik harus 
berupaya melawan batas-batas sistem yang selama ini menjadikan masyarakatnya 
tertindas, dan menjadi pelopor untuk sebuah perubahan yang berorientasi pada 
pembebasan masyarakat untuk tidak terus menerus terkungkung dalam pemikiran 
yang terkotak-kotak dan cari aman sendiri. Akan tetapi mendobrak kesadaran 
mereka untuk berpikir bagaimana sebuah tatanan sosial yang setara untuk 
kesejahteraan bersama menjadi hal penting untuk diwujudkan.

Lalu terkait dengan upaya memerdekakan masyarakat dalam hal intelektualitas, 
banyak hal yang bisa dilakukan para kaum terdidik kita untuk sekitar mereka 
dengan kompetensi keilmuan yang telah mereka dapatkan. Salah satunya menjadi 
pegiat pendidikan untuk generasi bangsa di sekitar mereka, tidak mesti bergelut 
dalam situasi formal, pendidikan secara non formal pun merupakan hal yang cukup 
luar biasa untuk mereka mau meluangkan waktu membagikan ilmu kepada orang lain. 
Bahkan di beberapa daerah, pegiat pendidikan atau pegiat literasi bukan dari 
orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, akan tetapi mereka yang 
mempunyai kepedulian tinggi untuk memerdekakan generasi bangsa agar berwawasan 
luas.

Contohnya, Bemo Pustaka; seorang supir bemo paruh baya yang sore harinya 
menjadikan bemo miliknya diisi buku-buku bacaan lalu berkeliling kampungnya 
untuk menjajakan buku tersebut agar dibaca orang lain, dengan sasaran utamanya 
anak-anak yang berkumpul di suatu tempat yang telah disepakati. Ada pula Jamu 
Pustaka; seorang pedagang jamu yang nyambi membawa buku bacaan bagi pembeli 
jamunya. Begitu juga dengan Lumbung Pustaka, yang digagas oleh seorang buruh 
bangunan yang merasa prihatin dengan kondisi generasi bangsa yang perlu 
mendapatkan perhatian dalam dunia literasi.

Hal tersebut seharusnya menjadi lecutan bagi kaum terdidik yang notabenenya 
menjadi agen untuk menjadikan orang lain terdidik juga, alih-alih sekedar 
mencari aman dengan status ketinggian pendidikan yang telah mereka dapatkan.. 
Maka hal pokok yang mesti juga dibangun dalam pendidikan kita bukan hanya soal 
kognisi dan kompetensi dalam bidang keilmuan yang mereka geluti, melainkan 
kognisi sosial untuk sebuah kepedulian dengan mata dan hati terbuka untuk 
sekitarnya sangat vital untuk ditanamkan sejak dini.

Begitu pula dengan memerdekakan masyarakat secara ekonomi, banyak hal yang bisa 
dilakukan kaum terdidik sebagai pelopor untuk kesejahteraan bersama, seperti 
menggiatkan usaha-usaha kerakyatan dengan modal bersama, koperasi usaha, 
kelompok tani, kelompok ternak, dan lainnya. Akan tetapi satu hal yang kembali 
mesti diingat, memerdekakan masyarakat bukan hanya untuk mengejar status sosial 
agar semakin dihormati dalam masyarakat, atau semata-mata mendapatkan 
penghargaan, namun keikhlasan dan ketulusan untuk terwujudnya kehidupan sosial 
itu lebih utama menjadi semangat untuk memulai hal tersebut.

Abdul Rahim mahasiswa Pascasarjana Departemen Media & Cultural Studies UGM




(mmu/mmu)








Kirim email ke