Enam Bulan Berpacaran dengan Bantuan Google Translate
Efek Kedatangan Pekerja Tiongkok di Morosi
MINGGU, 08 APR 2018 12:50 | EDITOR : DHIMAS GINANJAR
 
Filla Fauziah Kasim bersama anak dan orang tuanya di Desa Bumi Indah, Konawe, 
Sulawesi Tenggara. (Agus Dwi Prasetyo/Jawa Pos)


Berita Terkait
  a.. Blog Provokatif Pelintir Pernyataan Wapres
   
  b.. 4 Warga Tiongkok Dijatuhi Vonis Rp 750 Ribu
   
  c.. Astaga! Para Pekerja Pabrik Asal Tiongkok di Bogor Pakai Motor 
CurianBahkan setelah resmi menikah, legalitas pernikahan pekerja Tiongkok 
dengan warga lokal di Morosi masih dipertanyakan. Ada pula yang bingung karena 
sang anak diboyong ke Negeri Panda.

Agus Dwi Prasetyo, Konawe, Sulawesi Tenggara

--

 
Lyu Zhiqiang menunjukan foto anaknya di rumah makan Filla Garden Restoran 
Morosi, Konawe. (Agus Dwi Prasetyo/Jawa Pos)



FILLA Fauziah Kasim harus bersabar tiap kali berkomunikasi dengan sang pacar. 
Meski mereka duduk berhadap-hadapan atau berdampingan, dia harus "bicara" 
melalui sang perantara dulu. Namanya: Google Translate.

Dituliskannya apa yang mau dia ucapkan di situ. Hasil terjemahan aplikasi itu 
yang lantas dibaca sang kekasih. Baru ngeh. "Enam bulan saya pakai Google 
Translate waktu pacaran," kenang Filla dengan malu-malu.

Maklum, pacarnya, Lyu Zhiqiang, yang berasal dari Tiongkok, tak menguasai 
bahasa Indonesia. Sedangkan Filla yang lahir dan besar di Morosi, Konawe, 
Sulawesi Tenggara, juga tak paham satu pun kata dalam bahasa ibu Lyu.

Tapi, kesabaran dan perjuangan keduanya tak sia-sia. Pada 12 Desember 2016, 
mereka resmi menikah. Setahun berselang, lahirlah buah cinta mereka, M. Farzan 
Seif.

Bersandingnya Filla dengan Lyu adalah salah satu efek berbondong-bondongnya 
pekerja dari Tiongkok ke Morosi sejak 2015. Di kota kecamatan itu mereka 
bekerja di PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI). Dalam berbagai kapasitas..

Sebagian dari mereka lajang, sebagian sudah berkeluarga. Tak satu pun yang 
datang ke pelosok Konawe, sekitar 40 menit dari Ibu Kota Kendari, itu sembari 
membawa pendamping. Entah istri atau pacar.

Meski demikian, yang kemudian tertambat hatinya dengan warga lokal tak banyak. 
Dari 742 pekerja Tiongkok di sana, diketahui hanya enam yang menikah dengan 
perempuan setempat. Itu pun tak semua mau terbuka bercerita.

"Saya ketemu istri main-main (saat jalan-jalan, Red) ke pantai," ungkap Lyu 
yang lahir dan besar di Provinsi Jilin, Tiongkok, kepada Jawa Pos yang 
menemuinya di rumah makan miliknya di Morosi Rabu lalu (4/4).

Penguasaan bahasa Indonesia Lyu belakangan membaik. Banyak kosakata yang dia 
pahami maknanya. Namun, peng­ucapannya masih berlepotan. Saat pertama menyapa 
Jawa Pos yang sudah menunggunya di rumah makan, misalnya, dia menawari, "Mau 
apa, makan?"

Karena itulah, untuk mendapatkan cerita lengkap tentang pernikahannya dengan 
Filla, Lyu meminta Jawa Pos menemui sang istri dan keluarga besarnya yang 
tinggal di Desa Bumi Indah, Lalonggasumeeto, Konawe. Sekitar satu jam 
perjalanan darat dari Morosi.

Kasim, ayah Filla, mengenang, Lyu mulai mendekati anak gadisnya setelah Ramadan 
2016. Kala itu anak ketiganya tersebut baru saja pulang setelah menginap di 
rumah ibu kandungnya di Desa/Kecamatan Motui, Konawe Utara. "Selesai puasa itu, 
dia sering berkunjung ke rumah. Kadang satu minggu itu tiga kali," ingatnya.

Lama-kelamaan, Lyu akhirnya menyampaikan keinginannya meminang Filla yang kala 
itu baru saja lulus SMK. "Dia sampaikan secara jantan, saya mau menikah dengan 
anaknya bapak," ucap Kasim menirukan pinangan Lyu saat itu.

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan yang membuat Kasim memilih tak 
menggubris lamaran Lyu itu. Tapi, Lyu ternyata tak menyerah. Tiga bulan lamanya 
pria asal Negeri Panda tersebut terus melakukan pendekatan. Termasuk menyatakan 
kesiapannya menjadi mualaf. "Saya pikir berkali-kali. Okelah, barangkali ini 
skenario Allah bahwa saya punya anak akan kawin dengan orang Tiongkok," ujar 
Kasim.

Lyu pun menikahi Filla secara Islam. Mengganti namanya menjadi M. Allif yang 
merupakan kebalikan nama sang istri. Allif memberikan uang Rp 30 juta kepada 
keluarga Kasim untuk tambahan biaya pesta perkawinan tersebut. "Ternyata itu 
masih ada sisa biaya, sekitar Rp 5 juta. Nah, ambil saya bilang (ke Allif)," 
kata Kasim.

Pernikahan Filla dengan Allif sempat dipertanyakan warga dan otoritas keamanan 
setempat. Mereka menyoroti legalitas pernikahan beda kewarganegaraan tersebut. 
"Saya beri pemahaman bahwa saya tidak tinggal diam. Saya sudah tanyakan ke 
kantor imigrasi dan mereka bilang tidak dilarang," ungkap Kasim.

Di mata keluarga sang istri, Allif dikenal sebagai sosok pekerja keras dan 
dermawan. Juga mudah bersosialisasi dan selalu bersikap sopan ketika bertemu 
dengan warga setempat.

Bukan hanya itu, Allif juga terbuka tentang latar belakang keluarga besarnya di 
Tiongkok. Meskipun belum pernah berkunjung ke Konawe, keluarga Allif terbukti 
cukup menaruh perhatian. Bahkan, beberapa waktu lalu, ibu Allif mengirim 
pakaian-pakaian bayi untuk Farzan. "Saya bingung tiba-tiba datang pakaian anak 
kecil dari Tiongkok. Luar biasa," ungkap Kasim.

Berbeda dengan keluarga Kasim, keluarga Yati saat ini harap-harap cemas dengan 
nasib anak perempuannya, Jumiatun. Sebab, seorang warga Tiongkok yang dikenal 
dengan nama Li memboyong perempuan 30 tahun itu ke Tiongkok tahun lalu. "Sempat 
menetap tiga bulan setelah menikah, setelah itu ke Tiongkok," ungkap Juminah, 
adik Jumiatun.

Parahnya lagi, pihak keluarga yang tinggal di Desa Purui, Morosi, tersebut sama 
sekali tidak tahu latar belakang Li di Tiongkok. Setahu mereka, Li awalnya 
merupakan tukang las di PT VDNI Morosi.

Karena kerap bertemu dengan Jumiatun, Li pun kepincut dan menawarkan pinangan 
ke pihak orang tua Jumiatun. "Waktu itu saya pasrahkan ke Pak Nurdin (warga 
setempat, Red). Yang penting anakku diurus," ujar Yati, ibunda Jumiatun..

Tahun lalu Jumiatun juga bekerja di PT VDNI sebagai juru masak. Namun, 
pekerjaan itu tidak lama dia tekuni. Jumiatun lantas berjualan sayur dan 
bekerja serabutan di sekitar smelter PT VDNI.

Yang agak menghibur Yati, sesekali dirinya masih bisa berkomunikasi via 
aplikasi WeChat dengan Jumiatun dan keluarga Li di Tiongkok. Itu pun ketika 
Yati memiliki pulsa untuk membayar paket data internet. "Sering video call 
setiap ada pulsa," kata Yati lirih.

Menurut Yati, saat ini Jumiatun sudah memiliki anak hasil pernikahan tersebut. 
"Katanya menunggu anaknya usia tiga tahun baru pulang ke sini (Konawe),'' 
katanya.

Tidak Lantas Mudah Jadi WNI

Secara aturan, memang tak ada yang dilanggar dalam pernikahan antara pekerja 
asal Tiongkok dan warga lokal di Konawe. Namun, tidak lantas si warga asing 
jadi mudah mendapat status warga negara Indonesia (WNI).

Kabag Umum dan Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno menuturkan, syarat untuk 
menjadi WNI bagi WNA tergolong berat dan berlapis-lapis sebagaimana diatur 
dalam UU Kewarganegaraan "Keputusan pemberian kewarganegaraan itu memang di 
Kemenkum HAM, tapi harus ada clearing dari BIN (Badan Intelijen Negara), 
melibatkan kepolisian dan Kementerian Luar Negeri. Bukan peristiwa biasa, ini 
peristiwa rumit," ujar Agung kepada Jawa Pos, Sabtu (7/4).

Bahkan, pernikahan juga tidak berdampak pada lamanya izin tinggal untuk WNA 
tersebut. Mereka tetap harus mengurus izin sebagaimana WNA biasa yang tidak 
menikah dengan warga Indonesia. Misalnya mengurus visa tinggal atau izin ker­ja 
bila WNA tersebut merupakan pekerja asing.

Sesuai aturan, salah satu syarat WNA menjadi WNI adalah dapat berbahasa 
Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, WNA 
minimal sudah tinggal 5 tahun berturut-turut di Indonesia atau paling singkat 
10 tahun tidak berturut-turut.

"Karena ketika menikah, tidak berarti izin tinggalnya menjadi suami istri jadi 
orang Indonesia. Pernikahan hal tersendiri, imigrasi hal tersendiri," jelas 
dia. Bahkan, selama ini jarang orang yang ingin berpindah kewarganegaraan 
menjadi WNI setelah menikah. Sebab, orang tersebut juga mempertimbangkan 
jaminan sosial dan ekonomi yang telah didapatkan di negara asalnya.

"Seperti orang Amerika Serikat atau Australia itu punya jaminan sosial dari 
negaranya. Rugi, anaknya juga nanti tidak mendapatkan hak jaminan sosial dari 
negara bapaknya," imbuh dia.

Di samping itu, pelepasan kewarganegaraan di negara asal juga tidak mudah. 
Sebab, yang bersangkutan harus menda­patkan persetujuan dari negara asal dan 
negara tujuan. Dalam kasus Australia dan Indonesia, misalnya, dua hal tersebut 
tidak ketemu.

Di Australia, orang yang ingin menjadi WNI harus telah diakui secara resmi 
terlebih dahulu oleh pemerintah Indonesia. Tapi, bagi Indonesia, itu tidak 
mungkin. Sebab, berarti ada dwi kewarganegaraan.

"Bagi Australia, kalau belum mendapatkan Indonesia-nya, sementara Australia 
sudah dilepas, dia akan stateless. State­less itu termasuk haram hukumnya bagi 
Australia," tambah dia.

(tyo/ce1/JPC)

Kirim email ke