Putusan Kebablasan Kasus CenturySelasa, 17 April 2018 07:30 WIB 
Wapres Boediono sebelum memberi kesaksian dalam sidang lanjutan kasus Bank 
Century di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan (9/5).TEMPO/Dhemas Reviyanto..

Ketukan palu hakim Effendi Mukhtar memicu lagi kontroversi kasus Bank Century. 
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini memutus secara berlebihan 
permohonan praperadilan. Ia memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi 
melanjutkan penyidikan kasus Century serta menetapkan bekas Gubernur Bank 
Indonesia, Boediono, dan kawan-kawan sebagai tersangka.

Putusan hakim tunggal itu jelas di luar obyek praperadilan. Sesuai dengan Kitab 
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, wewenang hakim praperadilan memutus antara 
lain soal keabsahan penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau 
penuntutan. Belakangan, Mahkamah Konstitusi menambahkan soal keabsahan 
penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.

Hakim semestinya menolak permohonan praperadilan yang diajukan Perkumpulan 
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. Pemohon, yang diwakili Boyamin Saiman, 
menyamakan berlarut-larutnya kasus Century dengan "penghentian penyidikan 
secara materiil". Dalil yang aneh ini seharusnya ditolak. KPK pun tak pernah 
menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan perkara Century. 
Undang-undang memang melarang komisi antikorupsi menghentikan penyidikan.

Boyamin sebelumnya tiga kali mengajukan praperadilan setelah bekas Deputi 
Gubernur BI, Budi Mulya, divonis bersalah. Semua gugatan itu ditolak hakim. 
Alasannya, permohonan tersebut tak masuk obyek praperadilan karena KPK tak 
pernah menghentikan penyidikan kasus Century. Anehnya, permohonan keempat 
dikabulkan hakim Effendi. Bahkan ia memerintahkan KPK menetapkan Boediono dan 
dua pejabat BI lainnya sebagai tersangka atau melimpahkan kasus tersebut ke 
penegak hukum lain. Putusan Effendi ini jelas kebablasan.

Boediono dan kawan-kawan memang disebut dalam dakwaan kasus Budi Mulya. Tapi, 
sekalipun putusan Budi sudah berkekuatan hukum tetap, mereka tidaklah otomatis 
menjadi tersangka. Harus ada proses penyelidikan dan penyidikan lebih dulu 
terhadap Boediono dan kawan-kawan. Proses penegakan hukum yang menjadi wilayah 
KPK, kepolisian, atau kejaksaan ini semestinya tidak bisa didikte hakim.
Pengusutan kasus Bank Century selama ini pun penuh kontroversi dan diliputi 
tekanan politik. Bank ini diselamatkan melalui Fasilitas Pendanaan Jangka 
Pendek (FPJP) BI pada 2008, sebelum akhirnya ditangani lebih jauh oleh Komite 
Stabilitas Sistem Keuangan. Pada pemberian FPJP senilai Rp 689 miliar itulah 
ada peran Budi. Tapi sebenarnya itu tindak pidana yang berdiri sendiri..

Temuan KPK memperlihatkan bahwa salah satu alasan Budi mendorong penyelamatan 
Century dalam rapat Dewan Gubernur BI adalah hubungannya dengan Robert 
Tantular, pemilik Century. Dalam dakwaan Budi Mulya, KPK menyatakan Robert 
pernah meminjami Budi duit Rp 1 miliar menjelang Century diselamatkan. Tapi 
motivasi yang menunjukkan adanya iktikad buruk di balik kebijakan penyelamatan 
bank ini belum tentu berlaku bagi pejabat BI yang lain.

Mahkamah Agung semestinya ikut bertanggung jawab atas kekacauan hukum akibat 
putusan hakim Effendi. Mahkamah sebelumnya masih membuka peninjauan kembali 
terhadap putusan praperadilan dengan syarat ada "penyelundupan hukum". Tapi, 
sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016, pintu peninjauan 
kembali untuk putusan praperadilan telah ditutup sama sekali.

Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus memeriksa hakim Effendi, yang membuat 
putusan berlebihan. Mahkamah juga tak boleh membiarkan putusan praperadilan 
yang kebablasan itu tanpa memberikan solusi.

Kirim email ke