Nestapa Guru Honorer, Ada yang Digaji di Bawah Upah Minimum



Aksi Komite Nusantara Aparatur Sipil Negara dan Forum Honorer Kategori 2 
Indonesia di Kantor Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi 
Birokrasi saat Hari Pendidikan, 2 Mei 2018. Tirto/Andrey Gromico





Oleh: M. Ahsan Ridhoi - 3 Mei 2018Dibaca Normal 4 menitKeluhan demi keluhan 
para guru honorer terus terjadi di tengah peringatan hari pendidikan nasional 
(hardiknas).tirto.id - Rizqi Amaliyah memulai rutinitas harian sebagai guru 
honorer dengan menyapa para muridnya di kelas. Namun, pada Rabu, 2 Mei 2018, 
guru Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda 2, Mojokerto, Jawa Timur ini melakukan 
sesuatu yang berbeda. Ia mengikuti upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional 
(Hardiknas) di lapangan sekolah tempatnya mengajar.

Upacara berlangsung hanya sekitar satu jam, dengan rangkaian pengibaran bendera 
merah putih, pembacaan teks Pancasila, pembacaan teks pembukaan Undang-undang 
Dasar 1945, dan Proklamasi, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mendengarkan 
rekaman suara pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

“Guru, orangtua, dan masyarakat harus menjadi sumber kekuatan untuk memperbaiki 
kinerja dunia pendidikan dan kebudayaan dalam menumbuhkembangkan karakter dan 
literasi anak-anak Indonesia,” kata Muhadjir dalam rekaman suara tersebut.

Pidato Muhadjir sama persis seperti yang disampaikannya di upacara peringatan 
Hari Pendidikan Nasional, di Kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 
ini.

Rizqi tak ikut bertepuk tangan seperti kawan sepekerjaan dan murid-muridnya 
tatkala pidato yang menurutnya hanya basa-basi tahunan tersebut selesai 
diputar. Ia merenungkan nasibnya sebagai guru non-Aparatur Sipil Negara (ASN) 
atau guru honorer.

“Gajiku cuma Rp400 ribu sebulan. Buat beli bensin aja enggak cukup,” kata Rizqi 
kepada Tirto.

Gaji yang diperoleh Rizqi tidak sampai 20 persen dari Upah Minimum 
Kabupaten/Kota (UMK) Kota Mojokerto Jawa Timur sebesar Rp3.565.660, padahal ia 
sudah tiga tahun mengajar di sekolah tersebut sebagai guru kelas yang mengampu 
semua mata pelajaran dengan masa kerja dari pukul 09.30 WIB hingga 15.00 WIB 
dalam sehari.

“Aku pernah ngobrol sama tukang jaga toko kain. Kerja 8 jam tapi gajinya Rp1,8 
juta, padahal dia lulusan SMA. Aku kuliah 4 tahun, mondok, tapi gajiku cuma 
segitu,” tutur Rizqi membandingkan gajinya.

Kondisi tersebut diperparah dengan ketiadaan Tunjangan Hari Raya (THR) dan 
tunjangan kesehatan. Satu-satunya insentif tambahan yang pernah didapat Rizqi 
adalah uang sebesar Rp600 ribu sebagai apresiasi karena menjadi guru 
berprestasi.

“Aku enggak menyalahkan yayasan, karena sekolahku memang kecil dan di kampung, 
tapi apa iya pemerintah enggak mau bantu? Katanya mau guru berperan,” kata 
Rizqi lalu memohon maaf karena menangis.

   

Rizqi bukan satu-satunya guru honorer yang digaji di bawah UMK. Ani, yang 
mengajar di sebuah SMP Negeri rintisan di Kecamatan Poris, Kota Tangerang, 
Banten, mendapatkan gaji tak memadai sebagai guru honorer.

Ani awalnya menerima gaji Rp504 ribu di tiga bulan awal dirinya mengajar. Angka 
itu didapat dari hitungan Rp7 ribu per jam pelajaran dikalikan 18 jam pelajaran 
dalam sepekan yang harus digelutinya.

“Sekarang sih sudah jadi Rp1 juta-an karena aku sudah dikasih 36 jam pelajaran 
dalam seminggu,” kata Ani pada Tirto.

Gaji Ani memang lebih besar dari Rizqi yang mengajar di Mojokerto, tapi pundi 
rupiah yang didapat Ani tetap berada di bawah UMK Tangerang 2018 sebesar 
Rp3.295.075. Duit yang didapat Ani pun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan 
bulanan. Ia mengaku menutupi kehidupan bulanannya dengan berjualan pakaian dan 
tupperwaresecara online.

“Untung aku masih jualan,” kata Ani.

Kondisi agak mendingan dirasakan Ika yang menjadi guru honorer di SMAN 21 
Surabaya. Dalam sebulan, Ika menerima gaji sesuai UMK Surabaya sebesar 
Rp3.648.000 per bulan dengan mengajar 24 jam pelajaran dalam sepekan.

“Aku beruntung kepala sekolahku baik,” kata Ika.

Ika menyatakan angka tersebut bisa bertambah Rp600 ribu bila ia memberi mata 
pelajaran tambahan untuk persiapan Ujian Nasional dan menjaga ujian. Akan 
tetapi, tidak semua guru mendapat kesempatan tersebut terutama guru yang tidak 
mengampu pelajaran yang di-UN-kan.

“Di sekolahku ada empat guru honorer, tapi enggak semua digaji UMK. Kalau 
kurang 24 jam mengajar digajinya per jam Rp50 ribu. Biasanya dapet Rp950 ribu 
sebulan,” kata Ika.

Ika bersyukur kondisinya lebih baik ketimbang guru honorer lain. Kondisi itu 
tak lantas membuatnya berdiam diri. Ia kerap menyuarakan aspirasinya melalui 
sosial media dan kepada otoritas terkait di Surabaya untuk memperhatikan nasib 
guru honorer.

“Kalau sekolah swasta besar sih SPP-nya mahal, makanya gurunya sejahtera. Kalau 
yang kecil dan sekolah negeri, harus muter cari uang. Nyisihin BOSNAS [bantuan 
operasional sekolah nasional],” kata Ika..

Kerisauan soal gaji guru honorer rupanya tak hanya dirasakan guru. Jalil 
seorang Kepala Sekolah MAN di Sidoarjo. Jawa Timur, ikut merasakan hal serupa.. 
Kepada Tirto, Jalil mengaku kerap mengalami kesulitan mencari pendanaan untuk 
menggaji guru honorer dan tenaga kerja non ASN di sekolahnya karena tidak ada 
bantuan dari pemerintah kabupaten setempat.

“Kami menggantungkan 15% dari BOSNAS dan dana Komite Sekolah," kata Jalil.

Saat ini, kata Jalil, sekolahnya hanya bisa menggaji guru honorer dan pegawai 
di sekolahnya sebesar Rp2 juta per bulan dengan bantuan sumbangan Komite 
Sekolah yang terdiri dari wali murid. “Sebenarnya sekolah prihatin, tapi tidak 
mampu berbuat banyak. Kami sekolah negeri dan tidak ada SPP,” kata Jalil.



Rumitnya Sistem Pembayaran Gaji Guru Honorer


Permasalahan gaji guru honorer,menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri 
Faqih diakibatkan rumitnya sistem pembayaran gaji guru honorer. Menurutnya, 
sesuai Pasal 16 Ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (PDF), 
gaji guru honorer dibebankan kepada pemerintah daerah melalui APBD.

Selain itu, kata Faqih, pada bagian keterangan Bab V Poin 9 Peraturan Menteri 
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2017, dikatakan guru honorer hanya 
bersifat Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang bisa menggunakan maksimal 15 
persen dari dana BOSNAS untuk sekolah negeri dan 20 persen untuk sekolah swasta.

Selanjutnya, dikatakan pula “Guru honor pada sekolah yang diselenggarakan oleh 

pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib mendapatkan 
penugasan dari pemerintah daerah dan disetujui oleh Kementerian Pendidikan dan 
Kebudayaan melalui Sekretaris Jenderal berdasarkan usulan dari dinas pendidikan 
provinsi dengan menyertakan daftar data guru hasil pengalihan kewenangan yang 
meliputi jumlah guru, nama guru dan mata pelajaran yang diampu, dan sekolah 
yang menjadi satuan administrasi pangkalnya.”

Faqih menilai peraturan tersebut bermasalah karena hanya guru sekolah 
pemerintah yang bisa mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah, 
padahal SK tersebut mutlak menjadi syarat guru honorer mendapatkan gaji.

Masalah lainnya, kata Faqih, pencairan dana BOSNAS sering telat dari pemerintah 
dan mengakibatkan guru honorer telat mendapat gaji. Sementara, menurutnya, 
tidak semua sekolah mempunyai cadangan dana untuk membayar mereka dan APBD 
tidak bisa diandalkan karena proses politik yang rumit dalam pengesahannya.

“Kami sudah mendesak Kemendikbud bayar guru honorer, tapi mereka bilang tidak 
bisa mencairkan dana secara sporadis ke orang per orang karena sistem,” kata 
Faqih kepada Tirto.

   

Dalam hal ini, Faqih juga menyayangkan perubahan sistem mekanisme pengangkatan 
guru honorer menjadi ASN dari pengangkatan berkala sesuai dengan PP 48 tahun 
2005 menjadi seleksi sesuai PP 56 tahun 2008 yang menyebabkan guru honorer 
kategori K2 belum dapat diangkat sampai hari ini.

“Tahun 2017 baru 30 ribu guru diangkat jadi ASN,” kata Faqih.

Faqih berharap Kemendikbud segera mengubah Permendikbud Nomor 8 tahun 
2017tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah dan menyetujui 
perubahan UU Guru dan Dosen menjadi dua undang-undang yang berbeda, yakni UU 
Guru dan UU Dosen agar guru honorer dapat mendapatkan perlindungan gaji dan 
fisik secara jelas.

Menanggapi hal ini, Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar, Anas Adam yang 
mewakili Direktorat Jenderal Pembinaan Guru Kemendikbud, menyatakan pihaknya 
telah mengucurkan dana insentif bulanan sebesar Rp300 ribu untuk guru honorer 
sepanjang tahun 2017. Dalam pencairan itu, ia mengakui, tidak semua guru 
mendapatkan insentif tersebut.

Terkait tunjangan kesehatan guru honorer dan perlindungan fisik, Adam 
menyatakan pihaknya tidak bisa mengeluarkan dana untuk itu karena tanggung 
jawab pemerintah daerah.

“Guru honorer tidak menjadi tanggung jawab dari Kemendikbud. Guru honorer 
dibayar oleh kabupaten/kota masing-masing sesuai dengan kemampuan 
pemerintahnya," kata Adam kepada Tirto.

Perihal desakan perubahan Permendikbud Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Guru dan 
Dosen, Adam menyatakan pihaknya tengah melakukan kajian terhadap hal itu karena 
berimplikasi terhadap penyesuaian anggaran negara dan sistem penyaluran BOSNAS.
Baca juga artikel terkait HARDIKNAS atau tulisan menarik lainnya M. Ahsan Ridhoi
(tirto.id - Pendidikan) 

Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih
“Gajiku cuma Rp 400 ribu sebulan. Buat beli bensin aja enggak cukup..”
#Gaji Guru Honorer


Muhadjir Effendy

Kirim email ke