Nggak mau baca tulisan Jose Maria Sison, karena dia komunis, nah ada tulisan 
seorang ulama yang menceritakan pengalamannya dalam berkenalan dengan ajaran 
Marx...Lain dengan Chan  yang begitu benci dan dendam pada PKI dan pimpinannya, 
si Murtadho malah merasa "didampingi" oleh Aidit dan Nyoto dalam pengenalannya 
pada Marxisme....


Marx dan Tauladan Bagi Remaja: Memperingati 200 Tahun Karl Marx*



 
Oleh:

Roy Murtadho

 

Mendengarnama Karl Marx, yang berkelebat dalam kepala kita adalah Partai 
KomunisIndonesia (PKI), yang digambarkan sebagai brutal dan biadab oleh Orde 
BaruSoeharto. Tulisan ini, tidak secara langsung, hendak 
meluruskankesalah-anggapan tersebut. Tapi lebih sebagai catatan pribadi saya 
selamabersentuhan dengan pemikiran Marx di masa remaja. Di suatu waktu jauh di 
belakangkita, di awal reformasi, dimana berbagai gagasan dan pengetahuan 
tentang Marxdan Marxisme dimungkinkan kembali untuk dipelajari.

Saat itusebagai remaja di kota pelajar Yogyakarta, menemukan buku-buku Marxis 
tidaklahsulit. Siapapun bisa mencarinya di banyak toko buku atau di 
perpustakaanIgnatius Loyola. Selain cerita silat karangan Asmaraman S. Ko Ping 
Hoo, hampiralmari saya penuh oleh copy-anbuku-buku Marx, juga berbagai buku 
pengantar Marxisme yang sedang ramaiditerbitkan. Namun di antara semuanya, buku 
yang paling mengesankan bagi sayaadalah karangan Klasik Nyoto, ‘Marxisme Ilmu 
dan Amalnya’[1].Selain ‘Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke 
PerselisihanRevisionisme’ karangan Romo Magnis dan ‘Tentang Marxisme’ karangan 
D.N. Aidit,buku Nyoto tersebut beredar secara luas dalam bentuk fotocopy di 
kalangan aktivis Yogya. Bukutersebut menarik, selain ringkas dan terang bagi 
para pemula untuk menjelaskanbutiran-butiran pemikiran Marx dari seseorang yang 
membaca dan mengamalkannya,juga terdengar islami di telinga saya sebagai 
seorang santri.

‘Ilmu danAmalnya’.[2] Takada santri yang tak terkesima dengan dua kata 
tersebut. Yang persis sama dengansabda Nabi yang sangat masyhur: “Barangsiapa 
beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyakdibandingkan yang 
diperbaikinya”. Atau sebagaimana diungkapkanSayyidina Ali bin Abi Thalib, 
“Ilmuadalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Hubungan Ilmu dan Amal 
ini persisseperti hubungan Iman dan Amal.[3] Keduanyatak bisa dipisahkan, 
merupakan satu kesatuan. Lebih-lebih kata ilmu danberbagai kata turunannya 
banyak sekali disebut dalam al-Qur’an. Karena itu kata‘Ilmu’ dan ‘Amalnya’ 
sangat menakjubkan bagi saya.

Denganjudul itu juga, Nyoto telah dengan tepat menggambarkan wajah utama dari 
seluruhbangunan pemikiran dan ikhtiar perjuangan Marx, sebagaimana diungkapkan 
sendirioleh Marx: “The philosophers have only interpretedthe world, in various 
ways; the point, however, is to change it.[4] Suatutugas mulia seorang pemikir 
untuk tak hanya memikirkan dunia tapi mengubahnyamenjadi lebih baik bagi 
manusia.

Saat itu,di antara sekian banyak remaja yang membaca Marx, mungkin saya 
merupakan salahsatu dari mereka yang mendekati Marx. Pertama-tama, bukan 
sebagai filsuf dengangagasan-gagasan agungnya, melainkan sebagai seorang 
pribadi.. Pribadi yang mengagumkan.Mungkin kekaguman saya pada Marx, –agar 
terdengar ilmiah–, bisa juga dijelaskanmelalui ungkapan Erich Fromm, yang 
melihat Marx sebagai pemikir yang‘menempatkan pentingnya faktor manusia dalam 
karyanya’ (At every stage of his work he emphasized the importance ofhuman 
factor).[5] Bahkan,di kalangan aktivis saat itu banyak yang mengatakan, 
seandainya ada nabi diabad modern, maka Marx-lah yang paling layak menjadi nabi 
tersebut.

Sakingkagumnya, saya pun membuat resensi atas karya Nyoto tersebut dan 
tulisansingkat untuk mading pesantren berjudul “Marx dan Al-Ghazali”. Tulisan 
yangterakhir lebih berisi cerita tentang ibu saya yang mengira gambar Marx di 
kaosyang saya pakai sebagai gambar Al-Ghazali. Karena memang rambut dan 
jenggotkedua tokoh tersebut sekilas terlihat mirip. Sama-sama panjang dan 
acak-acakan.Ibu bahagia sekali melihatnya. Saking senangnya hingga cerita ke 
saudara kalausaya santri tulen, sampai memakai kaos bergambar Al-Ghazali. Saya 
diam danbahagia melihat ibu bahagia. Karena memang Marx dan Al-Ghazali begitu 
dekat dihati saya. Keduanya layak menjadi tauladan. Selain rambut dan jenggot, 
merekajuga punya banyak kemiripan. Sama-sama tekun belajar dan memilih hidup 
melarat.Tapi mungkin Al-Ghazali lebih zuhud ketimbang Marx. Marx masih punya 
Jennyvon Westphalen, semantara Al-Ghazali hidup membujang hingga akhir hayatnya.

***

Nyoto-lah,saya kira, melalui karyanya, yang mampu menggambarkan dengan baik 
pada sisiapakah Marx itu pantas menjadi tauladan yang baik (uswah hasanah).. Di 
babpertama ‘Marxisme Sebagai Ilmu’, Nyoto menjelaskan cara kerja ilmiah 
Marxdengan mengutip kembali Paul Lafargue dalam karyanya, Reminiscences of 
Marx. Disitu diceritakan, sebagai seorang pemikir, Marx sangat hati-hati dan 
cermat.Marx tak akan membicarakan sesuatu yang belum dipelajarinya 
dengansungguh-sungguh. Ia tak pernah menerbitkan satu pun karya sebelum 
meninjaunyakembali berulang-ulang hingga menemukan bentuk yang paling tepat. 
Bahkan, Marxtak pernah muncul di depan publik sebelum ia memiliki persiapan 
yang cukup.[6]

Lebihlanjut, Nyoto menjelaskan, Marx mempelajari cukup banyak bahasa 
untukkepentingan pekerjaan ilmiahnya. Dia bisa mengarang dalam bahasa 
Jerman,Inggris dan Prancis dengan sangat bagusnya. Dia juga membaca Dante dalam 
bahasaItalia dan membaca Demokritos dalam bahasa Yunani, dia mengerti bahasa 
Belandadan bahasa Hongaria, bahasa Denmark dan bahasa Spanyol. Dan ketika 
berusia 50tahun, dia merasa masih cukup muda untuk mulai mempelajari bahasa 
Rusia, danenam bulan kemudian dia sudah pandai menikmati syair-syair Puskin 
dannovel-novel Gogol dalam bahasa aslinya.[7] Sayabayangin, kalau di pesantren, 
Marx pasti sudah digelari al-alim allamah karena kecerdasan danpenguasaannya 
atas banyak bidang pengetahuan.

Bahkan,saking jeli dan rajinnya, berbeda dengan kita, Marx tidak menyusun 
buku-buku didalam lemari bukunya menurut ukuran besarnya atau ukuran tebalnya, 
juga tidakmenurut serinya, melainkan menurut isinya, sesuai dengan kebutuhan 
pekerjaannya.[8]

Diceritakan betapa dia kurang makan roti, tetapi tidakpernah dia kurang makan 
bacaan. Bukunya di rumah cukup banyak, buku-buku yangdia himpun dengan teliti 
selama beberapa puluh tahun. Dan ketika dia bertandangke kota-kota besar, ke 
Berlin atau London, ke Amsterdam atau Paris, sebagianbesar waktunya dihabiskan 
untuk ‘menjelajahi’ isi bibliotek dari museum-museumdi kota-kota tersebut. Ini 
berbeda dengan pemuda saat ini ketika melancong yangdicari adalah café terbaik 
untuk menghabiskan malam dengan sebungkus rokok dansegelas kopi. Atau malah 
berharap-harap menemukan kekasih baru di kota baru.

Namun demikian, Nyoto mengingatkan bahwakejeniusan Marx bukanlah ‘bisikan 
wahyu,’ melainkan hasil dari pekerjaan yangluar biasa, keuletan, ketekunan, 
ketelitian dan ketajaman otak.[9] Persissebagaimana kiai saya dulu mengatakan 
bahwa kejeniusan al-Ghazali, dan ImamSyafii, bukanlah karena ilmu laduni yang 
given sebagaimana umum dipercayabanyak orang, melainkan buah dari kerja keras 
dan ketekunan belajar. Marx,meski sebagian besar waktunya digunakan untuk 
penyelidikan di lapangan ekonomihingga melahirkan karya agungnya, Das 
Kapital,[10] perhatiannyatak hanya terbatas pada soal-soal kemasyarakatan tapi 
merambah pada ilmu-ilmualam pada umumnya, seperti matematika dan biologi.

Sebagaitambahan, ini penting khususnya bagi santri! Untuk mengetahui secara 
umum sosokMarx, Pidato Engels di saat pemakaman Marx, saya kira cukup mampu 
menggambarkanseperti apa sosok Marx yang jauh sekali dengan yang sering 
diomongin TaufiqIsmail.

“Misi hidupnya adalah untuk menyumbang dengan satu cara ataucara lainnya untuk 
menggulingkan masyarakat kapitalis… untuk menyumbang bagipembebasan kaum 
proletariat masa kini yang untuk pertama kalinya didasarkanoleh Marx akan 
kedudukan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, akan kondisi-kondisiyang memungkinkan 
mereka mendapatkan kebebasannya. Perjuangan adalah salah satuunsur Marx. Dan ia 
berjuang dengan suatu semangat, suatu kegigihan dan suatukeberhasilan yang 
hanya sedikit orang yang dapat menyamainya… dan karenanyamenjadi orang yang 
paling dibenci dan paling banyak difitnah pada masanya… iameninggal, dicintai, 
dipuja dan ditangisi oleh berjuta-juta teman-teman pekerjayang revolusioner 
dari pertambangan-pertambangan di Siberia sampaipantai-pantai California, di 
semua tempat-tempat di Eropa dan Amerika… namanyadan karyanya akan terus abadi 
sepanjang zaman”.[11]

“Perjuangan adalah salahsatu unsur Marx”. UngkapanEngels tidaklah berlebihan 
untuk menilai Marx. Mungkin ia merupakan sedikitdari filsuf-pejuang yang mampu 
mengaitkan antara teori dan praksis. Ia tidakmenulis sebagaimana penulis 
kebanyakan saat ini yang hanya mengejar akreditasiatau menulis karena pesanan 
donor. Ketika Das Kapital baru saja terbit, penerbitnyamembayar honorarium yang 
begitu kecilnya kepada Marx sehingga, kata Marxsendiri, honorarium itu tidak 
cukup buat membeli rokok yang diisapnya selamadia menyelesaikan Das 
Kapital.[12] Karena memang ia menulis bukanmau tenar dan kejar honor saja. Tapi 
jihad membela manusia.


 



Creditsto: blogs.canterbury.ac.uk

***

Apa ituyang disebut dengan meneladani Marx?

Tentusaja, tanpa harus mengkultuskan pribadi Marx bak nabi. Tetapi, 
pertama,mengamalkan cara kerja ilmiah Marx, yang oleh Marx dikatakan mempunyai 
limatingkatan: penyelidikan, percobaan atau eksperimen, pencatatan, perenungan, 
danpenyimpulan atau penggeneralisasian.[13] Kedua,menyatukan teori dan praktik. 
Karena menjalankan salah satunya, atau membangunseparasi di antara kedunya, 
telah dengan sendirinya offside dari apa yangdibangun Marx. Ketiga, hidup 
ugahari. Bagaimana kita hendak memperjuangkannasib kelas pekerja kalau cara 
hidup kita lebih borjuis ketimbang kaum borjuisitu sendiri. Persis dai-dai yang 
latah dakwah tentang kehidupan nabi yangtidurnya di atas pelepah kurma 
sementara dirinya sendiri tidur di atas springbed yang mahal dan nyaman. Cerita 
nabi naik onta yang sangat kurus dan jeleksementara dirinya naik mobil keluaran 
terbaru yang sangat mahal.

Di tengah situsai global saat ini, yang secaraumum penuh dengan janji 
kebahagiaan semu oleh kapitalisme yang kemaruk danterus menjalar ke rongga 
paru-paru kehidupan kita, bagi saya, meneladani Marxjuga berarti bahwa 
perjuangan tak cukup hanya dengan kepalan tangan dan pekikperlawanan jika tanpa 
mengelaborasi kondisi mutakhir kapitalisme. MenjadiMarxis juga harus menjadi 
seseorang yang terbuka dengan banyak gagasan-gagasanbaru yang datang belakangan 
jauh setelah Marxisme. Bukannya beringsut daripersoalan mutakhir sebagaimana 
seorang Marxis militan hanya memberi solusirevolusi dengan slogan: ‘apapun 
masalahnya revolusi solusinya’ yang persis samadengan iklan di tv, ‘apapun 
makanannya teh botol sosro minumnya.’

SeorangMarxis yang baik mesti mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang 
terusberkembang. Seperti munculnya sistem baru yang disebut David Harvey 
sebagai“akumulasi fleksibel”, yakni makin berkuasanya modal keuangan 
internasional diatas negara bangsa yang semakin mandul; globalisasi pasar 
tenaga kerja yangmenyebabkan semakin cepatnya migrasi tenaga kerja murah asing 
dan melemahnyagerakan serikat pekerja; penyempitan ruang dan waktu melalui 
inovasi teknologi.Semua itu mesti diberikan jawabannya;[14] 
Semakinterorganisirnya kapitalisme secara ketat melalui persebaran, 
mobilitasgeografis, dan respon luwes terhadap pasar tenaga kerja, 
proses-prosesperburuhan, dan pasar konsumen, yang semuanya dibarengi dengan 
begitu besarnyainovasi institusional, produk dan teknologi.[15]

Dan yangtak kalah penting, meneladani Marx dan membaca Marxisme, bukan demi 
terlihatgagah, apalagi pongah dan menakutkan bagi banyak orang. Tapi tugas maha 
berat memanggul kembali harapanMarx untuk mengubah dunia yang lebih berkeadilan 
dan damai bagi seluruh umatmanusia. Marxisme mesti didekati sebagai ilmu, bukan 
dogma. Maka itu setiaptafsir, elaborasi atas pemikiran Marx, peng-amal-an atas 
pemikiran Marx danpekik perlawanan atas ketidakadilan dan ketimpagan yang 
diciptakan kapitalisme,haruslah dimaknai sebagai ikhtiar mengubah dunia menjadi 
lebih baik dan damai.Marx merupakan pribadi tawadlu.. Kejeniusannya, menurut 
saya, campuran antarakerja keras dan ke-tawadlu-annya, sampai-sampai ia 
mengatakan: Ich bin keinMarxist. Dengan itu, saya kira, ia hendak mengatakan 
bahwa orang tak bolehmandeg, jumud, dan sekedar taklid buta, tapi mesti terus 
menggali danmengoreksi modus produksi kapitalisme.

Ini samadengan ketika kita membaca ayat “dzalikaal-kitab la raibafihi” diawal 
surat al-Baqarah yang berarti: “tidakada keraguan di dalamnya (kitab 
al-Qur’an)”. Bukan berarti samasekali tidak boleh menyangsikannya, atau sekedar 
bertanya. Tidak! Justru denganbertanya itulah seseorang akan sampai pada 
keyakinan yang kokoh.. Karena menjadiseorang marxis tidaklah sama dengan 
cheerleaders yang kerjanya hanya soraksaja. Tapi membuktikan bahwa sosialisme 
ilmiah Marx, benar-benar ilmiah. Kalaumemang benar sosialisme ilmiah Marx 
relevan untuk semua tempat dan waktusebagaimana diungkapkan Nyoto, maka tugas 
seorang marxis adalah mampu menunjukkan letak kesahihansosialisme ilmiah Marx. 
Jangan sampai sama dengan ustadz-ustadz di tvyang mengatakan “Islamsalih li 
kulli zaman wa makan,”Islam benar di tiap waktu dantempat. Namun gagal 
menujukkan kebenarannya. Seorang Marxis yang baik, sama dengan seorang Muslim 
yangbaik, yaitu mampu menjelaskan kebenaran apa yang dipeganginya 
denganbukti-bukti objektif.

Saya takpernah menganggap Marx tengah menggelar gagasannya untuk sekedar 
dirapal,semacam mantra mujarab yang dengan mengutipnya maka selesai semua 
persoalan.Maka kita tak perlu heran jika suatu saat nanti ada yang men-syarah 
(memberikomentar) “Theses on Feurbach” dan “Manifesto Komunis” dengan berbagai 
lapanganpengetahuan baru yang tengah berkembang. Juga jangan menuduhnya sebagai 
ahlulbid’ah (bidaah), seandainya nanti ada anggota MUI yang menafsir Marx 
dengankaedah fiqihnya. Siapa tahu ada.

Marx, melalui Nyoto (tentu juga Aidit), telahmenjadi teman seperjalanan saya di 
masa remaja, di sela-sela mengaji dipesantren. Sedemikian, Marx, selain jenggot 
dan rambutnya yang acak-acakanserta kemalangan hidupnya. Ketimbang meneladani 
artis semacam Raffi Ahmad danSyahrini atau politisi semacam Ruhut Sitompul, 
Marx layak menjadi taudalansemuanya, wa bil khusus bagi remaja.

Tambahan:Marx tak pernah hidup ugal-ugalan sebagaimana sering diomongin Taufiq 
Ismail.

 

Wallahu’alambi al shawab***

Penulisaktif di Litbang Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam

Esaipernah disampaikan dalam diskusi Rabu-an Kelompok Epistemik SALIK (Santri 
AntiLiberalisme dan Kapitalisme).


 

Kirim email ke