Setiap orang berhasil melihat satu kesalahan itu kan berbeda-beda dan kapan saja bisa terjadi! Sementara orang bisa ada yang cepat melihat, bisa ada yang lambat bahkan selamanya TIDAK berhasil dan berani mengakui KESALAHAN! Cepat atau lambat, kalau bisa dan berani mengakui kesalahan tentu harus disambut baik, ... tentu akan lebih bersyukur kalau berhasil menemukan jalan keluar yang tepat pula!
From: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] Sent: Friday, May 18, 2018 3:31 PM To: Yahoo! Inc. Cc: GELORA_In Subject: [GELORA45] Re: [nasional-list] MUI: Pelaku Teror Salah dalam Memahami Paham Syariat Islam Mengapabaru sekarang dikatakan salah memahami syarat Islam? 2018-05-18 8:48 GMT+02:00 'Chan CT' sa...@netvigator.com [nasional-list] <nasional-l...@yahoogroups.com>: Salah dalam pemahan Syariat Islam ataupun SALAH dalam menafsirkan bait-biat Alquran tentu boleh-boleh saja, ... KESALAHAN yang bisa dikatakan BIADAB adalah merenggut nyawa manusia lain yang dituduh KAFIR! Satu KESALAHAN terkutuk yang TIDAK BISA ditoleransi oleh siapapun, ... khususnya umat Islam sendiri! Salam-damai, ChanCT MUI: Pelaku Teror Salah dalam Memahami Paham Syariat Islam FAR, CNN Indonesia | Rabu, 16/05/2018 00:34 WIB Wakil Sekretaris KAUB MUI menyatakan pelaku teror yang mengatasnamakan agama sesungguhnya salah dalam memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW. (CNN Indonesia/Andry Novelino) Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Antarumat Beragama (KAUB) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Abdul Moqsith Ghazali menilai pelaku teror yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam, salah dalam memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Moqsith menyoroti soal pemahaman para pelaku yang menganggap saat ini dalam situasi berperang, kemudian melibatkan istri dan anak-anak untuk terlibat dalam aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi di Surabaya, Minggu (14/5) dan Senin (15/5).. "Mereka (para pelaku) keliru membaca (memahami) Al-Quran dan sejarah nabi," kata Moqsith dalam diskusi di Rumah Pergerakan Griya Gusdur, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/5). Lihat juga: Anak Pelaku Teror Surabaya Alami Gangguan Psikologi Berat Moqsith mengatakan sepanjang sejarahnya Nabi Muhammad tidak pernah sekalipun mengajak ibu atau istrinya ikut berperang, meskipun dalam kondisi terdesak. "Pada kasus Dita Oepriarto, Nabi tidak melibatkan orang tua dalam perang. Ini tidak ada syariatnya. Istri nabi juga tidak dilibatkan dalam perang. Makanya kalau melibatkan istri, itu tidak syar'i," kata Moqsith. Selain itu, Nabi juga tidak pernah mengajarkan untuk melibatkan anak-anak dalam peperangan. Moqsith mencontohkan sejarah hidup anak angkat Rasulullah, Usamah bin Zaid. Dalam perang Uhud, jumlah prajurit Nabi Muhammad tidak sebanding dengan musuhnya. Saat itu, Usamah menawarkan diri menjadi prajurit dan ikut berperang. "Usama bin Zaid menawarkan diri 'bagaimana kalau saya ikut berperang?'. Nabi tidak membolehkan karena usama masih berusia 13 tahun," kata Moqsith. Singkat cerita ketika usia Zaid menginjak dewasa atau sekitar 18 tahun, saat itulah Nabi Muhammad mengangkatnya sebagai panglima perang. Dari cerita ini, menurut Moqsith, perlu dipahami Nabi Muhammad sebagai junjungan Umat Muslim tidak pernah mengizinkan anak-anak ikut terlibat dalam peperangan. Oleh karena itu, menurut Moqsith, para pelaku Bom di Surabaya kemarin salah memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad yang merupakan junjungan dalam agama Islam. "Kasus Surabaya, kalau ini adalah (diartikan) perang dan melibatkan permepuan dan anak-anak ini tidak syar'i," kata Moqsith. Lihat juga: 'Ghirah' Sel Teroris Bidik Jawa Timur Sasaran Dendam Dakwah Nilai Kebangsaan dan Toleransi Moqsith pun mengimbau seluruh alim ulama menyampaikan dakwah yang mengandung nilai-nilai kebangsaan dan toleransi. Hal ini sebagai langkah pencegahan atas tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit terorisme di Indonesia. "(Mengantisipasi) salah satunya itu menyediakan dakwaah moderat dan yang toleran bahwa keragaman bukan ancaman, bahwa keragaman adalah sunatullah," ujarnya. Seseorang, katanya, tidak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga dengan latar belakang tertentu. Begitu pun dengan lingkungan tempat tinggalnya. Ia menambahkan, bagi alim ulama yang terkait dengan jaringan teroris sedianya bukan diberikan sanksi. Namun, diajak untuk kembali memahami nilai-nilai pancasila. Ulama tersebut perlu diberikan pemahaman bahwa Indonesia merupakan nengara yang plural di mana hidup berbagai macam suku dan agama hidup di dalamnya. "Ustad terafiliasi kelompok radikal tentu tidak harus disanksi, secara langsung diajak serta tergabung kembali dalam Pancasila dan UUD 1945. Bahwa Indonesia bukan jawa mayoritas Islam, tapi Indonesia ini ada Bali juga Papua dan lainnya," kata dia. Sebelumnya, serangkaian teror bom terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Pada Minggu (13/5) pelaku yang merupakan satu keluarga dari Dita Oepriarto melakukan pengeboman di tiga gereja, yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel utara, GKI Diponegoro, dan GPPS Sawahan di Jalan Arjuno. Bom juga meledak di salah satu tempat tinggal pelaku teror di Rumah Susun Wonocolo, Kabupaten Sidoarjo. Dua anak-anak terluka dan tiga orang tewas atas kejadian itu. Diduga kuat ledakan itu tidak sengaja terjadi saat pelaku sedang merakit bom. Kemudian pada Senin (14/5), Tri Murtiono bersama Istri dan tiga anaknya melakukan serangan bom bunuh diri ke Mapolrestabes Surabaya. Satu anak Tri selamat dari kejadian tersebut. (kid)